Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta (12 September 1904—28 November 1968) masuk angkatan orang Indonesia pertama yang memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Ketika menjadi dosen Bahasa Melayu di Sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932—1937), dia sering mengatakan kepada orang Jepang bahwa Indonesia sudah punya bahasa nasional sendiri. Barangkali dia mengatakannya dengan begitu saja, tidak berlandas sebuah kesadaran politik. Barangkali juga kecintaannya pada bahasa Indonesia-lah yang mendorong dia memuliakan bahasanya itu di negeri asing. Namun, kita tahu, baru pada 1938 bahasa Indonesia boleh dipakai dalam sidang-sidang di Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yaitu sejak Mohammad Hoesni Thamrin berpidato dengan bahasa itu di sana.
Dalam ingatan kita, Poerwadarminta adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Dia ilmuwan swadidik bersahaja yang berperan besar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Minatnya pada bahasa sudah terlihat ketika dia berusia sekitar 20 tahun. Sambil mengajar di sebuah sekolah dasar di kota kelahirannya, Jogja, dia mengambil kursus pelbagai bahasa, seperti bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jerman, Jawa Kuno, Melayu, dan Jepang, sampai dia menguasai semua bahasa itu. Tercatat dia sudah menghasilkan sedikitnya 25 buku—sebagian besar berupa kamus—lima diktat kuliah bahasa, serta sejumlah tulisan yang tersebar di beberapa media cetak.
Dia mencurahkan sebagian besar pikirannya pada perkamusan, satu bidang yang tak kalah penting dibandingkan dengan upaya orang lain, seperti Sutan Takdir Alisjahbana atau Armijn Pane, di dalam meletakkan dasar-dasar tata bahasa Indonesia. Julukan Bapak Kamus Indonesia disandangkan kepadanya bukan hanya karena karya unggulnya, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) menjadi dasar pengembangan kamus bahasa Indonesia kontemporer. Dia pun menyusun beberapa kamus lain, di antaranya Baoesastra Djawa I (bersama C.S. Hardjasoedarmo dan J.Chr. Poedjasudira, 1930), Baoesastra Walandi–Djawi (1936), Baoesastra Djawa II (1939), Kamus Nippon–Indonesia, Indonesia–Nippon (1942), Indonesisch–Nederlands Woordenboek (bersama A. Teeuw, 1950), dan Kamus Latin–Indonesia (bersama K. Prent dan J. Adisubrata, terbit secara anumerta pada 1969). Dia malah sedang menyusun kamus Prancis–Indonesia yang tak pernah selesai sebab ajal telah lebih dahulu menjemputnya.
Sepulang dari Jepang pada 1937 dia bekerja di bagian penerjemahan penerbit Balai Pustaka—sebentar pada 1942 dia ditempatkan sebagai juru bahasa pada kantor Kempetai—sampai dipindahkan ke bagian perpustakaan Museum Nasional pada 1946. Setelah berkali-kali dimutasi di lingkungan Kementerian PP dan K, sementara itu dia masih terus mengajar bahasa Indonesia di beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jakarta, sejak Januari 1953 dia bertugas di Lembaga Bahasa dan Budaya, Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Indonesia sebagai Kepala Bagian Leksikografi. Pada 1960 dia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Namun, dia masih membantu Lembaga Bahasa dan Budaya cabang Jogja, sambil mewariskan ilmunya di Taman Siswa, dan menjadi dosen di beberapa universitas terkemuka Jogja dan Semarang.