Halaman rumah Hudson masih ramai. Fenon sudah tak lagi ditanyai hal-hal serupa. Kini dia sibuk meletakkan ikan-ikan di atas alat bakaran satu per satu. Semetara Hudson beberapa kali hendak memanjat pohon untuk mengambil mangga, tetapi Fenon menggertak, masih sambil memegang alat penjepit dan menyenggol-nyenggol sedikit ikan yang sedang dibakar untuk memastikan tingkat kematangannya.
“Sudahlah, Nak… biarkan.” Margaret terkekeh tipis.
“Namun….,” Fenon mengangkat alis, “mangga tidak sesuai dengan ikan bakar.”
Seorang pria mendekati paruh baya, ayah dari Ralph, tertawa kencang khas bapak-bapak yang super santai dengan segalanya. “Lidah anak-anak memang cocok dengan segalanya. Sekalipun kau memberinya manisan dan jeruk nipis, mereka juga tetap akan memakan itu semua!” Dia kemudian menoleh ke putranya, “Ralph, tak masalah! Panjat dan ambil buahnya! Wah, lihat mangga-mangga di halaman rumah Hudson, semuanya matang sempurna!”
“Dan semuanya manis, Tuan Randel!” sahut Hudson.
Pria itu tertawa lagi, “Kau juga, memanjatlah, Hudson!”
“Aye-aye!”
Fenon lagi-lagi mengangkat alis lesu, seperti ingin memprotes, tetapi pria itu lagi-lagi hanya tertawa. “Kenapa, Anak Muda? Bukanlah bocah yang kau jaga sangatlah macho?”
Fenon menghela napas. “Aku tidak merasa pantas untuk disebut penjaganya, aku hanya menumpang di sini… dan Hudson itu perempuan.”
Pria itu tertawa kembali. “Oh, iya, aku lupa! Kurasa darah Harewood mengalir terlalu kental di tubuhnya! Dia benar-benar seperti ayahnya!”
Fenon membeku sesaat.
Ayah dari Hudson.
Sosok itu langsung membuat Fenon bungkam. Randel masih terus menyemangati bocah-bocah untuk mengambil mangga—memang tipikal ayah yang akan sangat disukai oleh anak lelakinya. Kemudian, Fenon meneruskan mengurus ikan yang dibakar, dibantu oleh seorang lelaki yang agak lebih muda darinya.
Dia melihatnya sekilas tadi siang, umurnya mungkin akhir belasan tahun, sama-sama bekerja di Maggie Tailor, usaha jahit pakaian yang besar, milik Margaret. Fenon baru sempat berkenalan malam ini karena tadi siang lelaki remaja itu bekerja di depan mesin jahit, sedangkan Fanon di belakang untuk memotong kain-kain.
“Kau terlalu kaku, toh Hudson menikmati dirinya sendiri,” ujar lelaki remaja itu, Herscher kalau Fenon tidak salah ingat—yah, namanya rumit untuk ditulis dan sulit dieja.
Margaret menepuk lembut pundak Fenon. “Hudson masih terlalu belia. Biarkanlah dia mengeksplor segalanya. Toh, di rumah, mainan-mainan cantiknya semua dia mainkan, bukan? Bila harinya tiba dan Hudson akhirnya bertanya-tanya tentang dirinya sendiri, di saat itulah kau harus membimbingnya, Nak Fenon.”
Fenon tertegun, sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa tegang. “Namun, Nyonya Margaret. Itu tanggung jawab yang terlalu besar… aku hanya—”
“Yakinlah, Anak Muda. Hudson, anak itu, benar-benar mendengarmu.”
Di saat itulah, pandangan Hudson perlahan bergeser. Ikan-ikan di atas alat bakaran sedang diurus oleh Herscher sehingga dia bisa tak peduli untuk sesaat. Sekarang, yang ada di pikirannya hanyalah bocah itu.
Bocah yang dia masih sangat ingat bagaimana wajah bulatnya begitu cantik bahkan hanya dengan sedikit perubahan di rambutnya. Juga bocah sama yang saat ini memanjat pohon tanpa takut sedikit pun sambil berteriak-teriak tegas.
Makin ke sini, Fenon hanya kian tak paham. Siapakah sesungguhnya Hudson di tengah-tengah penduduk lokal Desa Mosche, Pulau Easust? Mereka begitu baik dan peduli kepada anak itu.
Namun, mengapa, di antara mereka semua yang begitu mengenal bocah itu, bahkan sejak lahir, justru dirinyalah, seorang pendatang, yang seakan-akan dipilih oleh bumi untuk menemani Hudson.
Mengapa?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Atau… Fenon hanya terlalu banyak berpikir dan sesungguhnya semua hanya begitu sederhana?
“Hei, letakkan ikan-ikan yang baru!” gerutu Herscher, akhirnya membuyarkan lamunan Fenon. “Kau tergila-gila dengan buah mangga seperti para bocah itu jugakah, Bung?” katanya sarkas.