

Terik matahari siang di Easust sudah mulai turun. Satu dua suara anak-anak bermain di sepanjang jalan mulai terdengar lagi setelah sebuah tidur siang yang nyenyak dan menenangkan.
Kediaman Hudson remang-remang oleh pintu yang tertutup rapat dan jendela berlapis gorden. Lampu dibiarkan mati. Pintu kamar anak itu terbuka sedikit, membagi udara dengan ruang tengah agar bercampur menjadi satu. Agak dingin, panas matahari di luar tertahan sehingga tidak dapat masuk.
Suara burung sesekali terdengar, bercampur juga dengan gesekan dedaunan saat sepor angin melintas.
Hudson menggeliat di ranjang, sebelum perlahan duduk. Matanya masih setengah tertutup. Rambutnya berantakan, pipinya seakan-akan makin tembam. “Fenon….”
Lelaki itu masih berada di Maggie Tailor biasanya, sehingga sama seperti hari lain, Hudson hanya diam di ranjang, mengumpulkan kesadaran. Toh, dia akan lupa seiring membuka mata makin lebar, lalu akan berlari untuk mengambil air minum sebelum meninggalkan rumah untuk bermain dengan anak-anak lain.
Namun, kali ini, masih dengan kesadaran yang baru berkumpul sedikit. Hudson bukannya dipaksa lupa akan seseorang yang tanpa sadar selalu dipanggil olehnya tiap kali bangun tidur siang, melainkan mendapatkan sebuah pelukan hangat yang sangat familiar.
Aroma lelaki itu bahkan langsung dikenali oleh Hudson.
“Hari ini aku mendapatkan libur kerja lagi, kau lupa?”
Hudson tak menjawab. Namun, dari caranya tiba-tiba menyandarkan kepala di pundak lelaki itu sambil lebih mendekat, sudah sangat jelas sebagai jawaban iya. Fenon tertawa kecil lembut, lalu perlahan mengelus rambut dan punggung anak itu.
Fenon hampir tak menyadari bahwa anak itu mencarinya setiap bangun tidur siang. Di pagi hari, dia memang akan langsung mencari Fenon, tetapi lelaki itu mengira Hudson hanya ingin membangunkannya.
Lucu, rasanya baru kemarin Fenon masihlah seorang pendatang yang menumpang. Sekarang, tahu-tahu Hudson sudah begitu menempel hingga selalu merindukannya setiap bangun tidur.
“Fenon…,” katanya lembut. Bila begini, anak itu benar-benar seperti seorang putri kecil, bukan anak dengan tenaga tiada habis yang berlarian dengan pakaian polos dan rambut terurai tanpa benar-benar tertata sambil sesekali menyeru tegas.
“Iya?” balas Fenon, sama-sama lembutnya.
Hudson perlahan mendongak untuk menatapnya. “Punggungku sedikit sakit.”
“Karena tadi pagi, bukan? Kudengar dari bundanya Shawn bahwa kau ikut terjatuh karena melindungi gadis itu saat terpeleset. Mengapa tak cerita kepadaku sejak tadi?”
Hudson meletakkan kepalanya di pundak lelaki itu sekali lagi. “Kupikir tak akan menjadi sakit…,” katanya lesu.
Fenon menepuk puncak kepala anak itu. “Kau anak yang baik dan pemberani, Hudson. Tak ada yang salah, tetapi lain kali kau harus memberitahuku agar aku dapat memeriksamu segera dan memberikan obat atau sesuatu bila perlu sehingga kau tak akan kesakitan seperti ini.”
“Aku bisa menahan sakitnya.”
“Tak perlu menahannya bila di hadapanku. Aku tahu kau kesakitan.” Fenon mencium rambutnya pelan untuk sesaat.
Hudson langsung merengek pelan dan makin erat memeluk lelaki itu. Fenon tersenyum, anak itu memang jauh lebih manja dan menggemaskan saat bangun tidur—dan saat menjadi seorang anak kecil sepenuhnya di hadapan Fenon.
Fenon membiarkan Hudson menenangkan diri untuk sesaat, sebelum dia meraih sebuah botol kecil berisi minyak di meja dekat ranjang. “Ini akan membantu membuatmu merasa lebih baik.”
Setelahnya, Fenon memeriksa lebih dahulu punggung mungil anak itu—Hudson masih berada di pangkuannya, menyandar ke depan pada pundak lelaki itu. Tak ada luka di sana, syukurlah, hanya beberapa titik lebam tipis akibat membentur tanah.