REMAINS UNSAID

Murasaki Okada
Chapter #2

Dua



 

SMU Kusuma Bakti, 2006

Jam pertama, mata pelajaran Akuntansi.

Setengah terjaga Bramasta menyimak penjelasan dari Pak Hans tentang pengikhtisaran siklus akuntansi perusahaan jasa yang baru saja memasuki tahap penyusunan neraca lajur. Beberapa kali ia harus menyembunyikan wajah di balik buku untuk menguap.

Ia sebenarnya tidak punya masalah dengan tidur. Maksimal pukul sebelas ia sudah bisa terlelap. Tapi belakangan Bramasta jadi sering mendapati dirinya terjaga pukul dua atau tiga pagi. Otaknya berputar ke hal-hal tentang gadis bernama Kla yang duduk di bangku seberang. Gadis yang selalu membuat jantungnya berdetak keras setiap kali ia melintas. Gadis yang selama hampir dua tahun ini menjadi pusat gravitasi indranya.

Meski begitu Bramasta tidak mengerti mengapa gadis itu masih saja bersikap dingin padanya. Padahal mereka sekelas sejak kelas dua. Namun nyaris tak pernah ada interaksi di antara keduanya. Kla seakan-akan sengaja membangun tembok es yang sangat tinggi di hadapan Bramasta.

Raungan bel istirahat membangunkan kesadaran Bramasta sepenuhnya. Ia menggelengkan kepala dengan gerakan pelan, lalu mengusap wajah dua kali. Di depan kelas terdengar Pak Hans mengumumkan PR yang harus diselesaikan dalam LKS dan dikumpulkan pekan depan.

Lalu kelas bubar.

Bramasta merapikan barang-barang di mejanya, lalu beranjak. Ketika melintas di depan meja Kla, ia menyempatkan diri menyapa gadis itu.

“Ke kantin, Kla.”

Yang dibalas gadis itu dengan tatapan sekilas, anggukan pelan dan segurat senyum tipis. Bramasta pun berlalu. Tak apalah, yang penting Kla merespon. Batin Bramasta.

Sejurus kemudian setelah kepergian pemuda jangkung itu, dua orang gadis dari barisan meja seberang datang menghampiri Kla. Mereka adalah Ririn dan Marsha, sahabat kental Kla sejak SMP. Kedua gadis itu meletakkan kotak makan siang di atas meja, lalu menarik kursi lain yang diletakkan di depan meja Kla.

Kla menyambut keduanya dengan senyuman secerah musim semi, lalu mengeluarkan juga kotak makan siang miliknya dari laci meja.

Tidak lama setelahnya, sapaan heboh terdengar dari arah pintu, “Hai gadis-gadis!” yang disusul kehadiran seorang gadis bertubuh mungil, menghampiri ketiga sahabatnya yang lain. Gadis itu, Ayu namanya, yang paling kenes dan lincah di antara mereka.

Persahabatan Kla, Ririn, Marsha dan Ayu sudah terjalin hampir enam tahun. Dimulai ketika mereka satu gugus saat masa orientasi siswa baru di SMP. Beruntung mereka ditempatkan satu kelas. Setelah lulus SMP, mereka lalu sepakat untuk sama-sama mendaftar di SMU Kusuma Bakti. Keempat-empatnya lulus ujian masuk, tapi kemudian terpencar. Ririn entah bagaimana tersasar di kelas satu-satu, sementara Kla dan Marsha anteng di kelas satu-tiga. Ayu lain lagi, ia terdampar jauh ke kelas satu-sembilan.

Ketika penjurusan dimulai di kelas dua, Kla, Ririn dan Marsha sepakat masuk IPS. Sedangkan Ayu bersikeras masuk ke jurusan Bahasa.

“Gue ogah berurusan sama yang namanya Akuntansi. Ngitung-ngitung duit nggak jelas. Iya kalau yang dihitung duit sendiri, lha ini nggak tau duit siapa.” Begitu kilahnya. Yang sebenarnya, gadis berperangai sanguinis itu memang tidak suka dengan hal-hal rumit.

Banyak hal yang telah mereka lalui bersama selama kurun waktu lima tahun. Ritual membawa bekal dan makan bersama di jam istirahat pertama, seperti yang sedang mereka lakukan sekarang merupakan salah satu agenda wajib mereka sejak SMP.

“Eh, tau nggak, kemarin sore, pas pulang sekolah ada anak IPA yang nembak si Brams.” Ujar Ririn, sang ketua kelas di sela-sela suapan.

Lihat selengkapnya