Remaja Pemikat Hati

Aiska Muti Salsabila
Chapter #2

Masa Muda Gemilang

Ketika fajar menyingsing, Comrade-in-arms telah berada di Kediaman Mareta. Mereka berkumpul untuk mendiskusikan proyek sekolah yang harus dikumpulkan pekan depan. Namun, ketika mereka akan membahasnya, Shiren Mareta, anak pemilik rumah, dipanggil ibunya di dapur.

Sembari melangkah masuk rumah, Shiren berkata, "Bentar ya?!"

Mereka bertiga melihat Shiren yang terburu-buru dan menghilang dalam sekejap.

Saat di dapur...

Ibunya mengomelinya. "Shiren, kamu tuh ya, boros banget! Udah tahu kondisi ekonomi kita gimana, tugas sekolahmu malah mengeluarkan banyak uang. Kalau seperti ini terus, entah sampai kapan kita punya uang banyak. Dari awal ibu sudah pernah bilang, jangan sekolah di sekolah Internasional, meskipun tantemu itu yang ngebayarin."

"Tapi kan tante juga membiayai semuanya Bu. Bahkan tante bilang kalau aku ada iuran untuk apa pun itu, tinggal ngomong aja," jawab Shiren.

"Lantas di mana ibu bisa menaruh muka ibu Ren? Ibu harus ngelihatin anak ibu ngemis ke adik ibu sendiri? Orang tua mana yang mau lihat anaknya mengandalkan uluran tangan dari saudaranya. Mereka akan terus bilang bahwa orang tuamu itu tidak mampu membiayaimu!"

Shiren menghembuskan napas kasar. "Sedangkan ibu hanya bisa membatasiku untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu mendapatkan banyak penghargaan dan beasiswa untuk bersekolah. Itu pun sangat membantu Ibu untuk tidak mengeluarkan uang. Apa salahnya jika tante yang memintaku untuk bersekolah di sekolah Internasional? Beliau juga tidak pernah mempermasalahkannya.

"Aku mohon jangan memperdebatkan hal ini sekarang. Di luar masih ada teman-temanku yang menunggu. Jika perbincangan kita didengar oleh mereka, sebaliknya, di mana aku bisa menaruh mukaku Bu?"

Shiren berjalan keluar dari dapur.

"Berhenti!" teriak ibunya.

Ibunya menyodorkan gorengan yang telah dimasaknya. "Kau lupa membawa ini."

Shiren melanjutkan langkahnya yang terhenti tadi.

Assya yang menghirup aroma harum langsung menyahutnya. "Wah! Akhirnya dapat pisang goreng...."

"Iya nih, kesukaanmu."

Bastian mulai mengajak obrol mereka di saat sedang menikmati makan pisang goreng. "Guys! kalian ngerasa gak sih kalau proyek kerajinan tangan kita ini terlalu menghamburkan banyak uang? Mamaku saja selalu menceramahiku."

Shiren yang masih kesal dengan perselisihannya dengan ibunya tadi, seketika tidak sengaja menyinggung kedua temannya. "Mana mungkin sih Bas untuk Assya dan Mahi. Sekelas anak konglo dan anak dokter tidak akan dipermasalahkan oleh orang tuanya. Apalagi hanya mengeluarkan uang di bawah setengah juta aja. Kecil lah itu di mata mereka."

"Ah tidak juga! Menurutku uang segitu juga udah banyak. Jujur saja demi membuat lemari piring ini, aku rasa juga telah banyak mengurangi jumlah tabunganku," balas Assya tidak enak.

Kemudian, Assya terpikirkan sebuah ide. "Mmm... sepertinya aku punya solusi untuk masalah kita ini!"

"Bagaimana jika kita..."

Pendiskusian beralih menjadi diskusi untuk mendapatkan uang.

"Gimana kalian setuju gak?" tanya Assya meyakinkan.

"Aku sih YES!" jawab Shiren bersemangat.

"Aku ngikut kalian," tanggapan dari Bastian.

Orang yang sedaritadi hanya menyimak perbincangan mereka bertiga, justru mempertanyakan keputusan mereka. "Untuk memulainya kalian juga butuh modal untuk itu."

"Tenang saja, aku modalin," ucap Assya dengan mudahnya.

