Kami tiba di motel yang berjarak tak jauh dari lokasi pertandingan. Beberapa mobil dari plat nomor luar kota nampak memenuhi area parkir motel, dengan orang-orang yang membicarakan rencana bertanding mereka. Tak perlu diragukan, mereka sama seperti kami, peserta yang sedang menginap agar tidak terlalu lelah menghadapi hari istimewa besok.
Aku dan Peter memesan satu kamar dengan dua kasur, agar kami bisa berkomunikasi dengan mudah. Selain itu, kami juga meminimalisir terlihatnya wajah kami, baik dari orang-orang sekitar, para peserta pertandingan, dan juga CCTV. Semakin kami tak terlihat, semakin sulit orang untuk mengetahui diri kami sebenarnya, terutama aku.
“Kamar motel hampir penuh dengan para peserta yang menginap,” kata Peter yang baru saja masuk ke kamar dengan santap malam kami. “Sepertinya, 25% dari populasi manusia sedang berkumpul di sini untuk tujuh hari ke depan.”
Kepalaku menggeleng dengan senyum tipis, menanggapi ucapannya. Tentu saja, 25% yang dimaksud pasti sudah memenuhi kota ini jika dikumpulkan.
“Kau memasang perisai pikiranmu?” Peter memastikan, sambil memberikan makan malamku.
Kukerutkan dahiku menanggapi pertanyaannya. “Selalu,” jawabku sedikit heran jika ia baru mengetahuinya. “Terima kasih,” ucapku menerima satu burger darinya.
Baru saja ia duduk di tempat tidurnya, ponselnya berdering. “Spencer. Dia video call,” ujarnya sebelum menjawab panggilannya. “Hei! Spencer!”
“Kalian sudah sampai? Bagaimana di sana?” kata Spencer tanpa membalas sapaan Peter.
“Kami sudah tiba beberapa jam yang lalu. Kami juga sudah istirahat. Motel ini cukup bagus,” jawab Peter.
Aku meletakkan makan malamku dan bergabung untuk tampil di video call mereka. “Hei!”
“Case! Bagaimana kabarmu?”
“Ini sangat nyaman. Ada bathtup yang besar, jadi aku bisa berendam bersama Peter,” kataku jahil.
“Case!” Spencer langsung memprotes dengan nada cemburunya yang lucu. Namun ia hanya mendapatkan tanggapan tawa jahilku. “Peter!” kini ia beralih ke sahabatnya.
“Tenanglah, Bung. Aku tidak akan macam-macam,” Peter segera menjawab nada Spencer.
“Kau memang sahabatku.”
“Tidak. Bukan itu,” ia membantah kalimat barusan. “Aku lebih takut dengan keluarga Royce, dibanding dengan ancamanmu,” lanjutnya.
Aku yang mendengar kalimat Peter dan melihat ekspresi kesal Spencer semakin tertawa geli dengan kelakuan keduanya.
“Serius, Bung. Dia wanita terhormat. Bagaimana bisa kau punya pikiran seperti itu?” Peter memandang tajam lawan bicaranya itu.
“Ya, kau benar,” kini aku kembali menampakkan diriku dengan tatapan tajam ke arah Spencer.
“Aku—maksudku, bukan itu,” Spencer langsung terbata-bata. “Astaga,” ia langsung menutup wajahnya, bingung dengan dirinya sendiri.
“Kau lucu saat bingung,” aku kembali tertawa kecil melihatnya. “Tenanglah, semua baik-baik saja. Kau hanya cemburu dan itu wajar.”
“Yaa,” jawabnya, masih dengan nada ragu, bingung, dan khawatir. “Tentang pertandingan itu,” ia mengarahkan pembicaraan utama kami dengan wajah yang merona.
“1000 orang lebih yang mendaftar dan entah berapa banyak yang akan mereka seleksi ke babak berikutnya,” Peter mulai membuka penjelasan. “Kami mendapat lokasi yang akan digunakan besok. Sepertinya kami akan bermain labirin dalam babak pertama ini.”
“Kami belum mengetahui pasti bagaimana labirin itu, terlebih kami mendengar banyak renovasi dan penambahan pada lokasi itu beberapa hari terakhir. Jadi, mereka memastikan tidak ada yang mengetahui jelas tentang area pertandingannya,” aku menambahkan.
“Case, bisa kau beri akses padaku?” Ethan tiba-tiba muncul sambil memandang ponselnya.
“Serius?” kataku datar, walau kemudian aku mengusap bagian belakang liontinku. Layar depan liontin langsung memberikan data keadaanku, namun langsung menghilang begitu aku mengusap untuk menyembunyikannya.
“Oke, bekerja dengan baik,” kata Ethan sebelum kembali menarik wajahnya dari layar kami.
Spencer memandang Ethan yang menuju ke kursinya, lalu mengabaikan dan kembali pada kami. “Kurasa kalian perlu kode untuk saling komunikasi antar telepath, mengingat kalian pasti memasang perisai pikiran selama pertandingan.”
“Ya, ide yang bagus, Spencer. Kami akan pikirkan kata sandinya,” Peter menyetujui.
“Kuharap bukan Marco-Polo.”
“Serius, Spence?” aku memandangnya datar. “Tenang saja. Kami pikirkan sesuatu yang tidak akan diduga siapapun.”
“Oke, apa itu?” ia memasang wajah penasaran.
“Rahasia,” jawabku dengan senyum kemenangan.
“Oh, ayolah! Aku bahkan tidak ada di sana saat ini!” protesnya.