

Hari-hari penuh komedi. Hari-hari yang lucu. Momen-momen menggemaskan di Easust. Easust, sebuah pulau dengan orang-orang baik yang ramah, baik hati, dan selalu tersenyum kepada setiap orang. Tempat yang nyaman untuk saling berbagi tawa.
Misalnya, suatu sore yang lembut oleh cahaya jingga dari ujung barat. Ketukan pelan, tetapi juga agak kasar, disusul oleh seruan khas anak-anak kecil ketika memanggil temannya, “Nyonya! Kami mengantar Milo pulang!”
Milo, anjing piaraan milik salah seorang wanita muda di desa, bertubuh besar dengan bulu keemasan. Dia baik, penuh tenaga, dan suka bermain. Anak-anak sering datang untuk mengajaknya berlarian di desa, main lempar tangkap, atau lainnya. Bahkan Choco pernah mengajaknya main masak-masakan dan anjing itu sungguh duduk dan menunggu dengan tenang seakan-akan pelanggan setia di sebuah tempat makan.
“Terima kasih sudah mengantar Milo pulang. Pasti hari yang menyenangkan, ya? Aku yakin Milo sangat menyukainya!”
“Benar-benar menyenangkan, Nyonya!”
“Sangat menyenangkan, aku sangat bahagia.”
“Sampai jumpa, Nyonya, Milo!”
Kira-kira, selalu seperti itulah sore hari tiap kali mereka mengantar Milo pulang. Menggemaskan, seolah Milo juga bagian dari anak-anak. Cara mereka menganggap Milo bukan sekadar hewan, melainkan teman, sungguh menggemaskan.
Di hari lain, ada momen yang tak kalah menggemaskan. Chauntelle, yang termuda di antara Hudson, Diego, dan Ralph, sering belum memahami permainan-permainan mereka. Kalau tidak begitu, dia sudah paham, tetapi masih belum bisa memainkan dengan strategi yang baik, jauh dibandingkan anak-anak lain yang berbeda satu hingga beberapa tahun lebih tua darinya.
Gadis kecil itu jadi sering dianggap sebagai anak bawang. Yang penting ikut, biarkan dia bersenang-senang bersama, berlarian, walau anak-anak lain bermain dengan lebih santai kepadanya. Pura-pura tak melihat saat petak umpet, sengaja berlari pelan saat kejar-kejaran, mengalah agar Chauntelle dapat menang dan tertawa girang.
Agaknya, bahkan para bocah itu, menganggap tawa lucu anak yang lebih kecil dari mereka sebagai sesuatu yang menggemaskan. Menggemaskan juga ketika anak-anak yang masih belia begitu peduli dan memperlakukan rekan-rekannya dengan baik.
Istilah anak bawang memang sangat melekat di kalangan anak-anak. Sama seperti orang dewasa yang menjaga rahasia bahwa Howling Vermin di Conquest Parade itu palsu di pemikiran anak-anak, bocah-bocah yang lebih tua juga akan selalu menutupi dari anak-anak yang lebih muda bahwa mereka adalah anak bawang—walau dengan alasan berbeda, yaitu agar tak mengurangi kegembiraan mereka.
Fenon mengira sebutan anak bawang hanya untuk anak-anak yang masih terlalu belia untuk bermain. Setidaknya, sampai pada suatu siang di hari minggu, dia iseng ikut bermain dengan Hudson, Ralph, dan Diego—Chauntelle saat itu sedang pergi pasar bersama ayahnya.
Hudson menyeru-nyeru tak henti—terlalu girang akibat mengetahui dia akan bermain bersama Fenon. Diego sibuk memanggil beberapa anak lain untuk ikut bermain. Sementara Ralph dengan tenang dan rinci menjelaskan aturan permainan.
Benteng Easton, sebuah permainan dengan dua tim dengan tujuan merebut benteng lawan. Setiap tim berisi minimal tiga orang dengan formasi satu kapten dan sisanya prajurit. Masing-masing mengenakan tanda kain berwarna yang diikat. Milik kapten di kepala, sedangkan prajurit mengenakan di balik pakaian—biasanya di bawah lengan baju atau diikat di perut—sehingga tersembunyi, sebagai penanda tim. Akibat penanda yang tersembunyi di balik pakaian, kapten dan prajurit harus benar-benar teliti agar tak salah dalam mengidentifikasi anggota tim sendiri dengan lawan.
Kapten hanya dapat berjaga di benteng, sedangkan prajurit maju untuk menyusup ke benteng lawan atau menggugurkan prajurit tim lawan. Prajurit dianggap gugur apabila kain penanda mereka berhasil dilepas paksa oleh tim lawan. Prajurit yang ketahuan oleh kapten lawan saat menyusup ke benteng mereka, dapat direbut dan dijadikan prajurit oleh tim lawan apabila kapten berhasil melepas dan menukar kain penanda prajurit tersebut dengan kain penanda milik tim mereka.
Benteng telah direbut—sebuah tim dikatakan kalah—apabila bendera berhasil dicabut atau seluruh prajuritnya gugur/direbut oleh kapten tim lawan.
“Aku paham. Sepertinya bukan permainan yang sulit,” kata Fenon, bersemangat. “Bermain melawan anak-anak seharusnya tak sulit!”
Ralph mengangguk dan tersenyum. “Benteng Easton selalu menjadi permainan paling menyenangkan!” Dia mengikat tali berwarna merah di dahi. “Aku akan menjadi kapten tim mereka! Jadilah kapten tim biru, Tuan Fenon!”
“Tentu! Berikan kainnya!”
Permainan dimulai. Diego berhasil mengajak enam anak lain sehingga setiap tim berisi satu kapten dan empat prajurit. Mereka bermain di tanah luas belakang rumah penduduk yang dipenuhi pepohonan tinggi. Jarak benteng kedua tim adalah dua puluh meter. Bendera ditancapkan di depan pohon yang dianggap sebagai benteng masing-masing dan dijaga oleh kapten.
Setiap prajurit mula-mula berkumpul dengan kapten mereka di benteng. Fenon memberi mereka arahan tentang cara menghadapi prajurit-prajurit lawan dan menggugurkan mereka. Walau anak-anak itu sedikit mengerutkan alis heran dan kurang setuju, tetapi berujung mengangguk. Fenon juga sambil menatap wajah mereka lekat-lekat untuk menghafalkan prajurit-prajuritnya.
Peluit dari tim merah berbunyi, tanda permainan dimulai.
Fenon bersiap di benteng, melihat prajurit-prajuritnya langsung berpencar. Dia masih bisa mengawasi mereka setidaknya sampai lima hingga tujuh meter ke depan, sisanya nyaris tak bisa terlihat akibat dipenuhi pohon-pohon tinggi. Tawa dan teriakan anak-anak itu terdengar sesekali, entah apa artinya, tetapi Fenon yakin mereka pasti bisa.