“Case, cukup!!” hentakan telekinesis Nick menyerangku.
Badanku tersentak mundur, lalu segera menegakkan posisiku lagi. Kurasakan dadaku sesak dan mataku yang memanas.
“Casey!”
Perlahan, kurasakan cairan yang keluar dari kedua mataku. Kusentuh dengan ragu dan tidak ingin membenarkan dugaanku. Tapi asumsiku benar, membuatku semakin kesal.
“Astaga Casey!” panggil Nick untuk kesekian kalinya yang kuabaikan. Ia mengulurkan sebuah handuk padaku dengan khawatir. “Casey, kau tak apa?”
Dengan cepat kusambar handuk yang diberikannya dan menyeka wajahku, terutama kedua mataku. Aku sudah mencapai batasku tadi. Hanya untuk menundukkan lawanku dan aku sudah mengeluarkan tandaku.
“Casey?” Nick memandang khawatir.
“Ya, ya. Aku tak apa,” kataku menyingkirkan wajahku dari pandangannya. “Aku akan istirahat sebentar,” kataku sambil berlalu keluar ruang latihan tanpa menunggu tanggapannya. Kuseka wajahku lagi, memastikan tidak ada noda hitam yang masih tertempel. Aku menuju ke dapur untuk menenangkan diriku sejenak.
“Nona Casey,” Nemi langsung menyambutku, namun lebih ke arah nada khawatir. Mungkin karena melihat handuk yang ternoda dan mataku yang masih merah. “Anda tak apa?”
Kusandarkan diriku ke salah satu kursi dengan segera. “Aku tak apa. Tolong ambilkan es batu,”
Nemi langsung menuju ke kulkas dan mengambil beberapa es batu ke dalam gelas dan memberikannya padaku. “Ada yang lain, Nona?”
“Tidak, terima kasih, Nemi,” jawabku sambil mengambil es batu dan menempelkan pada mataku.
“Tentu, Nona,” ucapnya masih khawatir dengan keadaanku.
Mataku memang tertutup untuk kukompres dengan es batu, tapi bisa kurasakan tatapan Nemi ke arahku. “Jangan memandangku seperti itu, Nemi. Aku butuh ketenangan saat ini.”
“Maaf, Nona,” ia langsung merunduk.
“Bukan salahmu, tidak perlu minta maaf. Seperti yang kubilang, kau hanya terlalu perhatian.”
Tidak ada tanggapan dari Nemi, selalu bingung untuk menjawab ucapanku itu.
“Casey!”
“Astaga,” aku langsung mengetahui suara khawatir yang lain.
“Jangan katakan apapun! Aku bahkan merasakan kekuatanmu hingga halaman belakang!”
Ruang latihan kami memang langsung mengarah pada halaman belakang, memudahkan kami jika ingin berenang. Tapi saat ia merasakan kekuatanku, artinya aku kelepasan tadi.
“Maaf, Jasper. Aku hanya latihan dengan Nick tadi. Kurasa aku sedikit hilang kendali,” ucapku. Lawan bicaraku itu tidak menanggapi, tapi aku tahu ia duduk di sebelahku. Jadi kuletakkan es batu yang kugunakan untuk mengompres dan memandangnya.
Wajah geram Jasper langsung terlihat.
“Aku menyesal membuka mata,” kataku kembali mengompres, namun kini di sekitar mataku.
“Sedikit hilang kendali?” ia menunjuk handuk yang ternoda karena cairan hitamku, jelas tidak setuju dengan ucapanku barusan.
Tidak ada gunanya mengelak, jadi kuhela nafasku menerima protesnya. “Apa maumu?”
“Berhenti. Istirahat!” instruksinya cepat. “Atau kau tidak akan ikut malam ini,” ancamnya.
“Kau tidak bisa melakukannya.”
“Tentu aku bisa,” Jasper menatapku lekat, tanda ia serius.
Geram, marah, mengancam, kaku, semua itu terpancar pada ekspresiku. Tapi walau aku menolak dan protes, dia lebih pegang kendali dalam hal ini dibandingkan aku. Kusandarkan badanku, terpaksa menyetujui apapun ucapannya tadi, termasuk aku harus berhenti latihan hari ini.
Diletakkannya handuk yang kupakai itu di atas meja, “aku akan menunggumu meditasi sore ini sambil istirahat. Jika kulihat matamu merah atau bahkan kelelahan, kami tidak akan mengajakmu malam ini. Paham?”
Kukatupkan rahangku, membiarkannya tahu jika aku memang kesal saat ini. “Ya.”
Pandangan Jasper menusukku sejenak, sebelum ia beranjak dan meninggalkanku. Ia selesai denganku kali ini dan benar-benar pegang kendali atas diriku.
