Remarkable

FS Author
Chapter #12

Otis

Jalanan hari itu nampak normal seperti jam kerja biasanya. Kuperhatikan sekeliling, memandang orang-orang yang sibuk dengan bisnis mereka dan fasilitas umum yang ramai dengan warga sekitar. Mereka begitu damai dan menikmati hidup mereka tanpa harus memikirkan hirarki level kemampuan. Atau setidaknya tidak memikirkan kemampuan istimewa itu sendiri.

Aku sampai di cafe yang menjadi tempatku berhenti pertama kali saat mengunjungi wilayah itu. Kupesan latte favoritku dan kopi hitam gula terpisah untuk Spencer. Aku sempat menanyakan minuman favoritnya dan ia menjawab menu itu, sehingga aku berinisiatif membawakan untuk kunjunganku kali ini. Setelah dua pesananku kudapatkan ditambah roti panggang untuk makan siang, aku menuju ke gedung Otis menemui janji yang kubuat hari ini.

“Case?”

Kupalingkan muka ke sumber suara. “Spencer! Kau mau keluar?” tanyaku mengingat kami sedang berada di halaman gedung.

“Aku baru akan ke cafe dan membelikan makan siang,” jawabnya.

Kuperlihatkan apa yang baru saja kubeli, “kebetulan!”

Spencer tertawa menanggapi, “kau mendahuluiku. Bukankan aku yang seharusnya mentraktir makan siang pada seorang wanita?”

Kuputar mataku menanggapinya, “peraturan macam apa itu.”

Ia kembali tertawa, “baiklah. Tapi lain kali aku yang membelikanmu.”

“Terserah. Yang penting sekarang, aku perlu tempat untuk menyantap makan siangku.”

“Kita bisa makan di kantorku,” ajaknya. “Ayo!” ia mulai melangkah masuk kembali.

Aku segera mengikuti di sampingnya.

Kami melewati pintu keamanan seperti biasa, untuk mendeteksi apakah aku membawa senjata atau tidak. Beruntung mereka tidak bisa mendeteksi pertarunganku. Kulihat ada beberapa tanda selain lampu alat detektor logam. Tapi Jasper hanya melewatinya dengan santai, sehingga aku juga tidak terlalu memikirkannya, terlebih tidak ada bunyi nyaring alarm saat aku melewatinya.

“Silahkan masuk,” kata Spencer membukakan pintu kantornya.

Kulangkahkan kakiku memasuki ruangannya. Lalu kusodorkan kopi hitam dengan tiga bungkus gula dan dua porsi roti panggang untuk makan siangnya. “Kuharap kau menyukainya.”

“Sempurna! Terima kasih, Case,” ucapnya memandang roti yang kuberikan. Lalu ia mencicipi kopi hitam, sebelum menuangkan satu bungkus gula ke dalam gelas dan meminumnya nikmat.

Tidak ada komentar dariku, aku lebih fokus ke aneka penemuan yang bertambah sejak terakhir aku mengunjungi tempat ini. Mereka memang masih berkutat dengan apa yang mereka kerjakan dalam ruang yang sama, tapi nampaknya mereka sudah menemui kemajuan yang cukup pesat.

Piip!

Seketika tatapanku langsung menuju ke arah alat pengukur level yang dipegang Spencer. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku curiga.

“Maaf, Case. Aku hanya memastikan,” jawabnya sedikit khawatir.

Kutegakkan badanku, bersiap menyerang jika diperlukan. “Memastikan?”

Kini wajahnya terlihat kecewa, namun lebih ke dirinya sendiri. “Maafkan aku,” ia memandangku dengan wajah penyesalan. “Aku tidak tahu jika kau punya kemampuan khusus. Aku melihatnya saat kau memasuki pendeteksi logam yang juga pendeteksi kemampuan istimewa tadi. Tidak ada maksud apapun dariku.”

“Tapi kau mengukur levelku,” kataku menekannya.

