Kami menyelesaikan makan malam seperti biasa. Tidak ada acara pada malam ini, sehingga kami bisa bersantai menyantap makanan tanpa harus terburu-buru menyiapkan diri seperti saat ada jadwal bisnis. Tapi semua sudah menjadi kebiasaan kami, sehingga tidak ada yang perlu terlalu kami pikirkan dan semua berjalan senormal kehidupan orang-orang biasa. Setelah selesai makan malam, kami berpencar mencari kesibukan masing-masing. Atau setidaknya kesenangan masing-masing.
Satu episode sudah selesai kubaca dan aku mencari komik lain yang punya chapter banyak—dan menarik buatku—untuk menjadi bacaan selanjutnya. Kusandarkan punggungku santai pada sudut sofa sambil menggeser-geser layar ponselku. Sudah banyak komik yang menjadi list bacaku dan sebagian besar menunggu chapter selanjutnya.
“Hei, kembaran! Ayo ikut aku!” ajak Nick begitu keluar dari kamarnya dan berdiri di depan sofa.
Kulihat dirinya sejenak, langsung mengetahui tujuannya. “Tidak,” jawabku kembali menggeser layar ponselku malas.
“Oh ayolah! Aku bahkan belum mengatakan kemana!”
“Kasino,” kataku tanpa mengalihkan pandangan.
“Kau membaca pikiranku?” tanyanya curiga.
Kujauhkan ponselku sejenak, lalu menatapnya. “Kau baru memenangkan satu koper uang taruhan dari pertandinganmu dan masih punya beberapa tumpuk uang walaupun sudah kau bagikan pada kami. Kau sedang punya uang banyak saat ini. Dan tempat favoritmu saat mendapatkan kemenangan itu adalah dengan bermain di kasino.”
“Benar. Tapi aku tidak selalu berada di kasino setiap punya uang banyak.”
“Memang,” ponselku kembali mengarah padaku. “Bajumu yang semi formal menunjukkan kau mungkin pergi ke sebuah pesta, tapi tidak akan mengajak siapapun. Lalu kau tidak akan pergi ke bar, karena kita tidak bisa minum. Dan yang paling utama,” kutatap dirinya lagi, “kalung panjang itu.”
Pandangannya mengarah pada kalung berantai kecil panjang yang menggantung sebuah liontin batang kecil hampir seukuran kelingking dengan lima berlian.
“Kau selalu mengenakannya saat pergi ke kasino. Kau bilang itu adalah kalung keberuntunganmu, tapi aku bilang itu hanya jaminan jika kau kalah dalam bermain, agar kau tidak punya hutang nantinya,” jelasku.
“Hei! Aku tidak pernah kalah!” protesnya.
“Hampir kalah,” aku mengingat bahwa ia memang nyaris kehilangan semua uangnya jika tidak berhenti saat itu.
“Ya, oke. Tapi setidaknya aku bersenang-senang saat itu,” ia membela diri. “Aku akan lebih berhati-hati. Jadi, ayolah!” ajaknya lagi.
“Tidak. Aku sibuk.”
Pandangannya menatapku datar. “Apa yang kau lakukan?”
“Baca webtoon.”
“Kau bisa membeli beberapa chapternya, kan?”
“Sudah! Dan sekarang aku menunggu untuk chapter selanjutnya.”
“Memangnya jam berapa chapter baru akan muncul?”
“Jam 10 malam.”
“Sekarang masih jam 8 malam! Kau bisa menunggu sambil menemaniku!”
“Aku sedang malas. Ajak saja Jasper.”
“Dia ada kencan.”
“Bernard,” aku mengusulkan nama lain.
“Dia hanya tertarik pada minuman dan akan mengabaikanku.”
“Kalau begitu, pergilah sendiri. Bukankah biasanya kau memang bermain sendiri walaupun ada kami yang menemani?”
“Oh ayolah! Kau masih kesal saat aku sedikit curang dengan menggunakan kekuatanku pada rolet?”
“Tidak bisa dimaafkan,” kataku dingin.
“Aku sudah mengembalikan uangnya!” tegasnya. “Lagipula, malam ini aku ingin bermain poker. Jadi kekuatanku tidak akan terpakai.”
Pandangan datarku kembali ke arahnya.
Nick langsung mengetahui maksudku. “Aku tidak mengajakmu untuk menggunakan kekuatanmu!” sangkalnya. “Tidak ada kekuatan malam ini, oke?! Hanya bersenang-senang.”
