“7 menit. Cukup cepat,” komentar seorang pria yang hanya mendapatkan senyuman tipis dari sasaran ucapannya. “Seharusnya lebih cepat saat tahu jika lawanmu 2 poin di bawah levelmu,” ia menerima sebendel uang begitu orang yang dimaksud berhenti di sampingnya.
“Berikan dia kesempatan,” pria lain yang berdiri di sisi lainnya menyahut. “Ini pertarungan, bukan ajang kekuatan satu pukulan. Tidak adil rasanya jika kau tidak memberinya kesempatan membalas.”
Wajah setujuku langsung terlihat menanggapi kalimat barusan.
“Yah, baiklah. Kurasa benar juga,” Nick mengedikkan bahunya, tidak ingin melanjutkan argumennya. “Hei, dari mana asalmu?” ia mengalihkan pandangan ke arah laki-laki yang mengikutiku sejak kami menyelesaikan pertandingan kami barusan.
“Uhm,.. pinggir kota bagian selatan. Hampir perbatasan, 1 jam dari sini,” jawab Damon, masih mengatur energinya yang cukup terkuras.
Tidak ada komentar dari kami bertiga, walaupun kami mengetahui daerah yang ia maksud. Perhatian kami lebih ke arah depan, dimana Tuan Royce dan Tuan Craig menyudahi acara malam mereka. Beberapa detik kemudian, kedua pria terhormat itu membalik badan dan menuju ke pasukan masing-masing.
Kulihat jam tanganku, “kau bisa naik bus, kan?” tanyaku pada lawan tandingku tadi.
“Ya, tentu saja,” jawabnya bingung.
“Masih ada bus terakhir, kau akan menaikinya. Kami antar dirimu ke halte, setelah itu pulanglah,” ucapku seakan memberi instruksi. Lalu kuambil sepuluh lembar uang dari hasil kemenanganku dan menjejalkan pada tangan kanannya.
“Kau tidak perlu—“
“Kau perlu itu,” potongku, mengetahui tujuannya mengikuti Tuan Craig untuk pertandingan malam ini. “Anggap sebagai uang obat dari latihan kita malam ini.”
Dahinya berkerut memandang kami bertiga. “Latihan?”
Satu decakan Nick terdengar pelan, “jika ini pertarungan sungguhan, kau mungkin tidak akan berdiri saat ini, Bung,” senyum gelinya terlihat.
“Kami tahu levelmu yang sebenarnya, itulah kenapa ia tidak menekanmu terlalu jauh. Jadi, ya. Ini hanya latihan untuknya,” Jasper menjelaskan secara singkat.
“Ouh,” Damon merunduk, sedikit malu dan bingung. “Terima kasih,” ia memandang kami sejenak sebelum kembali menunduk.
“Kalian sudah selesai?” tanya Tuan Royce yang bergabung dengan kami bersama Bernard di sampingnya.
“Ya, Pak,” jawab kami serempak.
“Bagaimana dengannya?” pandangan beliau tertuju pada laki-laki yang masih terdiam dengan uang di tangannya.
“Dia akan naik bus. Kita hanya perlu mengantarnya sampai halte persimpangan depan,” jawabku.
Pandangan Tuan Royce masih mengarah pada laki-laki sebayaku itu, memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Bagus. Kita bisa pulang sekarang,” instruksinya sambil kembali melangkah.
“Uhm, Tuan Royce,” Damon mengejar langkah kepala keluarga kami itu.
Dengan sikap yang tetap menunjukkan martabatnya, Tuan Royce menghentikan langkah dan memandang asal panggilan. “Ada apa?”
“Terima kasih,” ucap Damon penuh kelegaan. “Pertandingan ini, kebebasan ini, semuanya. Saya berterima kasih pada Anda.”