“Bersedia!” ia memandang para petarung bergantian, memberi kami waktu untuk memasang ancang-ancang dan siasat. “Mulai!”
Kami berdua tidak bergerak saat wasit mengatakan permainan dimulai. Posisiku masih berdiri tenang, membiarkan lawanku menyerang lebih dulu seperti yang biasa kulakukan. Aku hanya menutup pikiranku, melindungi dari serangan telepati penantangku. Benar saja, Brandon langsung menyerang menggunakan telepatinya setelah 10 detik permainan dimulai, mengetahui bahwa aku tidak melakukan apapun. Ia bahkan melangkah cepat ke arahku begitu telepatinya tidak mengenai sasarannya. Satu pukulannya meluncur tepat ke sisi kepalaku dan langsung diikuti dengan pukulan yang lain. Keduanya meleset, tapi cukup membuatku berpindah dari posisiku.
Kini kami tidak bisa lagi hanya menyerang secara telepati. Serangan fisik kami saling beradu dan menangkis untuk bertahan. Melihat gerakannya, Brandon cukup terlatih dan tidak bisa dianggap sebagai petarung biasa. Begitupun denganku, hanya saja aku juga tidak bisa berlama-lama dalam pertandingan atau energiku akan habis dan aku harus menekan diriku untuk menggunakan telepatiku. Hal itu akan memperlihatkan batasanku pada Tuan Craig dan kami tidak menginginkan ia melihat keadaanku yang sebenarnya.
Jadi, sesuai rencanaku sebelum kami berangkat untuk transaksi ini, aku akan menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat. Kufokuskan diriku pada serangan yang diluncurkan Brandon, terutama pukulannya. Aku memang mengelak dan menangkisnya dengan mudah, tapi itu tidak akan membuat lawanku itu segera jatuh. Tendangannya berhasil aku tahan dengan kakiku beberapa kali, sehingga ia nampak kesakitan dan tidak bisa memberikan serangan itu dalam beberapa saat ke depan. Itu bagus, jadi aku hanya perlu memperhatikan pukulannya. Kuperpendek jarak kami, lalu satu tinjuku mengarah ke sisi kepalanya. Dia mengelak—sesuai rencanaku—dan membalas dengan pukulan tangan yang sama. Dengan cepat, kutangkap tangannya, menahannya ke bawah, membuatnya menunduk, lalu kubalas dengan pukulan tanganku yang lain ke perutnya.
Brandon terhentak karena pukulanku dan melepaskan pertahanan telepatinya. Tanpa buang waktu, aku segera memasuki pikirannya, lalu mengacak cepat semua memorinya. Setelah itu aku menekan pikirannya, memblokir kekuatannya. Lawanku itu tertunduk, menahan tekananku. Aku berdiri, melangkah ke sisinya untuk menahan pundaknya. Kumasuki pikirannya lebih dalam, lalu melihat beberapa memori dan mencari ingatan terdalam untuk menekan lawanku itu. Beberapa gambaran muncul, termasuk dirinya yang bersiap untuk ikut transaksi ini. Kulihat jelas ia berada dalam sebuah gedung sedang menerima sebuah pil hitam pekat dan menelannya dengan segera. Tidak ada yang terjadi padanya, kecuali wajahnya yang nampak puas.
“Aarrgh!!!” sebuah pukulan mendarat keras pada badanku. Brandon berhasil membuatku terdorong mundur dengan pukulannya dan menyatukan telepati untuk menangkis telepatiku.
Sial. Aku lengah. Tapi pengaruh serangan telepatiku masih jelas berdampak pada Brandon yang seakan mencoba menyadarkan diri. Jadi, tak ingin melepas mangsaku, aku kembali melangkah cepat, menghajarnya hingga tertunduk, menyerang badannya dengan hantaman lututku, dan melingkarkan tanganku. Kumasuki lagi pikirannya yang sudah tak terjaga lagi dan mulai menekannya. Aku tidak ingin mengacak memorinya lagi, kini hanya fokus menekan pikirannya.
Perlahan, Brandon menggeram dan memegang kepala sambil menahan sakitnya seranganku. Kulepas lenganku yang melingkar di lehernya, kini hanya fokus pada serangan telepatiku. Lawanku itu berlutut merunduk hingga matanya menggelap dan darah hitam nampak mulai keluar dari matanya. Kami tidak bisa berhenti tanpa melanggar peraturan, sehingga aku harus tetap menahannya. Setidaknya lawanku yang melemah bisa mengurangi tenaga yang kukeluarkan.
“Cukup!” teriak Tuan Craig.
“Berhenti!!” teriak sang wasit mengakhiri pertarungan kami secara resmi.
Kulepaskan telepatiku dengan cepat, tidak ingin menekannya lebih jauh. Bahkan aku menilai seranganku itu sedikit berlebihan. Kurasakan mataku sejenak, memastikan aku tidak kelewat batas dan tidak memperlihatkan tandaku. Setelah beberapa detik, bisa kupastikan keadaanku aman.
“Dengan ini bisa diputuskan, pemenang Black Battle malam ini adalah pasukan Tuan Royce!” sang wasit mengumumkan.
Kami berdua langsung menuju ke kubu masing-masing, menyudahi pertarungan kami itu.
Langkahku menuju ke meja taruhan, mengambil uang yang kumenangkan dan kembali ke barisan keluargaku. Seperti biasa, aku membagikannya untuk mereka dengan senyum kemenangan.
Tuan Royce mendapatkan kembali uangnya yang tak tersentuh itu, lalu berhadapan dengan Tuan Craig yang menghampirinya.
