Ruang UKS SMU Kusuma Bakti berada tepat di depan lapangan upacara. Luasnya kurang lebih tiga puluh delapan meter persegi. Terdiri dari ruang jaga dan ruang perawatan. Beberapa perlengkapan juga tampak di sana, seperti tandu dan tabung oksigen.
Tempat itu tak banyak berubah. Masih dengan penataan yang sama saat Kla masih menjadi anggota PMR. Hanya beberapa hal yang ditambahkan. Seperti lemari untuk menyimpan cadangan obat dan perlengkapan P3K, yang dulunya hanya sebuah kotak kayu yang lebarnya tidak lebih dari delapan puluh centimeter. Juga terdapat alat pengukur tekanan darah. Pada dinding juga terpajang beberapa poster tentang himbauan pentingnya donor darah, dan sebuah Snellen chart.
Karena kelas kosong pada jam pelajaran ketiga, Kla dan Marsha dengan senang hati mengambil jadwal piket untuk menggantikan tugas adik kelas yang sedang ujian. Meski masa bakti sebagai anggota PMR telah selesai sejak naik kelas tiga, mereka masih sering dimintai tolong oleh Pembina UKS untuk membimbing para junior atau pun menggantikan tugas jaga mereka. Hanya ketika jam pelajaran kosong.
“Maaf, boleh minta tolong. Ada obat maag nggak?” satu suara menyentak ketika Kla sedang iseng memeriksa catatan di meja petugas.
Gadis itu mengangkat wajah lalu seketika itu juga terbeliak. Menjulang di hadapannya pemuda yang saban hari menjadi target pengamatannya di sekolah. Ara menatap gadis itu dengan raut wajah seakan menahan sakit.
Selama beberapa saat Kla membatu, seolah baru saja bersitatap dengan Medusa.
“Punya obat maag, nggak?” Ara mengulang, menyaadari dirinya tidak mendapat respon.
“Ya?” Ujar Kla agak gelagapan. “Tadi, kenapa?”
“Obat maag. Ada nggak?” sekali lagi Ara mengulang. Ia tampak meringis sembari meletakkan salah satu tangan di atas perut.
Dengan rasa gugup yang berusaha keras ia sembunyikan, Kla bangkit lalu beranjak ke lemari tempat penyimpanan obat, mencari-cari selama beberapa saat.
Marsha yang menyadari situasi itu memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa dan membiarkan saja Kla menangani Ara.
Dari posisinya sekarang, gadis berpipi chubby itu mengamati. Ketika pertama kali mengetahui fakta bahwa sahabat kesayangannya naksir pada pemuda dari kelas IPA 2 itu, Marsha telah membangun gambaran dalam kepala tentang sosok Ara.
Seharusnya ia tak berekspektasi lebih, tetapi entah mengapa Marsha tetap menyimpan secuil harapan. Ia berpikir bahwa mungkin ada sesuatu semacam inner beauty pada sosok yang menjadi bahasan dalam buku harian Kla itu. Sesuatu yang secara alami membuat gadis-gadis terpesona. Bahwa mungkin Kla secara tidak sengaja telah menangkap pesona itu dan tertawan olehnya. Ia berharap bahwa dengan menatap Ara, pesona tersembunyi itu mungkin bisa tertangkap juga olehnya meski selintas.
Ternyata tidak demikian. Benar-benar tak ada hal istimewa dari pemuda bernama Ara itu. Setidaknya di mata Marsha, Ara hanya sosok anak SMU biasa yang bisa dengan mudah ia abaikan saat berpapasan.
Setelah mencari-cari selama beberapa saat, Kla tidak berhasil menemukan obat maag. Ia kemudian beralih ke buku inventaris UKS untuk mengecek persediaan.
“Aduh, maaf ya. Obat maagnya habis.” Kla berkata dengan penuh penyesalan.
“Oh, iya. Ngaak apa-apa.” Ara berujar sambil meringis.
“Sakit banget, ya?” ujar gadis itu prihatin.
Ara hanya mengangguk seraya meringis dan memegangi perutnya.