SMU Kusuma Bakti, 2006
Jam kosong di seluruh kelas. Waktu-waktu semacam itu adalah momen krusial. Para guru sedang melangsungkan rapat di ruang komite. Namun karena dijadwalkan hanya sampai jam istirahat kedua, siswa-siswa tidak dipulangkan. Mereka harus menunggu untuk mata pelajaran terakhir.
Kebanyakan siswa memanfaatkan kesempatan seperti itu untuk melakukan kegiatan di luar kelas, termasuk Marsha dan Ririn. Mereka sudah tak tampak batang hidungnya sejak tadi. Sedangkan Kla seperti selalu, ia tetap tinggal di kelas dan memilih menenggelamkan diri dengan catatan.
Jendela-jendela di ruangan itu terus-menerus ditimpa cahaya matahari sepanjang pagi, sehingga hawa panas berkumpul. Kla pertama-tama merasakan itu di telinganya, kemudian rasa gerah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Udara panas tampak keemasan, seperti benda-benda yang terpapar sinar matahari di luar sana.
Menjelang tengah hari, suhu dalam ruangan beberapa derajat lebih tinggi ketimbang suhu di luar. Kla memutuskan untuk meninggalkan kelas juga. Bukan hanya karena ia merasa gerah, gadis itu juga mulai merasa bosan.
“Aufklarung.” Seseorang tahu-tahu menyebut namanya. Saat itu Kla sedang duduk berselonjor di bawah pohon mangga yang mengarah ke lapangan futsal. Ia tengah menyaksikan permainan beberapa siswa. Entah dari kelas mana, Kla tak begitu kenal. Sayangnya, Ara tidak ikut bermain. Benak Kla bertanya-tanya, dimanakah pemuda itu berada sekarang?
Gadis itu terpaksa menoleh.
Rupanya Bramasta yang memanggil. Pemuda itu mendekat dan meminta izin untuk duduk. Kla mengangguk dan bergeser sedikit untuk memberinya ruang.
“Ini punya kamu, kan?” Bramasta menunjukkan sebuah jurnal yang seketika itu langsung Kla kenali.
Sepasang mata sipit gadis itu melebar. Buru-buru ia merenggut jurnal dari tangan Bramasta. Bereaksi seperti orang yang sedang melindungi sesuatu yang berharga, Kla memeluk benda itu di dada. Seakan-akan Bramasta baru saja menyentuh benda terlarang.
“Kenapa ini bisa ada sama kamu?” gadis itu bertanya dengan curiga.
“Kemarin sore aku nemu di meja petugas perpustakaan. Mungkin ketinggalan.”
Kla terdiam. Mengapa belakangan dirinya jadi begitu ceroboh dan meninggalkan barang pribadinya di tempat terbuka? Ia jadi merutuki diri sendiri.
“Makasih udah dibalikin.” Ia berujar dengan sikap kaku.
“Ya, sama-sama.”
Dalam benak gadis itu, Bramasta akan langsung angkat kaki setelah mengembalikan barang miliknya. Ternyata tidak. Pemuda itu tetap di sana, duduk berselonjor bersama Kla.
Hening selama beberapa saat.
Bramasta lalu menatap Kla dan berkata, “Kamu otaku, ya?”
Pertanyaan itu sontak membuat Kla menoleh padanya. Benak Kla mulai dihinggapi banyak pertanyaan. Gadis itu mengangguk, namun jelas ia sedang mengantisipasi sesuatu.
“Aku mau tanya sesuatu.” Ujar Bramasta lagi.
“Ya?” sahut gadis itu. Masih dengan sikap siaga yang sama.
“Hadiah yang dikasih Farah waktu itu, ide kamu bukan?” terbayang dalam benaknya gantungan kunci dan pin karakter anime edisi langka ketika membuka kotak hadiah dari Farah, hampir sebulan lepas.
“Kok kamu tau? Farah ngasih tau kamu?”
Bramasta menggeleng. “Aku cuma nebak.” Ujarnya lagi.
Kla berpikir keras. Kira-kira apa yang membuat Bramasta menebak seperti itu? Apa petunjuknya? Pikirnya gelisah.
“Aku nggak sengaja liat pas buka-buka jurnal kamu. Di situ ada banyak image Byakuya Kuchiki, Sesshourmaru, dan lain-lain. Aku langsung kepikiran, kalau hadiah yang aku dapat waktu itu kemungkinan kamu yang milih. Pertama karena beberapa hari Farah sering nemuin kamu di kelas, dan kedua, setahuku Farah bukan tipe cewek otaku. Aku yakin dia gak bakal kepikiran ngasih hadiah kayak gitu.”
Wajah gadis itu menyiratkan kecemasan mendalam. “Kamu baca isi jurnalku?” ujar Kla dengan nada aneh.
“Hei, tunggu. Kamu jangan salah paham dulu, oke?” sela Bramasta ketika menangkap perubahan wajah Kla. “Aku cuma liat-liat sepintas. Kamu tau, kan reaksi orang saat menemukan barang orang?”
“Aku tahu.” Potong Kla cepat. Namun tatapannya masih berkilat aneh.
“Kla, sumpah aku nggak baca isinya. Aku nggak baca apa yang kamu tulis di buku itu.” Suara Bramasta terdengar begitu empuk di telinga.
“Okay.” Meski berkata demikian, nada tidak percaya masih tersirat dalam suara Kla.
Pemuda itu mendengus sambil mengusap wajahnya. Bramasta mendadak dihinggapi rasa bersalah. “aku bener-bener minta maaf, Kla. Aku nggak bermaksud buruk kok.” Ujarnya lagi.
Kla menghela napas, “ya udah, nggak apa-apa. Aku juga kalau ada di posisi kamu pasti akan melakukan hal yang sama. Kamu benar, itu reaksi normal. Aku aja yang berlebihan.”