REMAINS UNSAID

Murasaki Okada
Chapter #5

Lima

 

“Tuh, kan gue lupa bawa singlet gue.” Keluh Ayu usai mengobrak-abrik ransel yang biasa ia bawa. Itu bukan yang pertama, dan ketiga sahabatnya yakin takkan menjadi yang terakhir. Setiap kali jadwal menginap bersama tiba, ada saja barang yang luput dimasukkan gadis itu ke dalam ransel. Entah itu sikat gigi, ikat rambut, cadangan pakaian dalam, bahkan kaos kaki. Karenanya mereka selalu mengantisipasi. Terutama Marsha, selalu siaga dengan beragam barang yang masih baru.

Si pipi chubby, Marsha menyodorkan sebuah singlet yang masih tersegel dalam plastik. Ayu meraihnya sambil nyegir. Ia sadar betapa dirinya sering merepotkan Masha.

Akhir bulan itu adalah jadwal menginap bersama di rumah Masha. Ini adalah salah satu kebiasaan keempat gadis itu. Sebulan sekali mereka akan berkumpul di rumah salah satu dari mereka. Sebenarnya hanya berputar antara rumah Marsha dan Ririn. Acara menginap bersama mereka memang tak pernah dijadwalkan di rumah Kla atau Ayu sebab hal itu tidak memungkinkan.

Kla sebagaimana anak yang berasal dari keluarga menengah pada umumnya, tinggal di sebuah rumah sederhana tipe lima empat dengan tiga kamar tidur. Ia harus berbagi kamar dengan Katya sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengajak ketiga sahabat lainnya untuk menginap bersama. Sedangkan Ayu tinggal di sebuah panti asuhan.

“Berikutnya!” ujar Ririn serupa petugas resepsionis yang mengumumkan nomor antrian ketika dirinya baru keluar dari kamar mandi.

Sekonyong-konyong Ayu melompat dari tempat tidur dan menyambar handuk dari gantungan. “Gue duluan!!!” serunya lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

“Loh, tadi bukannya si Kla yang ngantri habis gue?”

“Dia ke dapur. Tadi dipanggil sama bunda.” Sahut Marsha. Gadis itu sedang mengatur beberapa barang dalam lemari.

Yang sebenarnya, bundanya Marsha memang senang mengajak Kla mengobrol. Di antara ketiga sahabat putri semata wayangnya itu, sudah sejak lama bundanya Marsha menaruh perhatian lebih pada Kla. Itu sebabnya setiap kali Kla datang menginap, ia selalu mengajak gadis itu mengobrol di sela-sela kegiatan memasak dan menyiapkan makan malam.

“Kla itu cekatan sama pekerjaan rumah tangga. Dan perhatian sekali sama orang tua.” Ujar sang bunda suatu hari. Saat itu mereka masih kelas dua SMP.

“Wajar, bunda. Kla kan piatu dari kecil, jadi dia udah terbiasa mandiri. Dan mungkin dia senang ngobrol sama bunda karena dia ngerasa bunda kayak ibunya.”

“Coba ya Marsha punya kakak cowok, bunda bakalan jodohin dia sama Kla.”

Marsha tergelak. “Kok pikiran kita sama, ya bunda? Aku juga pernah loh ngomong gitu ke dia. Aku bilang, coba aku punya abang, bakalan aku jodohin sama kamu. Si Kla cuma senyum-senyum.”

Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Ririn mengamati meja belajar Marsha yang tampak berantakan. Ia tahu bukan kebiasaan gadis berperangai melankolis itu memberantakkan wilayah teritorialnya.

“Tumben.” Ujarnya sambil memberi isyarat dengan gerakan kepala, menunjuk meja belajar.

“Oh, itu hasil karyanya si Kla. Tadi dia lagi sibuk nulis. Tahu-tahu dipanggil bunda ke dapur.” Sahut Marsha. Dalam taraf seperti itu, Marsha masih bisa mentolerir keberantakan sebab Kla berkata akan membereskannya seperti sedia kala.

Ririn menghampiri meja itu sekadar memeriksa. “Si Kla lagi sibuk apa sih? Akhir pekan gini kan nggak ada PR.” Iseng ia mengangkat jurnal milik gadis itu dan membacanya sekilas. Seketika sebelah alisnya terangkat.

“Marsha, sini bentar deh.” Ririn menyodorkan jurnal itu pada Marsha.

“Jangan, Rin! Itu privasi-nya Kla. Kita udah sepakat, kan nggak bongkar-bongkar privasi kalau kitanya nggak mau berbagi?”

“Iya, gue tau. Tapi lo musti cek ini deh.” Ririn mendesak. “cepetan!”

Dengan enggan Marsha meraih jurnal itu. Sambil ragu-ragu mengarahkan pandangan ke tulisan di atasnya.

Lihat selengkapnya