“Fenon! Cepat bangun dan memasak!”
Lelaki itu terlonjak dari karpet ruang tengah. Matahari baru saja selesai terbit. Jendela sudah terang, tetapi angin dingin khas fajar masih tersisa. Hudson sudah berdiri di sampingnya, membawa kantong berisi beberapa terong, kentang, wortel, tomat, dan cabai.
“Aku membawa cabai karena katanya orang dewasa suka pedas!”
Fenon mengerutkan alis, suaranya terdengar berat akibat baru bangun tidur bercampur keheranan dan sedikit khawatir. “Dari mana kau mendapatkan itu semua?”
“Tentu saja ladang!”
Fenon hanya makin terheran. “Ladang?”
“Penduduk Pulau Easust punya ladang yang kami rawat bersama dan boleh diambil kapan pun oleh siapa pun asal tidak berlebihan, begitu kepala desa!”
“Dan…,” Fenon memicing curiga, “Kau yakin bocah sepertimu membantu merawat ladang?”
“Tentu! Jangan mengejekku! Asal kau tahu, aku adalah anak yang paling rajin menyiram air di ladang!” Hudson meletakkan kantong itu di lantai. “Sekarang, lakukan pekerjaanmu dan buatlah sarapan, orang menumpang!”
Di samping bahan-bahan yang baru saja dibawa oleh Hudson, di rumah juga ada stok beras dan ubi. Cukup untuk beberapa bulan, bagi seorang anak kecil sepertinya. Namun, kini, dengan keberadaan Fenon di kediaman itu, agaknya dia harus bekerja keras atau benar-benar akan malu karena seorang bocahlah yang berperan menafkahinya.
Pagi itu Fenon menanak nasi dan membuat olahan terong sederhana. Hudson menginginkan kentang goreng untuk camilan, tetapi Fenon menolak karena kentangnya akan digunakan untuk lauk makan siang.
Hudson langsung menggeram kesal, tetapi tidak benar-benar memprotes.
“Aku seperti tidak tahu diri bila boros dengan makanan. Setelah mendapatkan pekerjaan, aku akan memasak kentang goreng sebanyak yang kau inginkan.”
Lantas, itu berhasil membuat Hudson bersemangat kembali.
Tiga jam setelahnya, matahari sudah agak lebih terik. Fenon pergi ke pasar diantar Hudson dan bocah itu langsung menyusul anak-anak lain tepat sesaat setelah mereka sampai.
Bocah itu sungguh tidak habis-habis tenaganya. Bila diingat-ingat, pagi ini dia berada di Desa Mosche—pemukiman warga. Lalu pergi ke Desa Weseed—ladang dan peternakan—untuk mengambil bahan makanan. Kemudian kembali ke rumah lagi. Barusan, sudah berada di Salten—pasar dan rumah-rumah produksi—untuk mengantar Fenon. Dan sekarang bocah itu sudah pergi lagi entah ke mana.
Sementara Fenon nyaris kehabisan tenaga.
Namun, mengapa orang-orang yang lain tidak?
Apa karena dirinya adalah pendatang yang masih belum terbiasa dengan wilayah Pulau Easust?
Tidak. Tunggu, bukan itu alasannya! Anak ini mempermainkannya! Orang-orang datang kemari membawa kereta kuda atau setidaknya sepeda ontel. Namun, bocah menyebalkan itu mengajaknya kemari dengan cara berlari! Ya, berlari!
“Orang baru yang datang kemarin? Dari mana kau berasal, Anak Muda?” Seorang wanita paruh baya duduk di kursi tua, tak jauh dari gerbang masuk pasar.
Fenon baru saja berhasil menstabilkan napasnya kembali. “Ah, aku datang dari Baron.”
“Orang kota rupanya…. Duduklah, Nak.”
Sesaat setelah Fenon ikut di sisi lain kursi panjang, wanita itu memberinya sekantong berisi ikan sangat segar yang diletakkan dalam besek-besek.
Fenon langsung menjauhkan kedua tangan. “Tidak, tidak. Jangan repot-repot, Nyonya.”
“Terimalah, Nak. Berbagi dan saling membantu adalah Budaya Easust. Kurasa kau ingin menjadi bagian dari kami, bukan?” katanya lembut.
Fenon terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan dan mengambil kantong itu. “Terima kasih banyak, Nyonya.”