Aku kembali menghadap depan, lalu memainkan es batu yang mulai mencair di depanku. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku, mencoba menenangkan semua pikiran dan kekesalan yang kurasakan saat ini. Aku tidak bisa kembali ke ruang latihan atau Jasper akan mengurungku seharian. “Nemi,” panggilku pada orang yang masih terdiam di depanku.
“Ya, Nona?”
Kupandang dirinya santai sambil tersenyum, “kurasa aku ingin berendam air hangat.”
Nemi mengangguk sekali dan membalas senyumku. “Baik, Nona. Segera,” ucapnya segera memanggil seseorang lewat intercom dapur.
“Terima kasih, Nemi. Panggil aku saat sudah siap,” kataku sambil beranjak.
“Ya, Nona,” jawab Nemi ramah.
Kulangkahkan kakiku menuju ke kamarku. Memang kamarku punya kamar mandi pribadi, tapi lebih kecil dan hanya untuk shower. Sedangkan kamar mandi untuk berendam ada dua dan semua di luar kamar kami. Kamar mandi yang lebih besar dan dengan fasilitas lebih, yang memang bertujuan untuk merilekskan kami. Kurebahkan badanku, menatap langit-langit kamar dengan hampa. Membiarkan beberapa menit lewat tanpa melakukan apapun kecuali menunggu bak mandi siap. Tapi tetap saja, bagaimana aku mengeluarkan air mata hitam cukup menggangguku, karena sudah lama sekali sejak aku mengalaminya. Kami selalu kuat selama ini dan hal itu hampir tidak pernah terjadi. Termasuk diriku.
Tok tok! “Nona Casey, bak mandi sudah siap,” kata seorang pelayan wanita dari arah pintuku.
“Ya, terima kasih!” jawabku dengan segera. Tidak buang waktu, aku mengganti baju dengan jubah mandiku dan langsung menuju ke kamar mandi besar.
Jarak antara kamar mandi besar dan kamarku tidak terlalu jauh, tapi aku melewati beberapa kamar, termasuk kamar kakakku. Aku masuk ke salah satu kamar mandi yang setengah terbuka, lalu menutupnya tanpa menguncinya. Kulepaskan jubah mandiku, lalu mulai masuk dalam bathtub air panas dengan busa yang melimpah. Kurendam diriku, menutupi badanku dengan busa-busa, lalu bersandar santai membiarkan sinar matahari hangat menerobos dari kaca buram sampingku.
Untuk sesaat, kubiarkan pikiranku lepas entah kemana. Hanya air hangat yang menemaniku saat ini dan itu sudah cukup menenangkan. Terakhir kali aku menikmati ini adalah beberapa minggu yang lalu, saat aku jengah dengan beberapa urusan bisnis Dad.
Tok tok! “Nona Casey, saya bawakan camilan buah,” kata Nemi dari arah pintuku.
“Masuklah,” jawabku.
Nemi langsung membuka pintu, menutupnya kembali sebelum melangkah ke arah bathtub. “Bagaimana suhu airnya, Nona?” tanyanya sopan sambil meletakkan nampan ke hadapanku.
“Sempurna, Nemi. Terima kasih.”
“Baik. Panggil kami jika Anda perlu sesuatu.”
Kuanggukkan kepalaku sebagai jawabannya.
“Saya permisi,” ucapnya sebelum melangkah keluar kamar mandi.
Kupandang potongan buah dan jus semangka segar di hadapanku. Kuraih gelas dan meminum jus itu satu tegukan, sebelum mengembalikannya dan kembali bersandar santai. bahkan kupejamkan mataku untuk lebih menenangkan pikiranku. Hanya ada kegelapan saat aku menutup mata dan itu membuatku lebih tenang saat ini.
Bau sabun dan satu lilin aroma terapi lavender yang tercium samar menemaniku berendam. Para pelayan tahu kesukaan kami dan menyiapkan semua dengan baik. Bahkan aku baru tahu jika suhu air yang kuminta adalah yang paling panas diantara anggota keluarga yang lain. Aku tidak suka aroma yang terlalu menyengat, tapi Jasper bersikeras untuk memberi sedikit aroma menenangkan walau hanya samar-samar. Jasper suka aroma relaksasi, jadi dia menyalakan 3 batang lilin sekaligus. Sama seperti Dad, tapi Dad lebih memilih aroma kopi. Nick butuh dua batang lilin aroma terapi kopi. Bernard tidak suka terlalu banyak busa dan tanpa aroma terapi apapun. Aku tersenyum mengingat Nemi menjelaskan semua itu padaku.
“Case?!” panggil Nick dari pintu.
Kubuka mataku, “ya.”