Pagi itu aku bangun dengan malas. Kami tidak punya jadwal hari ini, jadi setidaknya aku bisa bersantai sejenak, menikmati film atau komik favoritku. Kubuka jendela kamarku dan mencuci muka, lalu menuju ke dapur untuk sarapan pagi. Kuambil sepotong kue yang ada di atas meja dan melahap dengan nikmat. Tapi ketenanganku seketika terusik saat melihat seseorang yang membuka kulkas kami dengan santainya, seseorang yang tidak kami—atau setidaknya aku—kenal. “Hei, siapa kamu?” tanyaku langsung saat orang asing itu tidak melihatku masuk dapur.
“Oh, hei! Maaf, aku kelaparan jadi langsung ke dapur,” jawab wanita itu baru memandangku.
“Bukan jawaban dari pertanyaanku,” sanggahku ketus.
Ia tersenyum sejenak, lalu melebarkan gaun tidur kuningnya, “aku Belle.”
“Belle?” aku sedikit mencemooh.
“Ya, Belle. Beauty and the Beast,” jelasnya.
Tentu saja, itu bukan nama aslinya dan aku langsung paham. “Oh, hei Belle. Aku Elsa,” nadaku masih belum berubah. “Dan ini bukan istanamu. Sedang apa kau disini?”
“Sudah kubilang aku kelaparan—“
“Di rumah ini, Belle,” potongku. “Sedang apa kau di rumah ini?” koreksiku pada pertanyaan sebelumnya.
“Ouh, Royce mengajakku, jadi,..”
Aku mengangguk paham, “jadi kau adalah ‘tamu’ Dad,” dengan jelas aku memberi tanda kutip kata ‘tamu’ pada kalimatku. “Astaga,” aku langsung beranjak. “Dad!” panggilku sambil menuju ke kamar utama, yang dimiliki Dad alias Tuan Royce.
“Dia sedang tidur!” Belle mengikuti di belakangku.
Tidak ada tanggapan untuknya, aku tetap melangkah menuju kamar Dad dan langsung membuka pintunya. “Dad!”
“Casey, Sayang. Ini masih pagi!” Dad langsung memijat dahinya.
“Dia tidur?” kupandang tajam Belle melihat Dad yang duduk di kasurnya. “Siapa orang ini?!” tanyaku kini ke arah pemilik kamar, menunjuk Belle yang melewatiku masuk.
“Dia tamuku, Casey,” jawab Dad masih dengan nada bangun tidur.
“Dimana Seline?” tanyaku lagi.
“Siapa Seline?” Belle memandang kami bergantian.
“Sebangsamu,” jawabku masih dingin.
“Casey,” Dad memperingatkan tanpa mempertajam nadanya, hanya memanjangkan ucapan. “Seline tidak bersamaku lagi. Kupikir kau membencinya,” lanjutnya saat tidak ada jawaban dariku.
“Ya. Dan aku tidak menyukai siapapun yang tiba-tiba ada di rumah ini tanpa kuketahui kapan mereka datang. Terutama mereka!” aku menunjuk Belle.
“Casey, sudahlah. Kau hanya dendam karena aku tidak melanjutkan hubungan dengan Sarah.”
“Dia wanita yang baik, Dad. Aku menyukainya. Kau juga menyukainya!”
“Tapi dia tidak ingin hubungan yang permanen. Apa aku harus memaksanya?”
Memang benar kata Dad, kami tidak bisa membuat perasaan palsu untuk membuat kita nyaman. Aku menghela nafas, “oke. Tapi setidaknya bilang padaku jika ada penyusup yang masuk.”
“Aku bukan penyusup!” Belle kembali bersuara.
Kulambaikan tanganku sebagai isyarat jika aku tidak mempedulikan ucapannya.
“Astaga! Tidak sopan sekali anak ini! Beruntung aku tidak menjadi Mamanya,” Belle menatapku.
“Beruntung diriku!” sanggahku tanpa segan.
“Sayang,” Dad menengahi, lebih ke arah diriku. “Hari ini kita libur, nikmati harimu. Biarkan Dad istirahat, oke?”
