Arqi pulang. Tempat peraduan yang ia masuki bergaya adat Sulawesi Bugis-Sinjai, tampak sulit dinaiki tangganya. Bukan tangganya yang tinggi. Bukan pula langkah-langkahnya yang berat. Juga bukan kakinya yang tidak mau kompromi. Namun, hatinya Arqi yang sedang berbuat ulah. Pemandangan Maiza pergi dengan bersuara tangis seolah terus menjadi bayangan yang menghalang di hadapannya.
"Assalamualaikum." Mulutnya secara refleks berucap saat kaki melangkah masuk.
Terdengar suara wanita dari dalam, menyahut. Arqi mengenali pemiliknya. Jelas terdengar sosok itu sedang berada di rumah atas. Arqi lantas melangkahkan kaki menuju ruang berikutnya. Begitu mendekat, dia meminta tangan dan menciumnya.
"Ibu akan menjahit apa hari ini?" Dia memaksakan sebuah senyuman. Sayangnya, Arqi sendiri nenyadari bahwa yang dia bisa hanyalah senyuman bertaraf rendah.
Jelas saja wanita itu memandangi anandanya begitu lama. Dengan mata yang berada di balik benda kembar bulat, wanita 50 tahunan itu tersenyum. Ya, dia ibu kandung Arqi.
"Apa ada sesuatu, Nak?" Pertanyaan sang ibu sedikit mengobati lukanya hari ini.
Luka.....aku terluka?
Arqi menatap bundanya dalam diam.
Ibu...Arqi balas menatap lama ibundanya.
Diperhatikannya wajah itu. Teduh. Selalu tersenyum. Belum ada kerutan marah sedikit pun. Rasa bangga lantas datang pada hati Arqi. Dia bangga memiliki ibunya. Ibu yang begitu baik dan bersuara lembut. Ibu selalu terlihat 'pure' di mata Arqi. Ibu tak pernah membuatnya belajar seperti apa marah itu. 26 tahun, dia dan ayahnya justru mengajarinya menghalau rasa marah menjadi apapun. Apapun asal bukan marah. Tetapi hari ini...entah bagaimana...entah apa yang harus ia lakukan.
Luka...ibu, aku terluka...
"Arqi..." Arqi tersentak berlipat-lipat oleh suara hatinya sendiri dan juga panggilan lembut ibu.
Arqi tersadar, dia sedang bersama ibunya. Dia pun kembali pada ibu. Namun, pemuda itu malah menarik kedua ujung bibirnya ke belakang. Posisinya yang duduk di atas lutut seperti boneka sedang dipajang, dia ubah jadi bersila. Lesung pipinya muncul.
"Aku baik-baik saja, Ibu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ah Arqi, kenapa kau tidak berterus terang saja?