Remarkable

FS Author
Chapter #3

Level

Esok harinya, aku keluar kamar saat matahari sudah terik. Kebiasaanku saat mengetahui jadwal kami kosong hari itu, sehingga bisa kugunakan untuk istirahat, terutama setelah Black Battle semalam. Kucuci mukaku sebentar sebelum menuju ke dapur untuk mengisi perut.

Beberapa pelayan sudah menyelesaikan pekerjaannya dan nampak sedikit bersantai sambil menyelesaikan pekerjaan lain. Mereka selalu menghormati kami setiap kami lewat, minimal menunduk sedikit pada anggota keluarga ini. Kami pun membalasnya dengan senyuman—jika sempat—atau setidaknya melewati mereka tanpa memandang rendah status mereka. Dad mengajari kami sopan santun dengan baik, walau kami dari kalangan mafia.

Kuambil gelas untuk meneguk air putih segar, guna membasahi tenggorokanku. Kupandang sekitar dan hanya terlihat beberapa pelayan yang masih menyelesaikan tugas mereka. “Dimana mereka?” tanyaku pada Nemi, koki dan juga kepala pelayan kami.

“Maksud Anda Tuan Royce, Nona?” Nemi memastikan.

“Ya, dan semuanya. Semua pria keluarga ini.”

“Tuan Royce masih ada di kamar, beliau baru saja selesai sarapan sepuluh menit yang lalu. Sedangkan Tuan Bernard, Tuan Jasper, dan Tuan Nicolas nampak keluar tadi,” jelasnya.

“Keluar bersamaan?”

“Ya, Nona,” jawabnya sopan namun bersahabat.

Dengan uang dua tumpuk semalam, aku tahu kemana mereka pergi saat ini. Setidaknya Nick dan Bernard. “Nemi, bisa buatkan aku roti panggang cokelat? Aku akan mandi lebih dulu sebelum sarapan.”

“Baik. Apa perlu saya siapkan air untuk mandi—“

“Tidak, aku hanya mandi biasa,” potongku. “Terima kasih, Nemi!” ucapku sambil berlalu.

-[R]-

Kuparkirkan mobilku di area salah satu bar favorit kami. Kulihat hari Minggu ini beberapa kendaraan terparkir meramaikan bar dengan satu tujuan tertentu. Bahkan beberapa sorakan terdengar dari luar.

“Silahkan,” kata seorang bartender menyuguhkan gelas terisi seperempat minuman dan es di dalamnya.

Dad bilang kita alergi alkohol.”

Pria itu tersenyum, saat gelasnya tertarik sedikit menjauh dari dirinya. “Kita tahu itu tidak benar, Dik. Alkohol hanya menurunkan kemampuan kita dan butuh waktu untuk mencapai tingkatan kita sebelumnya,” jelasnya.

“Lemah,” komentar Bernard yang duduk di sampingnya sambil meneguk bir.

“Bagaimana dia bisa terus minum tanpa menurunkan kemampuannya?!”

“Kekuatan utamanya pada fisik, tidak perlu terlalu banyak pikiran,” jawabku.

“Benar juga,” ia menyetujui. “Apa yang kau lakukan disini, Case?” tanyanya.

“Mencari kakak-kakakku yang tiba-tiba hilang di akhir pekan ini!” jawabku. “Dan aku langsung tahu kemana saat kuingat jika kalian punya dua tumpuk uang semalam.”

“Woho! Kasar sekali,” komentarnya. “Tapi itu bukan alasan utama kami di sini.”

“Lalu apa, Nick?” pandangku datar, masih bersikeras dengan ucapanku barusan.

“Minggu Black Battle,” ia menunjuk area belakang bar yang lebih ramai daripada bar ini. Area seperti gudang yang disulap menjadi ajang pertandingan saat Minggu Black Battle yang diadakan sebulan sekali.

“Kau akan ikut bertanding?” tanyaku.

“Oh tidak,” ia tertawa geli. “Aku hanya memastikan ranking saat ini. tapi kedudukan empat besar masih bertahan selama beberapa bulan. Setidaknya tiga besar bertahan selama setahun ini,”

Kulihat salah satu layar yang ada di bar itu, yang menunjukkan peringkat para PK. “Namamu tidak ada di sana,” komentarku.

“Tentu saja,” Nick tersenyum. “Aku di atas mereka. Selama mereka masih belum mengubah nama si nomor 1, aku akan tetap berada di atas mereka.”

Kuanggukan kepalaku paham. “Kau di sini untuk memastikan tidak ada yang menggeser kedudukan si nomor 1, jadi kau masih bisa tetap tenang di posisi langitmu ini, sambil menikmati minuman.”

