

Saat itu, Fenon baru saja pulang dari Maggie Tailor. Tangannya agak bengkak dan sejak sekian menit lalu dia terpantau menghela napas beberapa kali sambil menggerak-gerakkan pundak dan lengan yang nyeri. Agaknya pekerjaan hari ini cukup menumpuk.
“Itu, itu! Di situ! Dia tinggal di rumah Huddy! Tuan Fenon!”
Seseorang yang disebut kebetulan berada di ambang pintu rumah, memeriksa rumput tinggi yang tumbuh di sana, dia baru terpikir untuk hendak memotongnya. Mendengar namanya dibawa-bawa, lelaki itu menoleh.
Diego, salah satu teman Hudson yang mudah dihafal olehnya karena memiliki bekas luka menyerupai garis di pipi sisi atas—dekat mata, berdiri di gerbang rumah. Di sebelahnya, seorang lelaki dengan surai perak, mata biru laut yang cerah nan jernih, dan wajah bersih yang tegas, tetapi juga lembut, tersenyum.
“Begitukah? Terima kasih, anak yang pemberani.”
Diego kemudian pergi.
Fenon masih tak mengatakan apa pun, bahkan hingga lelaki itu menatap ke arahnya. Senyuman yang sama masih belum hilang, bahkan terukir makin tinggi hingga matanya tertutup. Tenang dan manis. Dia mengangkat sebelah tangan. “Lama tak berjumpa, Adikku.”
Bunyi denting cangkir keramik membentur meja kecil di ruang tengah, terdengar tipis saat Hudson menyuguhkan teh—padahal dia sudah berusaha selembut dan sehati-hati mungkin.
“Kevin kakaknya Fenon. Kakak dari Fenon juga sangat diterima di sini!” katanya sumringah. “Mau menginap?”
“Hentikan, Hudson…,” Fenon menggerutu sedikit, sebelum Kevin sempat bicara. Dia berada di dapur, bersebelahan dengan ruang tamu, hanya dipisah oleh meja makan yang tak terlalu besar, entah apa pula yang dilakukan—lebih tepatnya dia hanya ingin menjaga jarak sejauh mungkin dengan Kevin.
Kevin tersenyum kepada Hudson. “Aku sangat menghargainya, Nak. Tapi, tak masalah. Aku hanya mampir sebentar, kemudian akan segera kembali,” katanya, bicaranya lembut, sopan, tenang, dan tertata dengan rapi.
Hudson terkejut sedikit, setengah kecewa. “Mengapa tidak lama-lama? Kalau aku, pasti akan sangat senang bila dikunjungi oleh saudara!”
Sekali lagi, Kevin tersenyum, parasnya masih manis. “Kau anak yang ceria, Hudson.” Dia lantas beralih kepada Kevin di depan meja dapur yang berdiri membelakanginya. “Fenon, aku berharap kau meluangkan waktu,” katanya lagi, begitu halus, tetapi sang adik memahami maksudnya.
Helaan napas tipis, terdengar sayup-sayup dari Fenon. “Hudson, selagi belum terlalu malam, tidakkah kau ingin memetik buah persik danau khas Easust sebagai oleh-oleh untuk Kevin?”
Mata bocah itu langsung berbinar. “Kau sangat benar, Fenon! Aku akan segera mencarinya! Tunggulah, Kevin, aku akan membawa banyak sekali buah persik danau untukmu! Aku pergi dulu, Fenon!”
Hudson melesat pergi.
Kini tersisa Fenon dan Kevin.
Berdua saja.
Hanya ditemani keheningan.
Tatapan Kevin kepada adiknya—yang masih membelakanginya—menjadi makin lembut, bahkan seperti bercampur dengan haru dan kesedihan. Seperti duka mendalam, yang dipadukan dengan kasih sayang seluas samudra.
“Fenon,” panggilnya lembut.
“Aku di sini,” ujar Fenon, bicaranya sedikit lebih kencang dari sebelumnya—tetapi tidak terdengar kasar atau muak sama sekali. Dia masihlah Fenon yang baik dan tulus seperti hari lain di Easust. Namun, memang, seperti ada bagian lain dari dirinya yang berbeda, atau mungkin yang disembunyikan, yang ingin dibuang, tetapi masih belum bisa. “Hudson menawariku tinggal di sini. Jadi, aku menetap di sini.”
“Aku memahami,” kata Kevin, masih lembut. “Aku begitu mempertimbangkan situasi Hudson yang telah terlanjur menerimamu di sini. Itulah mengapa aku mengharapkan ruang berdua saja denganmu untuk bicara.”
Sebuah napas tertahan, tergantung di dada Fenon yang sedikit sesak. “Kau tak perlu kemari. Saat aku pergi, sudah kukatakan padamu untuk berhenti mengkhawatirkanku.”