“Mataharinya terbenam.”
Tempat itu masihlah sama. Matahari yang terbenam perlahan. Cahaya oranye yang mewarnai tanah bumi, juga pohon besar dengan daun lebat dan ranting yang menjulur ke segala arah. Cabang besar paling rendah diduduki seorang anak kecil. Kaosnya sedikit kotor akibat dipakai bermain seharian. Celana pendek sobek sedikit saat berlari-larian tadi siang—Fenon pasti akan mengomelinya setelah ini. Rambut terurai, tebal dan panjang, juga berantakan. Menyembunyikan sisi-sisi samping wajahnya. Muka khas bocah keras kepala dan pemberani, yang memang sudah lebih dari tamat dalam menjelajahi desanya karena bermain ke mana pun setiap hari.
Di sampingnya, tepat di sisi pohon besar itu, seorang lelaki dewasa berdiri. Itulah Fenon. Pandangannya mengarah kepada matahari yang akan menghilang sebentar lagi, tetapi itu lebih dari cukup bagi dia untuk dapat memastikan bahwa bocah menyebalkan dan menguras kesabarannya itu masih tetap aman di cabang pohon—tidak nyaris jatuh atau sejenisnya.
“Orang tua dari teman-temanku selalu memanggil anak-anak mereka ketika matahari hendak terbenam. Namun, Fenon tidak…,” kata bocah itu, suaranya yang agak lembut, tidaklah biasa. Fenon menoleh, tepat saat bocah itu tertawa nyaring dan kembali mengoceh dengan menyebalkan seperti biasa. “Oh iya, kau bukan orang tuaku!”
Di momen tersebut, Fenon tidak pernah memiliki angan-angan bahwa dia akan lengket dengan bocah itu. Beberapa jam lalu, alias tadi pagi, semua masih terlalu sederhana. Dia baru saja turun dari kapal—tak terlalu atau pun kecil, membawanya dari pulau di seberang sana.
Saat memasuki Pulau Easust. gapura tinggi terbuat dari batu menyapa. Rumah-rumah penduduk sudah terlihat. Semuanya satu lantai, atap sederhana dari genting, tetapi bangunannya memang kebanyakan luas. Apalagi halamannya. Punya satu pohon besar sudah paling sedikit. Lainnya, bahkan ada yang sampai tiga atau lima.
Beberapa orang tampak mengobrol di pinggir jalan yang hanya tanah mulus. Gerobak kuda sesekali melintas membawa hasil kerja. Anak-anak berlarian, tertawa kecil. Pakaian mereka semua sederhana, warnanya cenderung gelap, begitu tenang dan hangat, tetapi rapi dan bersih.
Fenon hendak menghampiri segerombolan orang dewasa, ketika dia menyadari ada bocah di dekat gapura. Sibuk melempar batu ke sungai agar melompat-lompat di air.
“Aku ingin menuju Desa Mosche. Ke manakah arahnya?” Dari semua orang, Fenon tak mau mengapa saat itu dia tiba-tiba malah bertanya kepada seorang bocah.
Bocah itu mengenakan kaos polos sederhana dan celana pendek yang agak kotor. Rambutnya panjang dihelai begitu saja, agak berantakan. Saat dia berbalik, mukanya sisi samping sebagian tertutup oleh surainya. Ekspresi nyaris datar, seakan-akan menolak menunjukkan senyuman barang sedikit saja. Tegas, sedikit acuh, dan tampan—untuk ukuran anak kecil.
“Aku akan tunjukkan jalannya. Ikuti.” Dia bangkit dan langsung melangkah. “Pendatang, bukan? Untuk apa kau ke sini?” Bocah itu menoleh belakang padanya. “Tuan?”
“Hanya untuk mencari tempat dan pekerjaan baru. Oh, tidak perlu terlalu kaku, namaku Fenon.”
Bocah itu memandang depan kembali, sambil berkata singkat, “Hudson.”
Sepanjang jalan, Fenon mengamati sesekali. Kota yang masih begitu dekat dengan alam memang selalu berhasil membuatnya tak henti kagum. Seakan-akan langit dan bumi mempersembahkan segala yang mereka miliki. Langit dengan awan yang cerah, hembusan segar angin yang tenang, pepohonan rindang di mana-mana, bunga-bunga dengan warna menenangkan sepanjang pinggiran jalan. Deru air sungai, roda gerobak kuda yang bergemuruh renyah.
Juga tawa-tawa anak kecil, sesekali dari mereka menyapa Hudson dan mengajak bermain, tetapi bocah itu dengan tegas menolak sambil mengatakan, “Aku harus mengantar orang ini!”
Fenon terkekeh, bocah itu sudah seperti menganggapnya sebagai selembar surat yang dititipkan orang dan perlu diserahkan kepada penerima.
“Hei, besok ayo bermain di desaku!”
Anak yang diajak bicara duduk di pagar rumahnya, “Aku pergi ke ladang dengan Ayah besok!”
Lantas, dalam seper sekian detik yang hening, kata-kata yang muncul dari mulut Hudson hanya batas, “Oh,” yang singkat. Terlalu singkat. Terlalu sederhana. Terlalu acuh.
Fenon mengamati bocah itu—terutama reaksinya—sesaat, tetapi dengan cepat perhatiannya teralih kembali oleh sekitar. Orang-orang dewasa yang berkumpul di beberapa titik pinggir jalan mengamatinya. Kota dengan penduduk yang begitu dekat satu sama lain, tak heran bila satu saja orang dengan muka asing alias pendatang pasti akan diketahui dengan mudah. Fenon tersenyum tipis, menyapa mereka. Dia sudah bisa mengira bahwa satu bulannya ke depan berada di sini pasti akan dihabiskan dengan perkenalan diri dan pertanyan-pertanyaan tentang kisah-kisahnya sebelum datang kemari.
“Kau sudah memiliki tempat tinggal, Fenon?”
“Ah… belum. Namun, aku akan mencari penginapan untuk sementara.”
“Tidak ada penginapan di Mosche. Tidak ada rumah kosong. Tidak ada orang yang menyewakan rumah,” jelas Hudson.
Fenon tertegun sesaat. “Oh….”
Lantas Hudson menyahut cepat, “Mau ikut di rumahku? Tidak perlu uang sewa—itu rumit. Kau hanya perlu membantu memasak dan membereskan rumah.”
“Bagaimana dengan orang tuamu?”
“Tak ada masalah.”
Jawaban anak itu membuat Fenon agak berpikir tentang apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan. Namun, bernegoisasi dengan sepasang orang dewasa yang anaknya telah setuju untuk ditumpangi terdengar lebih sederhana daripada dia harus mencari rumah lain, pikirnya.
Kediaman bocah itu nyaris tepat di tengah Desa Mosche. Anak itu dengan santai membuka pintu, tanpa ucapan salam, apalagi senyuman. Hanya sebuah kata singkat, “Masuklah.”