Tidak ada tanggapan dariku, hanya kembali menggeser layar ponsel cuek.
“Aku tahu kau bosan. Tidak ada salahnya kan, kita jalan-jalan sebentar?” Nick kembali membuka suara. “Lagipula, bukankah kasino tempat yang bagus untuk berlatih membaca gerakan tubuh? Bahkan saat mereka memasang poker face?”
Memang benar, karena aku lebih suka menyimpan kekuatanku dibanding memamerkannya dan menjadi incaran banyak orang.
“Ha!! Aku tahu wajah itu!” ucapnya antusias sambil menunjukku.
Kuputar bola mataku menanggapinya. “Ya, baiklah. Tapi tidak ada kekuatan!” tegasku.
“Janji mati!” ia menggambar tanda silang ke dadanya.
“Dan satu lagi, kita bukan kembaran.”
“Bulan yang sama, tahun yang sama.”
“Kau dua minggu lebih tua dariku!”
“Oke, terserah. Kita berangkat!” ucapnya sambil mengangkatku dengan telekinesisnya.
“Nick! Astaga! Turunkan aku!” protesku. “Sudah kubilang jangan lakukan itu. Lagipula, aku harus ganti baju!” kataku kesal sambil menegakkan badanku.
“Kau bilang ganti baju, artinya kau juga dandan?”
“Tentu saja!” aku mulai beranjak.
“Astaga. Jangan lama-lama!” teriaknya.
Suara Nick mengejar di belakangku dan hanya kuabaikan begitu saja sambil tetap melangkah ke kamar untuk bersiap. Tidak ada dandanan istimewa, hanya penampilan biasa yang cukup meyakinkan bahwa kami pantas masuk kasino, meskipun kami tidak minum. Tak lama kemudian aku segera keluar kamar dan menuju ke garasi dimana Nick sudah menunggu dalam mobil mewahnya.
Kami menuju ke salah satu kasino yang ada di kota, tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk bermain ataupun membicarakan sebuah bisnis. Kasino ini cukup lengkap dan besar, sehingga orang-orang tidak akan kehabisan permainan di dalamnya. Hal itu sekaligus menjadi keuntungan bagi kami yang membicarakan bisnis, dimana orang-orang sekitar hanya sibuk dengan permainan mereka. Kamuflase yang bagus.
Tidak berselang lama, Nick sudah menghentikan mobil ke tujuannya malam ini. Kami segera keluar, lalu menyerahkan mobil pada salah satu petugas di sana. Nick dan aku segera memasuki kasino yang sudah ramai dengan orang-orang memenuhi semua jenis permainan yang entah sampai kapan akan menguras atau menambah tebal kantong mereka. Tapi yang jelas, aku bisa belajar memahami setiap ekspresi dengan mengamati secara leluasa tanpa takut akan menyinggung mereka.
Nick menukar uang untuk beberapa chip sebelum menarikku ke bar. Lalu ia berbisik ke salah satu bartender untuk membuatkan pesanannya. Tak perlu waktu lama, sebuah gelas pendek dan gelas tangkai panjang tersodor. Nick memberikan gelas tangkainya kepadaku.
Kuterima gelas itu dan memandangnya dengan datar.
“Apa? Kau pikir kita ke kasino tanpa minum?” Nick menanggapi sama datarnya. “Tenanglah! Itu bukan minuman alkohol!” ia mengambil sebuah kotak berisi kertas seperti post-it tanda panah, lalu mencelupkan ke minumannya dan minumanku.
Kuamati kedua kertas itu selama beberapa detik untuk memastikan. Tidak ada perubahan warna.
“Lihat?! Semua aman. Itulah kenapa aku mengajakmu ke kasino ini. Mereka punya menu minuman tanpa alkohol yang mirip wiski dan sampanye seperti yang kita pegang sekarang,” jelasnya dengan nada bangga. “Cheers!”
Kuarahkan gelasku untuk beradu tos dengan gelasnya, sebelum meminumnya. “Lemon soda?” tebakku ke arah bartender.
Sang bartender menunjukkan jari isyarat ‘ok’ sebagai tanda bahwa rahasia ini aman bersamanya.
“Baiklah. Saatnya bermain!” Nick beranjak sambil membawa chipnya menuju ke area poker.