Alendra Rahardian tidak pernah terpikirkan untuk menjadi salah satu siswa pertukaran pelajar SMP tahun ini di kotanya. Meski hanya pergi ke Jakarta, tapi tetap saja itu suatu yang sangat berarti untuk masa depan Ale. Apalagi ketika tahu bahwa sekolahnya di ibu kota adalah sekolah elite terfavorit dan bergengsi se-Jakarta, atau bahkan se-Indonesia.
SMP Cendikia Buana, sekolah putih-biru yang letaknya di Jakarta Utara. Laki-laki itu memijakkan kakinya di koridor yang tampak sepi, karena beberapa murid lainnya sudah memasuki kelasnya masing-masing. Mulai dari halaman sekolah yang lega, serta dengan bangunan yang menjulang tinggi, sukses membuatnya menganga sejak tadi.
Ale yang baru berusia empat belas tahun ini berjalan di belakang guru berkacamata yang tengah menuntun langkah Ale ke sebuah kelas di lantai dua. Sesampainya di kelas, suasananya menjadi cukup tenang, berbeda jauh dengan kelas Ale di sekolah lamanya yang sangat gaduh. Pak Harun—guru yang tadi mengantar Ale menuju kelas ini, dia tersenyum menyapa seluruh murid di sana, lantas tatapannya tertuju pada Ale.
“Bapak di sini untuk memberi tahu kalian, bahwa kelas kita kedatangan siswa pertukaran pelajar dari Bandung,” ujarnya yang langsung ditatap antusias pada murid-murid yang lain. “Ayo, silakan perkenalkan diri kamu.”
Ale mengangguk. “Halo semua, perkenalkan saya Alendra Rahardian, biasanya dipanggil Ale. Saya berasal dari SMP Perkasa di Bandung,” ungkapnya dengan tersenyum manis.
“Ale adalah tamu di SMP Cendikia Buana ini, dan kalian sebagai tuan rumahnya harus bisa memperlakukan Ale dengan baik, oke?” Pak Harun menatap ketiga puluh satu muridnya penuh harap. Setelah memberi Ale tempat duduk dipaling belakang dekat jendela—karena hanya itu satu-satunya tempat yang tersedia—pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun lebih ini akhirnya berpamit, menitipkan murid-muridnya pada Bu Tyas—guru matematika yang mengajar selanjutnya.
Selama Bu Tyas belum datang, kelas masih tetap aman dan tenteram. Tapi yang membuat Ale bertanya, kenapa tidak ada satu pun siswa yang mencoba mengajaknya berkenalan? Ale bukannya terlalu berharap atau apa, hanya saja biasanya setiap kedatangan siswa baru pasti habis dikerumun, tapi tidak untuk Ale sekarang.
Ale terdiam membisu, tidak tahu harus mengajak bicara kepada siapa. Pemilihan tempat duduk di sekolah ini pun tidak seperti kursi-kursi kayu di sekolah pada umumnya, mereka lebih terlihat seperti kursi yang dipakai mahasiswa kampus. Wajar memang, namanya juga sekolah elite, tentu saja fasilitasnya lebih modern. Tapi tidak enaknya, di sini dia kesulitan untuk berkomunikasi dengan teman sebangkunya.