“Ya, aku seharusnya meminta izin padamu, tapi—“ ia ragu sejenak, “seseorang membuat sahabatku terluka seminggu yang lalu. Lukanya cukup parah dan aku tidak tega melihatnya. Dia dipaksa bertarung dan pulang dengan babak belur. Dia tidak suka bertarung!”

Kubiarkan dirinya menjelaskan secara menyeluruh.

“Dia punya kemampuan telepati dan termasuk level atas. Dia tidak menyukai bertarung, terutama untuk membuktikan suatu kedudukan. Tapi hari itu, ia terpaksa dan mengalami kekalahan,” ia memandangku, “dan dia bilang ‘wanita itu mengalahkanku’.”

“Jadi, kau curiga padaku karena aku seorang telepath?”

“Dan seorang wanita,” ia menambahkan dengan segera. “Tapi kurasa aku salah orang. Karena level temanku itu sudah mencapai 8. Dia tidak akan sampai babak belur dengan levelmu.”

“Memangnya, berapa levelku?” mengingat aku tidak mengukurnya setelah empat hari ini.

“6,7,” jawabnya sambil memperlihatkan alat pengukurnya. “Bukan maksudku menghina—“

“Aku mengerti,” potongku. “Jadi, kau tak perlu curiga padaku lagi, kan?” tanyaku sambil senyum.

Ia mengangguk, “kau aman dari tuduhan.”

“Bagus,” kataku berusaha terlihat lega, tapi masih tidak menyukai angka levelku.

“Ya, mari kita lupakan hal ini.”

“Memangnya, siapa temanmu? Dengan level setinggi itu?” tanyaku masih penasaran, mengabaikan ucapannya barusan.

Pandangannya ke arahku, seperti ragu untuk menjawab. “Peter.”

Seketika aku terdiam, teringat jelas nama itu yang menyebabkan aku menemukan perusahaan ini.

“Case? Kau mengenalnya?” tanya Spencer penasaran.

“Mungkin,” jawabku segera, lalu dengan cepat mengganti ekspresi terkejutku. “Tapi ada banyak nama Peter di dunia ini. Bahkan mungkin aku mengenalnya di Black Battle atau sejenisnya.”

“Dia tidak suka Black Battle,” Spencer membenarkan.

Kuangkat bahuku singkat. “Tetap saja, aku punya beberapa nama Peter dalam daftar temanku.”

Ia terdiam sejenak, masih memikirkan sahabatnya itu. “Memang benar. Kurasa aku akan menanyakan lebih lanjut padanya nanti.”

Kuanggukkan kepalaku menyetujuinya, walau sebenarnya berharap agar dia melupakan masalah ini segera. “Ngomong-ngomong, sejak kapan pintu depan dipasangi alat pendeteksi kemampuan istimewa?” tanyaku mengingat seminggu yang lalu sepertinya aku belum mengetahuinya.

“Tiga hari yang lalu, setelah perbaikan,” jawab Spencer. “Hanya untuk mengetahui siapa yang memiliki kemampuan istimewa itu, bukan mengukur level mereka. Jadi kami bisa saling membantu jika ada penelitian yang menyangkut kemampuan istimewa ini,” jelasnya.

“Hmm,” kucerna penjelasannya dengan cepat. “Bicara tentang penelitian—“ kuarahkan wajahku ke lab yang renggang karena jam istirahat, “—kau berhutang penjelasan padaku.”

Senyum simpulnya terlihat jelas pada wajahnya. “Tak kusangka kau mengingatnya.”

“Itu baru seminggu yang lalu. Bagaimana aku tidak mengingatnya?” lagi pula hal itu juga yang menjadi alasanku menemuinya saat ini.

“Baiklah, janji adalah janji,” ia duduk di sofa depanku dan mulai memakan rotinya.

Bagaikan cermin, aku juga menyantap makan siangku sambil mulai mendengar penjelasannya.

