

Saat Margaret menyinggung mengenai kisah yang pernah disampaikan dahulu ketika pertama kali bertemu di pasar Desa Salten—cerita mengenai Hudson, seketika Fenon tertegun. Dia tentu mengingatnya.
Margaret dengan lembut melanjutkan bahwa dengan adanya budaya pemberian nama anak yang secara tegas harus diberikan oleh ayah kandung, artinya nama menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap sepele. Karena pemberian nama dilakukan dengan cara spesifik yang tidak sembarang, maka dalam memanggil nama seseorang juga tidak boleh sembarangan. Hal tersebut dianggap melanggar budaya Easust dan merupakan salah satu kesalahan besar.
Fenon seketika pucat.
Margaret sekali lagi menepuk pundaknya. Tersenyum hangat. “Seseorang yang tidak tahu-menahu mendapatkan maklum. Tak perlu khawatir, Nak Fenon.”
Wanita itu kemudian melanjutkan. Nama panggilan diperbolehkan asal diambil dari nama asli sehingga masih mirip. Sementara nama panggilan yang cenderung unik diperbolehkan dengan syarat atas persetujuan ayah kandung.
“Misalnya seperti ayahnya Choco, dia sama sekali tak masalah dengan nama panggilan anak kami, sehingga ini bukan masalah.”
Fenon menggumamkan oh begitu tanpa suara. Dia sudah merasa hampir kehilangan nyawa saat mengira dirinya baru saja melakukan suatu kesalahan yang tak dapat diampuni. Lebih lagi, dia adalah seorang pendatang, yang seharusnya begitu tahu diri akan posisinya dan senantiasa bersikap santun.
Ayahnya Chauntelle di seberang, terkekeh. Tatapan Fenon mengarah padanya, seorang lelaki muda yang tampak ramah dan baik. Dia mengatakan tentang betapa lucu nama panggilan yang diberikan oleh anak-anak lain kepada putrinya.
Dan meski demikian, pikiran Fenon tertuju kepada sesuatu yang lebih jauh. Dengan semua ini, artinya dia tidak bisa memanggil Hudson dengan nama panggilan sembarangan. Ayahnya tak ada di sini untuk memberikan izin. Lagi pula, sekali pun dia ada di sana, Fenon tak yakin seorang lelaki asing sepertinya yang tiba-tiba datang dan menumpang di rumah putrinya akan diterima dengan ramah, apalagi diizinkan memberikan nama panggilan lucu. Lebih dari itu, yang masih saja menghantui pikiran Fenon, dimanakah ayah Hudson saat ini?
“Fenon….”
Lelaki itu tersadar dari lamunan. Dia menoleh atas. Jeovana, ibunda Chauntelle, sudah bangkit dari tempat duduk, sambil menggendong putrinya yang diam dalam dekapannya.
“Chauntelle sudah mengantuk, jadi kami pamit.” Dia tersenyum. Disusul suaminya yang juga ikut bangkit.
Fenon mengangguk. Tak lupa mengucap terima kasih. Dia memandang mereka yang juga berpamitan kepada orang-orang lain, sebelum akhirnya berjalan meninggalkan halaman, hingga menghilang di ujung jalan.
Fenon kemudian menyadari bahwa entah sejak kapan rasanya seperti lebih sunyi. Tidak sehening itu juga, tetapi seperti ada yang kurang. Dia menoleh. Benar saja, salah satu bocah yang sejak tadi berisik, kini duduk di salah satu kursi tak jauh darinya, piring di depannya sudah kosong, jemari masih penuh dengan bumbu bakaran, tetapi kepalanya berada di sandaran belakang karena dia tertidur.
Fenon langsung menghela napas campur menggerutu.
Bisa-bisanya Hudson tertidur dalam keadaan seperti. Tidak, justru karena itu Hudson, makanya memungkinkan.
Herscher—kini dia sudah tak membakar ikan karena bergantian dengan temannya—tertawa melihat Hudson. “Sungguh anak yang liar.”
Fenon tak bisa ikut tertawa. Dia belum pernah menghadapi anak kecil sebelumnya. Pernah memang, tetapi tidak sampai menemani mereka hingga lebih dari sehari. Dan dia tak tahu anak kecil bisa semerepotkan ini.
Fenon akhirnya bangkit, menuju bangku itu. Tangannya meraih tubuh Hudson, lalu mengangkatnya. Bocah itu tak terganggu dari tidurnya sama sekali. Bahkan ketika Fenon membawanya ke keran air di ujung halaman untuk mencuci tangan dan mukanya, Hudson hanya bergumam sedikit tanpa membuka mata, lalu lanjut tidur.
Fenon membawa anak itu masuk rumah. Mendorong pintu kamarnya menggunakan pundak—ini pertama kalinya Fenon benar-benar masuk ke kamar bocah itu, biasanya hanya sekilas melihat dari ruang tengah melalui pintu yang terbuka.
Kamar tidur bocah itu lebih dingin dari dugaannya. Namun, tak ada aroma-aroma kurang menyenangkan khas anak kecil. Bocah ini cukup rapi dan bersih, untuk ukuran anak seusianya. Mungkin karena didikan ibunya—yang diceritakan Margaret—dan kesadaran akibat tuntutan tinggal seorang diri.
Fenon hati-hati meletakkan anak itu di ranjangnya. Kata orang-orang, ini adalah hal yang sulit karena biasanya anak akan bangun sesaat setelah diletakkan di kasur. Namun, Fenon tak merasakan sedikit pun kesulitan—atau Hudson saja yang terlalu bagai kerbau sehingga sulit terbangun.