“Ouch, Case! Itu sedikit menghina,” ucapnya. “Pertama, aku tidak khawatir dengan posisiku. Si nomor 1 sendiri berada satu poin lebih rendah dariku,” ia menunjuk layar itu sambil menegaskan ucapannya. “Aku hanya ingin tahu nama-nama pemain baru yang berhasil masuk ke daftar 10 besar dan sekuat apa mereka,” lanjutnya.

Kulihat angka yang tertera pada tabel samping daftar nama orang-orang itu dan membandingkan dengan ucapannya. Mereka menggunakan nama julukan, tapi foto di sampingnya memastikan bahwa hanya ada satu julukan untuk satu orang.

“Dan kedua, aku sependapat dengan Dad jika alkohol tidak baik untuk kita. Kita tidak boleh menurunkan kemampuan kita kapanpun,” ia mengambil gelas yang kutarik darinya tadi. “Aku tidak akan meminumnya dan begitupun denganmu.”

Kunaikkan alis kananku singkat, sebelum mengalihkan pandangan, tidak membantah ucapannya. “Yeah, cukup menyebalkan jika kau ke bar tapi tidak bisa minum-minum seperti orang lain.”

“Memang benar,” jawab Nick. “Cheers, Bung,” ia bersulang dengan Bernard sebelum meminumnya.

“Tunggu, kau bilang tidak akan meminum alkohol,” protesku.

“Ya, tentu saja. Tapi ini bukan alkohol,” jawabnya menunjuk pada gelas yang kutarik tadi.

Teh, aku baru menyadari cairan berwarna cokelat bening itu. Aku menggeleng pelan, kesal sudah dijahili. “Dimana Jasper? Aku tidak melihatnya,” tanyaku yang mengetahui orang itu tidak di sana.

“Oh, dia sedang mencari sesuatu di supermarket. Kami bertiga sempat bersamanya tadi, tapi kemudian kami membiarkannya menikmati akhir pekan dengan lebih tenang.”

“Membiarkan akhir pekan lebih tenang, maksud kalian meninggalkannya sendiri,” tebakku.

“Ya, dan aku sangat menikmatinya,” jawab Jasper yang baru saja muncul di hadapan kami. “Bartender, pesan apa yang dia minum, 2 gelas,” ia menunjuk gelas Nick.

Wanita bartender itu mengangguk dan langsung mengambil gelas lingkaran sama seperti Nick.

“Lemah,” Bernard kembali berkomentar pada pesanan kami yang dihidangkan tak lama kemudian.

“Berbeda denganmu, B. Kami harus tetap tajam setiap saat,” jawab Jasper menyerahkan salah satu gelas padaku dan bersulang sebelum meneguknya.

“Yeah, lemah,” Bernard masih menegaskan pendapatnya.

“Kau tak tahu rasanya punya kekuatan pikiran ini, Bear. Jadi, jangan samakan denganmu,” komentarku. “Tapi Dad bisa memahami dengan baik.”

“Kalian diadopsi,” Bernard masih mengejek.

“Kau tahu kata itu tidak menyakiti kami, kan?” kataku mendengar ejekannya yang biasa.

“Bagiku cukup memuaskan,” jawab Bernard sebelum kembali meneguk minumannya.

Kuputar mataku, mengabaikan keras kepalanya. “Lalu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku pada Jasper.

“Hanya memastikan kalian tidak terlibat kekacauan,” jawabnya santai. “Aku hanya ingin nongkrong sebentar dan melihat ranking para PK. Berharap ada yang menghajar Nick tak lama lagi,” lanjutnya melihat pandangan datarku yang tidak mempercayai jawaban sebelumnya.

“Hei! Aku masih teratas!” kata Nick.

Kami tidak berkomentar, hanya tertawa menanggapi setiap kata yang keluar dari kami. Semua kalimat itu sudah biasa kami lontarkan satu sama lain—walau beberapa orang mendengar seperti ucapan kasar—tapi kami tidak saling menyakiti. Tidak sampai menyakiti atau Dad akan menghukum kami di kamar mandi seharian dan itu tidak menyenangkan.

Kami habiskan siang itu untuk menikmati Black Battle dengan gelas-gelas teh yang nampak mahal. Kami bersorak menyemangati siapapun yang menjadi jagoan dadakan kami. Atau mungkin hanya bersorak setiap kali serangan mereka kena. Tidak ada yang istimewa dan kami tidak memihak siapapun.

Lihat selengkapnya