“Drew, dia seorang preman, pemeras, apapun sebutannya. Dia ‘membantu’ kami dalam kerjasama dengan Otis,” ia jelas memberikan tanda kutip dalam salah satu katanya. “Seperti yang aku katakan sebelumnya, kami menemukan beberapa hal, di antaranya bahwa aura bisa dimanipulasi dalam keadaan tertentu. Seperti kesadaran manusia akan reaksi pada obat-obatan dan narkoba. Tapi keadaan itu tidak mempengaruhi kemampuanmu yang sesungguhnya.”

Fokusku masih terarah pada lawan bicaraku, hingga lupa dengan makan siangku.

“Cerita singkatnya, kami menemukan zat itu, lalu mencobanya pada salah satu teman kami saat kuliah. Levelnya naik tapi saat kami mengujinya, dia masih tetap dengan kemampuannya. Hal itu tidak menyurutkan rasa gembiranya, hingga cerita tersebar pada Drew. Awalnya kami menolak untuk memberikan pil itu, tapi Drew menawarkan untuk bekerjasama dengan Otis Corp. Kami pikir, penelitian ini memang memerlukan keberlanjutan, sehingga kami menyetujuinya. Tak kusangka, Drew memanfaatkan jasanya itu untuk terus meminta pil itu dari kami, walau ia tahu kebenarannya.”

“Kalian bisa menolak permintaannya, kan?”

“Itulah liciknya Drew,” ia tersenyum tipis. “Dia juga menghubungi pihak Otis agar memberikan wewenang untuk diam-diam memasarkan obat ini pada masyarakat. Memang tidak sepenuhnya legal, tapi ia berdalih sebagai uji coba tanpa bahaya. Dengan melihat reaksi masyarakat akan obat itu, Otis Corp akan mengetahui sejauh mana pasar mereka nantinya.”

“Licik juga,” kataku menanggapi.

“Jadi, kami tidak bisa menolak sepenuhnya saat Drew meminta pil itu dan hanya dia sendiri yang bisa menghentikan pasarnya saat ini.”

Kupahami semua penjelasannya, “lalu, apakah ada perusahaan lain yang memiliki pil seperti yang kalian temukan?”

“Sejauh ini tidak.”

“Kalau begitu, setiap orang yang memiliki pil itu, mereka hanya dapat dari Drew,” aku menyimpulkan.

“Ya,” jawabnya sedikit tidak senang.

Kuanggukkan kepalaku paham, lalu kembali menggigit makan siangku. “Kau bilang ‘kami’ bekerjasama dengan perusahaan Otis Corp. Artinya kau tidak sendirian dalam kerjasama ini,” tebakku.

“Kami berempat,” ia membenarkan tebakanku. “Tapi mereka menyerahkan kepala lab padaku.”

“Jadi, mereka masih bekerja denganmu? Di lab Otis Corp ini?”

“Benar, tapi mereka jarang berada di lab dan kebanyakan menyusun rancangan mereka di rumah untuk selanjutnya lebih dikembangkan di lab ini. Karena kami tidak ingin terlalu banyak kekacauan di tempat kerja.”

Tawa kecilku ikut menanggapi penjelasannya. “Lalu, bagaimana dengan mereka? Apa penelitian paling menarik saat ini?” kuarahkan pandangan ke labnya.

“Sepertinya kau tertarik dengan labku.”

“Aku punya kemampuan istimewa. Wajar jika aku ingin tahu sejauh mana kemampuan ini bisa menjadi hal lain. Lagipula, kesetaraan tanpa menghilangkan keistimewaan itu sendiri. Terdengar sulit, tapi bukan berarti mustahil,” kutambahkan kalimat terakhir dengan cepat.

Ia kembali tersenyum, “baiklah, akan aku tunjukkan padamu sebagai bayaran telah membeli makan siang kita kali ini. Tapi, tetap di sampingku dan jangan menyentuh apapun.”

“Aku mengerti,” jawabku menelan potongan terakhir rotiku. “Lagipula, kurasa aku setuju dengan kesetaraan istimewa ini.”

Satu gigitan besar ia ambil pada rotinya. “Mungkin sedikit mengecewakanmu, karena kami masih belum mencapai kesetaraan itu.”

Lihat selengkapnya