REMAINS UNSAID

Murasaki Okada
Chapter #6

Enam


Terdengar suara ketukan di pintu, tepat setelah jemariku menguak lembar selanjutnya. Aku tersentak dan serta-merta mengangkat wajah. Secara refleks tubuhku terlonjak sehingga buku harian itu jatuh menelentang di lantai. Aku buru-buru merenggutnya lalu kusembunyikan di bawah bantal.

Pintu terbuka dan disusul Kantaka melongokkan kelapa.

“Ada Noe tuh di depan.” Kantaka memberitahu.

“Noe? Ngapain?” tanyaku bingung.

“Mau jemput kamu katanya.”

“Perasaan kita nggak janjian deh.” Aku bergumam lebih kepada diriku sendiri.

Kantaka mengendikkan bahu. “Sana temuin gih.” Ujarnya seraya memberi isyarat dengan gerakan kepala lalu beranjak.

Noe adalah sahabatku sejak kecil. Keluarga kami juga sangat dekat satu sama lain. Dulunya kami bertetangga di Perumnas dekat kantor Gubernur. Tapi saat aku lulus SMP, Papa pindah tugas sehingga keluarku juga ikut pindah. Meski begitu tak ada yang berubah, baik aku dan Noe, juga keluarganya serta keluargaku masih dekat.

“Loh, kok belum siap?” sambar Noe. Pemuda curly beralis lebat itu melongo ketika melihatku berjalan dari dalam dan menghampirinya di sofa.

“Emang kita janjian mau pergi?”

“Kemarin katanya mau ditemenin ke toko buku buat cari bahan draft kamu.”

“Iyakah? Masa sih?”  “Ya ampun Tabi…” Noe berkata dengan gemas. Ia kemudian mengeluarkan ponsel lalu memperlihatkan rekam jejak percakapan saat kami mengatur janji kemarin sore.

Seketika rasa malu muncul. Kami memang punya janji hari ini. Mengapa tadi aku tidak punya ingatan apa-apa tentang ini?

“Duh, Noe maaf banget ya? Aku benar-benar lupa.”

Noe menghela napas. “Terus sekarang gimana?”

Aku terdiam, sambil menimbang-nimbang. Sebenarnya aku sedang enggan ke mana-mana hari ini. Kisah dalam buku harian Kla telah melahap sebagian besar pikiranku. Hal yang paling kuinginkan sekarang adalah mengunci diri dalam kamar dan membaca kisah itu hingga tuntas. Tapi aku teringat pengorbanan Noe. Aku tahu jarak yang ditempuh pemuda itu dari rumahnya tidaklah dekat. Noe harus bermotor selama kurang lebih empat puluh menit.

Aku menghela napas, “Ya udah, tunggu. Aku siap-siap dulu.” Akhirnya aku berkata, kemudian beranjak ke kamar untuk bersiap-siap.

                                                                       *****

Sudah hampir satu jam kusisiri rak demi rak, sambil sesekali meninjau judul yang tertera di sampul. Tetapi belum ada satu pun buku yang kupilih. Aku berdiri dengan pikiran terombang-ambing sambil menatap jejeran rak yang membentang di kiri dan kanan. Rasanya tak ada buku di toko itu yang bisa kujadikan referensi untuk pembahasan latar belakang draf proposalku. Entahlah, mungkin memang pikiranku yang sedang melantur kemana-mana.

Lihat selengkapnya