Shiren menunjukkan muka masamnya. "Ah iya, modalnya pasti banyak. Aku ga mau ngerepotin kamu terus Sya!"

"Tenang, tenang. Kalian ga ngerepotin aku kok. Asal kalian tahu, aku itu sebenarnya udah lama pengin buka bisnis kecil-kecilan."

"Tapi kan kedua orang tuamu sudah kaya raya Sya. Ngapain kamu jualan?" Tanya Bastian penasaran.

Assya tersenyum. "Aku sendiri punya keinginan buat punya bisnis. Aku ingin mengalahkan bisnis orang tuaku."

Mahija menyindir. "Namanya juga anak pebisnis, bukannya nerusin usaha orang tuanya, malah pengin buka bisnis baru lagi."

"Oh iya, anggap aja kalian jadi pegawaiku. Aku akan memberikan upah yang layak kalian dapatkan. Mau tidak???" ajak Assya.

"Berapa duit tuh?" Bastian turut menyudutkan Assya.

"Tergantung nanti. Pokoknya ga bikin kalian nyesel deh...."

Shiren langsung mengajukan diri. "Aku mau banget Sya!"

"Ngikut."

Mahija memberikan tawarannya. "Aku ngikut modalin juga dong Sya."

"Ga perlu!"

"Aku aja gapapa. Gimana Mahi, mau jadi pegawaiku?" tanyanya.

"Yaudah kalau gitu. Aku ngikut."

Setelah perbincangan rencana membuka bisnis baru selesai, mereka melanjutkan diskusi proyek yang sempat tertunda.

*****

Assya menatap tajam barang yang sedang dilihatnya. "Sepertinya Shiren lupa membawa piringnya. Aku susul dia dulu ya, sekalian mau ke kamar mandi."

"Shiren, kamu tuh ya, boros banget! Udah tahu kondisi ekonomi kita gimana, tugas sekolahmu malah mengeluarkan banyak uang. Kalau seperti ini terus, entah sampai kapan kita punya uang banyak. Dari awal ibu sudah pernah bilang, jangan sekolah di sekolah Internasional, meskipun tantemu itu yang ngebayarin."

Ini bukan saat yang tepat aku kemari. Aku salah dengan menyusulnya.

Bolehkah aku penasaran?

Ah ga sopan ini namanya.Tapi, sudah terlanjur.

Kalau begitu, aku izin mendengarkan ya Ren. Maafkan aku yang lancang!

"Sedangkan ibu hanya bisa membatasiku untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu mendapatkan banyak penghargaan dan beasiswa untuk bersekolah...."

Sepertinya aku harus pergi dari sini.

"Sya, kamu kenapa balik lagi?" Tanya Bastian penasaran.

Assya mendekatkan jari telunjuknya ke mulut. "Ssttt..."

"Guys, kalau Shiren ke sini kita bahas buka bisnis baru yok?!"

Mahija mengerutkan alis. "Tapi kenapa?"

"Pokoknya jangan tanya dulu, nanti aku ceritain."

"Bas, aku butuh bantuan kamu!"

Tak lama setelah itu, tercium bau harum yang menandakan Shiren datang membawa pisang goreng.

*****

Ting Tong.... Ting Tong....

Seorang pembantu rumah tangga menuju pintu. "Ya sebentar!"

"Eh kalian."

"Silakan masuk."

Shiren tak enggan bertanya, "Assya di mana ya Bi?"

"Oh, Nona ada di dapur. Tadi, masih nyiapin kamera dan peralatan lainnya."

Mereka bertiga langsung bertatapan satu sama lain.

Shiren menggerakan mulutnya secara perlahan. "Kamera?"

Kedua tangan Bastian terbuka seperti membentuk huruf u dan pundaknya digerakan ke atas.

Sesampainya di dapur, mereka melihat Assya yang tengah sibuk mengatur posisi kamera.

Demi mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, Shiren bertanya pada Assya. "Sya, kamera buat apa?"

Assya dengan sangat bersemangat menjawabnya, "Oh ini! Berhubung kita mau membuka bisnis jajanan, aku mau sekalian bikin vlog. Lumayan gitu videonya bisa disimpan di channel YouTube kita nanti."

Mereka diam sejenak.

Assya menertawakan ketiga sahabatnya. "Biasa aja kali, muka kalian lucu banget kalau lagi melongo gitu!"

Lihat selengkapnya