

“Anak-anak… sudah cukup. Aku benar-benar lelah….” Lelaki itu duduk di sembarang tempat. Mereka berhenti tepat di tepi Desa Salten, ujung barat pulau Easust. Tak ada pantai, karena air lautnya tinggi, ditahan oleh dinding dari batu sungai yang dipoles sehingga lebih kuat dan tak ada air merembes ke dalam desa. Tingginya enam meter, benar-benar menghalangi dari segala pemandangan di seberang. Lebarnya dua meter, dengan panjang membentang hampir di sepanjang ujung barat Desa Salten secara penuh.
Kali ini kaki Fenon benar-benar sudah seperti mau copot. Anak-anak yang sebelumnya masih terhibur oleh sang orang kota yang belum terbiasa dengan medan pedesaan, kali ini sungguhan tampak iba.
“Ayolah, Fenon. Ini tempat terakhir. Aku berjanji, kau pasti akan sangat menyukainya!” seru Hudson, tenaga anak itu masih sama seperti pagi hari.
Fenon asal melambaikan tangan dengan lesu. “Kalian saja yang pergi, aku akan menunggu di sini. Tak masalah.”
“Namun, tempatnya begitu bagus!”
“Hudson,” Ralph agak menyela, “tak masalah, Tuan Fenon bisa berkunjung lain hari. Kurasa, dia benar-benar butuh istirahat.”
“Hari ini adalah yang terbaik!” katanya, makin keras kepala. Hudson meraih lengan Fenon, berusaha menariknya agar lelaki itu bangkit. Namun, Fenon benar-benar tak mengeluarkan tenaga sedikit pun untuk beranjak dari posisi duduk.
Diego menoleh belakang. “Oh, senja!”
Hudson ikut menoleh, lantas kembali menatap Fenon dengan mata yakin. “Senja adalah yang terbaik! Aku akan menggendongmu, Fenon!”
“Kau tak bisa menggendongku…,” gerutu Fenon. Sungguh, anak itu benar-benar kepala batu, pikirnya.
“Kalau kau hanya duduk di sini, kau tak bisa melihat apa pun, Tuan Fenon,” ujar Diego, enteng, seakan-akan begitu sederhana. “Di balik sana, ada pemandangan yang sangat indah,” katanya, jelas-jelas terdengar melebih-lebihkan, “sesuatu yang baru, yang mungkin kau tak pernah menyangka, tetapi mungkin kau harapkan dan kau cari-cari. Dengan satu langkah besar, kau akan mencapainya!”
Ralph di sebelahnya mengerutkan alis keheranan. “Apa yang kau katakan?”
Keindahan yang dicari-cari.
Fenon terdiam sesaat. Berpikir, berangan-angan, mengingat kembali. Bukankah itu dia cari saat memutuskan untuk meninggalkan Kota Baron? Tempat baru, pekerjaan baru, dan lingkungan baru. Easust, yang tak pernah dia sangka akan sehangat ini.
Fenon mendongak, menatap ujung atas dinding yang hanya mengizinkannya untuk melihat sebagian kecil dari langit agak oranye yang tertutup awan-awan lebat, sedikit mendung.
Bila Easust dapat seindah ini, sesuatu di balik dinding Salten, mungkin juga sama indahnya.
Fenon menghela napas. Tidak, mungkin dia hanya berlebihan. “Sebentar lagi mungkin hujan, lho. Ayo kita kembali.”
“Ayolah, Fenon!” Hudson masih tak mau menyerah.
Diego tiba-tiba sudah beranjak lebih dulu, meraih tali yang menjuntai dari atas dinding. Puncak dinding ini memang sering dijadikan tempat bermain anak-anak, bahkan beberapa remaja lelaki seumuran Herscher sesekali masih duduk-duduk di sana. Namun, kali ini, tak ada orang lagi selain tiga anak itu dan Fenon.
Diego cekatan, tangan dan kakinya dengan gesit merambat di sepanjang tali. Seketika membuat Fenon khawatir. “Pelan-pelan, Diego.”
“Ini sangat mudah, Tuan Fenon!” katanya, sambil tertawa lepas.
Dan benar saja, dengan cepat, anak itu sudah sampai di puncak dinding tebal. Tertawa lebar. “Ayo, kemarilah!”
Ralph perlahan meraih tali, lalu memanjat. Gerakan anak satu ini sedikit lebih pelan, kentara sekali bila dia hati-hati. Sedikit demi sedikit, dia menyusul Diego di atas. Tawa lembut anak itu terdengar, wajahnya menjadi sedikit lebih cerah karena diselimuti cahaya jingga yang makin menyala.
“Fenon…,” kata Hudson, kali ini lirih.