

“Mengapa demikian, Tuan Ethelwin?”
Fenon datang kepada pria mendekati lansia itu untuk melanjutkan apa yang pernah dia sampaikan kepada lelaki muda itu dahulu, di dekat pagar kediaman Hudson, tentang kedekatannya dengan anak itu.
“Bukankah Anda bilang bahwa setiap anak berhak untuk dirawat dan mendapatkan kasih sayang? Saya mampu memberikannya kepada Hudson!”
“Memang benar…,” Ethelwin tersenyum, kerutan-kerutan di wajahnya makin jelas, “tetapi tidak sekarang. Kau belum siap, Nak.”
“Saya tak paham! Apa yang Anda maksud dengan—”
Fenon baru sadar bahwa dirinya bernapas dengan cukup menderu, saat pria mendekati lansia itu memegang lengan atasnya. Dia menjadi jauh lebih tenang seketika.
“Aku tak ingin kau dikuasai amarah dan kebencian. Orang-orang Easust itu… hatinya lega, baik, dan mengedepankan kasih sayang.” Ethelwin tersenyum. Mukanya yang sayu itu tampak tulus, bahkan tak terpengaruh sedikit pun oleh gejolak perasaan lelaki muda di depannya. “Nak Fenon… bukankah kau adalah seorang Easust?”
Saat kemudian telah kembali berada di halaman depan kediaman Hudson—sedangkan anak itu di ruang tengah masih saja sesekali terisak walau Kevin berusaha mengalihkan perhatian dengan mengajaknya bermain terus-menerus—Fenon masih tak tahu apa yang dimaksud oleh Ethelwin. Tidak, dia paham, tetapi tak tahu bagaimana caranya.
Apa alasan selain marah dan benci kepada seorang pria yang tak becus seperti itu? Sebuah ampunan? Tentu saja mustahil! Tak masuk akal!
Fenon menggerutu.
Kepalanya sakit. Dia hanya berusaha untuk merebut hak asuh Hudson, agar pria itu tak lagi memiliki alasan untuk dekat-dekat sehingga Fenon dapat menjadi seorang pengasuh anak itu yang valid.
Tak ada hal lain lagi.
Semata-mata… dia hanya menginginkan senyuman anak itu.
Namun, bagaimana caranya?
Bagaimana caranya?! Bagaimana caranya?! Bagaimana caranya?!
Bagaimana—
“Nak Fenon.” Sebuah suara lembut mengalihkan perhatian lelaki itu. Itu Margaret, wanita tua yang rasanya seperti sebuah titik celah cahaya matahari di tengah mendung yang tebal menutupi permukaan bumi saat manusia mendongak ke atas.
Seseorang yang selalu membuat Fenon menjadi tenang tiap kali dia merasa gugup, khawatir, dan berpikir terlalu banyak. Lebih lagi ketika sedang berada di Easust. Wanita tua itu seperti sebuah tangan besar yang bersedia untuk menopang dan menggenggamnya di dunia baru yang masih berusaha dipelajari oleh lelaki muda itu.
“Orang Easust tak pernah belajar untuk membenci atau dendam.” Margaret duduk di kursi kayu panjang, di dekat Fenon.
Fenon langsung mendengarkan baik-baik dengan pikiran yang diusahakan untuk terbuka, karena dia tahu bahwa dirinya membutuhkan apa pun yang hendak dikatakan oleh wanita muda itu—juga sebagai sebuah sikap sopan terhadap seseorang jauh lebih tua.
“Pandanglah Hudson,” kata Margaret dengan pelan.
Fenon menengok ke belakang, melalui jendela kaca berlapis kayu. Di karpet ruang tengah, Hudson tertidur. Sepertinya karena kelelahan akibat menangis. Kevin masih di sebelahnya, mengelus-elus lembut rambut anak itu.
Fenon menjadi sesak.
Hatinya pilu kembali, seketika.
Dia ingin menangis.
“Daripada amarah dan kebencian kepada Harewood, bukankah rasa sayangmu kepada anak itu lebih kuat?” Margaret tersenyum, bibirnya sudah tak terlalu bisa untuk diangkat selebar itu lagi, tetapi begitu saja pun sudah terlihat begitu tulus. “Benar bukan, Nak Fenon?”
Lelaki itu terdiam. Namun, agaknya dia sekarang tahu apa yang harus dilakukan.
Saat dalam perjalanan menemui Ethelwin, Ketua Adat Pulau Easust, untuk kedua kalinya, ucapan terakhir Margaret masih menggema dalam pikirannya, bersama dengan suara kereta kuda, roda-roda yang berbunyi sesekali lebih keras tiap kali melewati batu atau sejenisnya, dan suara memekik kuda kadang kala, “Aku tak pernah menyalahkan keinginanmu untuk merebut hak asuh Hudson, tetapi kau harus meluruskan hatimu… atas dasar apa kau menginginkan dan dengan tujuan apa kau menginginkannya. Semuanya harusnya bersih, penuh kasih sayang dan perhatian, sepenuhnya seperti seorang Easust yang berbudi.”
Fenon turun dari kereta kuda setelah membayar kepada kusir. Dia lebih tenang kali ini, saat berjalan menuju kediaman Ethelwin dengan pelataran yang luas, jalan dari batu-batu, tumbuhan hias yang terawat, juga Everleigh yang kebetulan ada di depan rumah untuk memberi makan anjing peliharaan mereka.
Fenon tersenyum. “Nona Everleigh.”
Gadis itu ikut tersenyum. “Tuan Fenon. Mencari ayah? Beliau ada di ruang tamu.”
“Terima kasih.”
Saat lelaki itu memasuki rumah dengan sopan, kali ini Ethelwin tersenyum padanya. Berbeda dari sebelumnya, bukan lagi merasa bersedih akan amarah lelaki itu, melainkan seperti seorang kakek yang bangga akan cucu mudanya. “Aku ingin mendengarmu, Nak Fenon.”
“Tuan Ethelwin.” Fenon berdiri di hadapan pria lansia yang duduk di kursi ruang tamu. Dia percaya diri dan yakin kali ini. Dan yang paling utama, dia tenang. Dia berusaha menjadi seorang Easust.
Di dekat pintu, Fenon bisa merasakan Everleigh yang menatapnya seolah seperti orang-orang Easust kepada Conqueror Easton, seorang pahlawan—tak jauh berbeda dari tatapan Herscher kepadanya hari lalu. Gadis itu pasti telah mendengarkan dari anak-anak muda lain di desa, tentang kisah masa lalu Harewood, Windward, Hudson, serta kedatangan kembali pria itu.
Melihat bagaimana cara Ethelwin menatapnya saat ini, Fenon dapat merasakan bahwa orang-orang Easust berharap kepadanya.
Fenon sekali lagi menguatkan dirinya, sampai ke titik dia akan rela mengorbankan apa pun. “Saya ingin melindungi Hudson!”
Ethelwin mengangguk.
Itu adalah kata-kata yang ingin didengarnya.
Rapat desa langsung dipersiapkan keesokan harinya. Kabar yang memang telah cukup meluas, kini dikonfirmasi oleh masing-masing kepala desa di Pulau Easust.