Kumiringkan bibirku, jelas masih belum puas dengan percakapan kami barusan. Tapi saat Dad sudah memintaku seperti itu, aku tidak bisa membantah. “Oke, Dad,” jawabku patuh. Lalu kutatap Belle dengan geram, “aku mengawasimu,” ucapku lirih sambil menunjuk dua mataku dan matanya bergantian.
“Astaga, Sayang!” Belle meringkuk manja pada Dad.
“Casey,” Dad kembali menenangkanku.
Kuangkat tanganku, tidak ingin meneruskan lagi. Lalu aku berjalan keluar kamar dan kembali ke dapur, melanjutkan sarapan yang terhenti tadi.
Beberapa pelayan nampak sudah kembali dari supermarket dengan beberapa kebutuhan rumah kami. Mereka langsung menuju pekerjaan masing-masing sambil sesekali melempar sapa padaku.
Aku membuka kulkas lebih dulu, menuangkan susu murni organik, lalu kembali duduk di meja makan sambil menyantap potongan kue yang sudah kugigit tadi. Ketenangan kembali hadir dengan beberapa pelayan yang kadang mondar-mandir di sekitarku. Dan satu gerakan lagi yang mengusik pagiku itu. Dengan cepat aku menahan gelasku yang mulai bergerak.
Hening sejenak.
“Percobaan yang bagus, Nick,” kataku mengetahui sosok yang ada di belakangku, tanpa menoleh.
“Oh ayolah, Case!” Nick langsung melangkah dan duduk di sampingku. “Aku dengar kau ribut dengan Dad barusan. Masalah wanita lagi?”
“Ya. ‘Tamu’ Dad,” aku kembali memperjelas tanda kutip pada kata tamu dengan tanganku.
“Okay, kau menghajarnya?”
“Tidak,” jawabku kesal.
“Kenapa? Dia cantik, ya?” Nick menyeringai.
Kutatap dirinya tajam, “sama saja dengan Seline,” kataku. “Ini bahkan belum seminggu dan Dad sudah berganti lagi!” kini nada kesalku terpasang.
“Bahkan beberapa orang berganti tiap hari,” Nick menanggapi sebelum melahap kuenya.
“Itu bukan yang kumaksud,” nadaku turun, tapi masih kesal. Aku mengangkat tangan kanan, sebelum menurunkannya tanpa ada kata yang keluar. “Aku hanya tidak suka ada orang asing yang berkeliaran di dalam rumah.”
“Oh, tenanglah, Dik. Kau tahu jika ada yang macam-macam, mereka tidak akan selamat dari kita, atau setidaknya salah satu dari kita,” ia menepuk bahuku.
Memang benar ucapannya, orang biasa seharusnya takut pada kami. Kuputar wajah ke lawan bicaraku itu, “apa kau baru saja mengusap remahan kuemu pada bajuku?”
Nick memandang tangannya, “ya,” jawabnya tanpa dosa.
“Pergi,” kataku tenang namun mengancam. “Pergi sebelum kau mati.”
“Kau tahu aku tidak takut padamu, kan,” ia mulai menatapku lekat.
“Jika kalian mulai menggunakan kemampuan, aku akan menghukum kalian,” Jasper memotong ancaman kami berdua.
“Dia yang mulai duluan!” kataku dan Nick bersamaan.
“Sama saja,” Jasper memandang kami tegas. “Dan alkohol bukan untuk sarapan, B,” ia mengatakan tanpa melihat ke arah belakangnya.
“Apa kita ada pekerjaan hari ini?” tanya Bernard.
“Tidak,” Jasper menjawab, kini sambil menatapnya.
“Kalau begitu tidak masalah,” ucap Bernard sebelum kembali meneguk bir dalam botolnya.
Jasper kini hanya membiarkannya, tahu bahwa percuma jika ia masih ingin mencegahnya.
“Hei, Bear! Berapa banyak cewek yang sudah kau tiduri?” tanyaku.
Tatapan kedua kakak—angkat—ku langsung mengarah padaku dengan protes, tapi aku hanya menanggapi dengan sikap yang tidak ada masalah dengan kalimatku.