“Sepertinya aku salah menduga. Kukira aku bisa menang,” kata Tuan Craig tidak sepenuhnya menyesal atau sedih kehilangan taruhannya. Bahkan ia masih sama seperti sebelumnya, hanya menikmati pertandingan seakan sudah tahu hasilnya. Senyum seringainya masih terpasang.
“Memangnya apa yang membuatmu yakin tadi?” tanya Tuan Royce.
“Orangku yang lebih kuat dari sebelumnya,” jawabnya remeh sambil melirik Brandon. “Tapi di luar semua itu, pertandingan ini cukup menarik. Aku sudah lama tidak melihat anak perempuan itu begitu sadis menghajar lawannya. Apa dia sedang PMS?”
Tuan Royce memandang ke arah kami sejenak, “kau tahu wanita bisa lebih menakutkan kapan saja mereka inginkan. Tapi aku harap sikapnya selesai setelah ini.”
Tuan Craig tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan untuk menjabat rekan bisnisnya itu. “Senang bermain denganmu, Royce. Selalu mengagumkan.”
“Urus bisnismu lebih serius, Craig. Bukan fokus pada Black Battle,” jawab Tuan Royce menerima uluran tangannya.
Tawa Tuan Craig kembali terdengar. “Sudah kubilang, aku menikmatinya,” jawabnya menolak nasehat Tuan Royce barusan. “Sampai jumpa lain kesempatan,” ucapnya pamit sambil memandang kami sebelum menuju ke mobilnya.
Tidak ingin hanya diam menunggu, Tuan Royce juga kembali ke pasukannya dan mulai memasuki mobil untuk segera kembali ke rumah. Tak butuh waktu lama, kami meninggalkan tempat transaksi sekaligus arena Black Battle malam ini.
Kuperhatikan mobil di hadapan kami tadi sudah tak terlihat saat kami mulai melaju kembali ke jalanan. Lalu kukirim telepati pada saudaraku, “Nick, hentikan mobilnya sekarang!”
Nick yang terkejut langsung memandangku untuk memastikan.
Kuanggukkan kepalaku, menjawab tatapan bingungnya.
“Hentikan mobilnya!” kata Nick pada sang sopir.
Mobil segera berhenti dan aku langsung membuka pintu untuk mengeluarkan darah yang sudah kutahan saat Brandon memukul keras badanku tadi. Kubersihkan mulutku dari darahku sendiri, lalu mengusapnya agar tidak menodai bibirku. Setelah itu, aku kembali duduk dalam mobil. “Jalan!” kataku agar sang sopir kembali menginjak gasnya.
Jasper mengambil sekotak tisu untukku mengusap wajah dan bibirku.
“Kau tidak apa, Casey?” Dad memastikan.
Kepalaku mengangguk kecil, “ya, Dad. Hanya luka pertarungan biasa,” jawabku.
“Kau sempat lengah tadi. Hampir saja Brandon menundukkanmu,” Dad kembali mengoreksi.
“Ya. Sesuatu menarik perhatianku hingga meleng,” kataku sambil mengingatnya.
“Sesuatu yang penting?” Dad sedikit tertarik.
Kuangkat bahuku singkat, bingung harus menjawab ya atau tidak. “Aku melihat Brandon menelan pil berwarna hitam. Tapi tidak terjadi apapun dengannya.”
“Jasper?” kata Nick dengan nada memanggil nama itu, walau ia sendiri tidak melihat orangnya.
Pandangan kami langsung menuju ke nama yang disebut Nick barusan.
Jasper tersenyum samar membalas tatapan kami. “Level palsu Brandon tadi sekitar 6,8 hingga 7,3,” jelasnya. “Kurasa obat itu yang membuat auranya meningkat hingga memalsukan levelnya.”
“Sepertinya benar. Karena ia menelannya sebelum menuju transaksi malam ini,” aku menambahkan. “Lalu, berapa level sebenarnya?”
“6 sampai 6,6,” jawab Jasper.
“Kurasa kau sudah bisa mengatasi lawan-lawanmu, Case. Sudah kubilang jangan terlalu memaksa dirimu,” kata Nick seperti memenangkan perdebatan.
“Aku hanya khawatir, oke?” sanggahku. Sekilas aku teringat angka levelku masih 6 pada alat ukurku, sebelum aku merusaknya. Jadi entah levelku yang meningkat, strategiku yang berhasil, atau perkiraan Jasper tentang level Brandon terlalu tinggi, yang jelas aku memenangkan pertandingannya.
“Melihatmu bisa mengalahkan lawanmu tadi, kurasa kau bisa lebih santai dengan latihanmu, Case,” kini Jasper memberi masukan tambahan.
Aku menghela nafas, mengakui keduanya. “Kurasa kalian benar. Aku bisa lebih santai saat ini.”
“Mungkin sedikit jalan-jalan? Itu bisa lebih menenangkan dirimu sehingga kau bisa fokus berlatih setelahnya,” usul Jasper. “Aku tahu kau jenuh di rumah dan terlalu keras berlatih. Kau perlu istirahat, Case,” tambahnya melihat wajah diamku.
“Jasper benar,” kini Dad kembali bersuara. “Tetap tambah latihanmu, tapi kau juga perlu istirahat yang cukup. Beri hari libur untuk fisik dan pikiranmu.”
Aku membeku sejenak, “Dad mengizinkanku keluar?”
“Dad tidak pernah melarangmu keluar. Dad hanya memintamu berlatih untuk menjaga kekuatan fisik dan pikiranmu. Lagipula, setelah melihat bagaimana kau bisa mengatasi pertarunganmu, Dad rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Dad penuh dengan kebijaksanaannya.
Senyum bahagiaku langsung terpasang mendengarnya.