Remains Nameless

Adinda Amalia
Chapter #12

Chapter 11: Pantai Tenggara Easust dan Jalan Sepanjang Pantai Menuju Desa Weseed

Hari minggu Fenon biasanya damai karena pekerjaannya di Maggie Tailor sedang libur dan Hudson pasti lebih sering menghabiskan harinya bermain bersama anak-anak lain di luar rumah. Namun, minggu ini, Heathcliff si Kepala Desa Mosche, kebetulan melintas di depan rumah Hudson, melihat sang tuan rumah dan anak-anak lain berlarian di halaman, sedangkan si lelaki pendatang hanya mengawasi dari ambang pintu. Pria itu menyeru, “Anak-anak, mengapa tak kalian ajari orang kota itu tentang kehidupan sejati di Easust?”

Sepasang alis Fenon terangkat, dia tertarik. Senang juga tentunya. Fenon sejak awal sudah sangat menyukai orang-orang Easust karena tata krama dan kebaikan hati mereka. Mengetahui lebih banyak tentang pulau ini, bahkan bisa menjadi bagian dari orang-orang di sini, adalah hal yang begitu ingin dicapainya.

“Maukah Fenon?” Saat Hudson bertanya demikian untuk memastikan, Fenon seketika mengiyakan tanpa ragu.

Bersama dengan Diego dan Ralph yang semula bermain bersama di halaman rumah, Hudson langsung mengusulkan untuk berkunjung ke Pantai Tenggara Easust. Pantai kecil yang kerap dikunjungi anak-anak, katanya.

Fenon mengangkat alis. “Baguskah?”

“Sangat!” begitu kompak ketiganya menyahut. 

“Namun orang-orang dewasa jarang ke sana.” Hudson manyun sedikit. “Aku tak tahu mengapa, padahal pasir putihnya begitu halus, bersih, dan indah. Oh, aku juga sering menemukan kerang kecil!”

“Oh! Aku juga pernah! Ayah senang kali saat aku membawa pulang beberapa!” Diego menyahut, suara lelaki kecil itu sangat kencang—sesekali membuat Fenon mengernyit karena telinganya nyeri sedikit.

“Ibumu pasti mengomel,” Ralph terkekeh kecil. Lelaki itu bersikap jauh lebih dewasa dibandingkan anak-anak lain seumuran. Hudson juga sesungguhnya, tetapi emosinya masih agak fluktuatif bila dibandingkan Ralph yang tenang dan sudah lebih bisa mengendalikan emosi. Bicaranya hampir tak pernah tinggi, nadanya selalu penuh keyakinan dan ketangguhan—benar-benar anak lelaki yang dibesarkan oleh ayah yang sangat percaya diri, tetapi juga bijaksana.

Kalau masalah berani, semua anak di Easust sama. Mereka anak-anak yang penasaran akan dunia dan tak pernah takut untuk mencoba hal baru. Ditambah dengan lingkungan Pulau Easust yang damai, anak-anak dapat mengeksplor seluruh tanah air mereka tanpa khawatir.

“Namun, anak-anak….” Fenon memegangi perutnya sedikit. Sarapannya baru masuk lima menit sebelum Heathcliff lewat di depan rumah Hudson tadi dan para anak-anak langsung mengajaknya pergi.

Sekarang, setelah berjalan selama sepuluh menit dengan langkah sedikit kencang karena menyeimbangkan lari kecil anak-anak, ulu hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. “Apakah masih jauh?”

Dia menyibak-nyibak ranting yang menusuk dari segala sisi. Berbeda dengan anak-anak yang pendek, Fenon dengan tinggi badan kisaran 180 cm, risih oleh dedaunan dan cabang-cabang pohon di mana-mana.

Sejak meninggalkan jalan utama Easust di depan rumah Hudson, pepohonan yang mereka lewati makin lebat dan lebat. Bahkan untuk saat ini, Fenon hanya bisa melihat batang-batang tinggi pepohonan. Padat. Radius tujuh meter, dia sudah hampir tak bisa melihat apa pun karena terhalang pepohonan. Dia begitu heran bagaimana anak-anak ini dapat menemukan jalan.

Tanah di bawah kakinya juga sama sekali tidak rata. Hampir setiap dua langkah sekali, dia harus melangkahi akar-akar besar pepohonan yang keluar dari tanah, gundukan tanah yang tidak rata, tumpukan daun kering, potongan cabang kayu yang jatuh, juga sesekali tanah yang cekung ke dalam, dan genangan air.

Pertanyaan lain yang tak kalah mengherankan, bagaimana bisa anak-anak itu melangkah dengan sangat gampang, bahkan berlari kecil. Sementara Fenon merasa kakinya agak keram dan dapat tersandung sewaktu-waktu.

“Di depan sana! Kita sudah sampai!”

Fenon hanya mengeluarkan suara khas orang keheranan, sambil menyusul anak-anak yang melompati pagar tua setinggi satu meter yang terbuat dari batu-batu sungai. Sudut-sudutnya sudah lumutan. Suhunya sangat dingin menusuk kulit saat Fenon menyentuhnya untuk menopang badan ketika kakinya melangkahinya.

Dia terkejut, saat salah satu kaki menapak tekstur yang sangat berbeda. Bukan tanah dengan ranting-ranting, daun kering, akar keluar, dan sebagainya, melainkan sesuatu yang lembut, sedikit licin, juga halus.

Fenon menoleh bawah.

Pasir putih.

“Pantai!” Anak-anak menyeru panjang.

Saat Fenon ikut menoleh, ternyata benar. Dipisahkan oleh pagar batu, sisi lain adalah pasir putih Pantai Tenggara Easust. Benar-benar persis deskripsi dari Hudson. Ditambah deru ombak kecil, dan angin khas laut bercampur udara agak terik pantai, yang membasuh mukanya.

Lihat selengkapnya