

“Nyonya Margaret.” Beberapa hari lalu, Fenon tak langsung pulang seusai jam kerjanya di Maggie Tailor.
Wanita paruh baya yang duduk di kursi kayu sambil merajut sesuatu, menoleh. Senyuman langsung mengembang lebar saat mengetahui seorang lelaki muda berdiri di sampingnya dengan sopan. “Nak Fenon, ada apa? Katakan, Nak.”
“Nyonya,” Fenon khawatir sedikit untuk bicara. “Sesungguhnya, aku ada permintaan.”
Kira-kira begitulah beberapa menit sebelum Herscher terjebak dengan si lelaki dengan bidang kerja memotong kain, selepas jam kerja di Maggie Tailor. “Bung, sungguh! Biarkan aku saja, aku sungguh tak keberatan.”
“Tidak! Ini harus istimewa. Harus aku yang membuatnya!”
Lagi dan lagi, Herscher menepuk jidat dan menggeleng. “Kau akan membuatku sakit kepala.”
Permintaan Fenon kepada Margaret tadi adalah diajari menjahit pakaian. Bahannya sudah siap, dia telah membeli kain sendiri dan meminjam gunting serta peralatan lain di Maggie Tailor untuk memotongnya, tentu sudah atas izin Margaret sebelumnya. “Bila untuk menjahit, minta tolonglah kepada Herscher, anak itu pasti belum pulang di jam segini,” katanya kemudian.
Herscher adalah keponakan Margaret. Dia memang senang bermain di Maggie Tailor sejak kecil. Mainannya adalah plastik-plastik bekas tempat benang berbentuk tabung kopong untuk dipasang di jari-jari, bagian bawah mesin jahit sebagai mobil-mobilan, meteran jahit untuk diikat di pinggang, mesin itik alias pembuat lubang kancing yang telah rusak sebagai kereta mainan kecil. Dia tak mengganggu karyawan-karyawan di Maggie Tailor, justru menjadi hiburan untuk mereka.
Di usia sepuluh tahun, Herscher meminta kepada Margaret untuk belajar tentang dunia menjahit dan bibinya itu menyetujui. Dia belajar dengan cepat karena memang telah familiar dengan barang-barang di Maggie Tailor sejak belia. Hanya dalam beberapa tahun, Herscher menguasai semua, mulai dari mengukur pakaian yang hendak dipakai, membuat pola dan memotong kain, serta menjahitnya.
Selepas lulus dari sekolah, dia tak perlu berpikir lagi dan langsung melamar pekerjaan di Maggie Tailor. Tentu saja, Margaret yang sudah mengetahui kemampuan anak itu, menerima kedatangannya dengan senang hati. Dia menjadi karyawan dengan keterampilan terbaik, bila Margaret boleh mengatakan. Hatinya sangat baik, meski terkadang nada bicaranya agak kasar dan suka marah-marah. Tak jarang, setelah jam kerja selesai, dia tak langsung pulang hanya untuk mengobrol dengan Margaret.
Begitulah sehingga saat ini, Margaret pun menyerahkan Fenon kepada keponakannya itu. Ruangan jahit Maggie Tailor yang biasanya berisi sepuluh remaja mengerjakan jahitan mereka, kini tersisa dua. Satu yang marah-marah dan mengomel tanpa henti dan satu yang terus saja sedikit-sedikit membuat kesalahan.
“Tunggu, tunggu, Bung. Aku sungguh tak tahan,” katanya, melebih-lebihkan, sambil berjalan mundur, lalu duduk di kursi mesin jahit sebelah.
Fenon menghela napas sedikit, berusaha tak terdengar menyebalkan. “Ayolah, Herscher, kau harapanku satu-satunya.”
“Lagi pula,” katanya, kembali ke logat biasa, “kenapa kau bersikeras membuat pakaian sendiri? Padahal akan jauh lebih cepat bila kau menyerahkannya kepadaku. Aku tak keberatan untuk menjahit untukmu. Dan jelas-jelas itu bukan ukuran untuk orang dewasa.”
“Kau pasti tahu untuk siapa aku membuat ini.”
“Huddy?”
Fenon mengangkut.
Herscher terdiam sebentar. Wajah lelaki itu akhirnya melembut. Sebelum dia sempat bicara kembali, Fenon melanjutkan, “Aku sangat ingin memberikan sesuatu kepada dari jerih payahku sendiri.” Dia lantas memajukan tubuh sedikit kepada lelaki remaja di hadapannya. “Kumohon, Herscher, bantu aku. Nanti akan kuberikan upah, uang atau makanan. Atau mungkin kau menginginkan sesuatu dari kota, aku bisa meminta tolong kepada Kevin.”
Sebelah bibir Herscher langsung terangkat. “Meminta tolong seorang raja untuk membelikan sesuatu untukku terasa di luar akal sehat.”
“Aku serius,” sahut Fenon.
Herscher menarik napas dalam, parasnya kembali tenang. “Kau tak perlu membayar apa pun, Bung. Aku akan mengajarimu.”
Senyuman Fenon langsung mengembang, dia bahkan seperti reflek hendak memeluk Herscher, tetapi lelaki remaja itu langsung menghindar. “Mundurlah, menjijikkan,” dia menggerutu. “Hanya bila kau tahan dengan omelanku. Sebab, jelas-jelas mustahil bila aku tidak mengomeli orang yang benar-benar keras kepala dan masih kikuk dalam menggunakan mesin jahit.”
Fenon terkekeh senang. “Sungguh, terima kasih, Herscher!”
Lelaki remaja itu bangkit dari kursi. “Sekarang, mari kita lanjutkan!”
Kemudian, hanya sepuluh menit setelahnya, Herscher sudah kembali duduk di kursi mesin jahit sebelah, menghadap samping kepada Fenon, tetapi dengan tatapan buyar dan senyuman paksaan. Samping kepalanya menyandar kursi. Agaknya dia sudah ingin menyesali keputusannya sendiri.
“Ada apa, Herscher?”