Memang secara teori kita mengetahui jika potensi kemampuan khusus ada sejak lahir. Itulah alasan Otis mencoba melahirkan kembali orang biasa untuk memiliki potensi itu. Mereka akan ‘dimatikan’ dengan cara menghentikan detak jantung mereka. Setelah itu, kami hidupkan kembali mereka. Percayalah, Case. Rasanya seperti memainkan nyawa orang. Kami hampir gagal menghidupkan mereka kembali. Tiga diantara 18 orang, hingga akhirnya percobaan ini ditutup sementara sampai formula terbaru ditemukan.
Ada orang yang akan memaksa kami untuk bertarung, hanya karena kami mempunyai level tinggi. Padahal, kami menggunakan kekuatan kami bukan untuk pertarungan. Sering kali kami diancam agar mau bertarung dan malah mendapat intimidasi saat kami kalah. Padahal kami memang tidak menginginkan pertarungan itu. Mereka tidak mau tahu tentang itu, sehingga kami yang harus berhati-hati menunjukkan kekuatan kami.
Orang sepertimu, tidak akan tahu hal ini.
Sebuah sentakan membuat mataku terbuka dengan satu tarikan nafas dalam. Perlahan, aku mulai mengatur paru-paruku, lalu memandang sekitar, mencoba mengusir bayangan lab Otis, alat pengejut jantung, dan pil yang kulihat siang tadi. Beberapa detik kemudian aku kembali tenang, mengingat kamarku dengan baik dan memastikan aku aman. Kupandang jam dindingku yang masih menunjuk angka 3 pada jarum pendeknya. Aku terbangun lebih awal lagi.
Kugulung badanku, mencoba mencari posisi yang bisa membuatku nyaman untuk kembali tidur. Kupejamkan mata, lalu mengosongkan pikiran, berharap bisa melelapkanku lagi, walau barusan aku bermimpi tidak menyenangkan. Tapi usahaku sia-sia, aku masih tersadar sepenuhnya hingga suara jarum jam malah menggangguku. Dengan kesal, akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa menenangkan diriku.
Kondisi rumah sepi dan lampu-lampu kamar masih padam. Para pelayan masih terlelap dan memang terlalu dini untuk melakukan tugas mereka, apapun itu. Langkahku terus melewati ruang-ruang, mengabaikan sepenuhnya. Sesampainya di dapur, baru aku terdiam. Ternyata bukan hanya aku yang terbangun saat ini.
“Hei! Terbangun juga atau belum bisa tidur?” tanyanya.
“Dua-duanya,” jawabku malas sambil duduk di salah satu kursi dapur.
“Mimpi buruk?”
Tatapan tajamku cukup menjawab pertanyaannya barusan, yang juga mencegahnya bertanya lebih banyak.
“Itu aneh, mengingat kau menang bertarung dengan orang yang berlevel lebih tinggi dari dirimu,” ia mengambil gelas dan menuangkan cairan putih yang sama seperti yang ia minum barusan.
Kumiringkan kepalaku, mencoba meyakinkan apa yang kudengar barusan.
“Oh, tenanglah. Rahasia kalian aman bersamaku. Aku tahu kemampuan kalian, sama seperti lawan bisnis kalian. Tapi itu bukan urusanku dan tidak akan kubuat bahan gosip,” ia menanggapi tatapanku.
Mengingat ia dipercaya untuk menginap, kurasa aku bisa sedikit mengatakannya. “Dia memalsukan levelnya,” kataku menanggapi kalimat sebelumnya.
“Aku juga mendengarnya. Tapi tetap saja, level sebenarnya hampir sama denganmu, bahkan sedikit unggul,” ia memberikan gelas barusan padaku.
“Apa ini?” tanyaku menerima gelas dengan cairan yang ternyata sedikit kekuningan.
“Banana Smoothies. Pisang bagus untuk menenangkan pikiranmu dan membuat tidurmu lebih nyenyak nanti. Apalagi ini susu murni, baik untuk kesehatanmu,” jelasnya.
Kuangkat bahuku singkat, lalu mencoba meminumnya. “Sebenarnya levelku lebih tinggi darinya. Aku terakhir mengukurnya empat hari yang lalu dan sekarang sudah melampaui angka itu. Jadi, aku memang lebih unggul darinya,” jelasku sambil mengernyitkan dahi.
“Es krim vanilla?” ia menawarkan.
“Dengan senang hati,” jawabku langsung, tak bisa menahan ‘kemurnian’ smoothies-nya itu.
Wanita itu langsung membuka freezer, mengambil sekotak es krim vanila dan mengambilkan satu sendok besar ke gelasku.
“Apa yang kau lakukan di sini, Belle?” tanyaku.
“Di dapur ini atau di rumah ini?” ia memastikan, sambil meletakkan kembali es krim ke freezer.
“Dapur ini, jam segini,” kataku sambil mengaduk smoothies-ku.
“Aku terbangun dan tidak bisa tidur, jadi kuputuskan mencari sesuatu yang menenangkanku. Beruntung, rumah ini seperti surga untukku, karena punya bahan-bahan segar lebih banyak dibanding alkohol,” ia nampak kagum. “Rumah mewah lain lebih memperbanyak alkohol mereka, padahal itu hanya merusak mereka.”
Tidak heran jika rumah kami penuh dengan bahan-bahan segar dan murni, karena keluarga kami memang mayoritas tidak minum alkohol. Sedangkan Dad juga jarang menikmati alkohol, walaupun beliau bisa meminumnya tanpa efek seperti kami bertiga. Yang jelas, beberapa botol bir selalu tersedia untuk Bernard, karena itu yang menenangkannya dari apapun.
“Kau ingin nambah?” ia menawarkan.
“Tidak, terima kasih,” ucapku sebelum meminum smoothies yang rasanya jauh lebih baik. “Lalu, kenapa kau terbangun?”
Ia menarik nafas dalam, “sebenarnya aku juga insomnia. Lalu tiba-tiba aku terjaga dan susah tidur. Sesuatu menggangguku.”
“Mengganggumu? Tapi kau berada di tempat yang aman. Tidak perlu khawatir apapun.”
“Bukan keamanan yang menggangguku saat ini.”
“Mimpi buruk?” tanyaku, sama seperti pertanyaannya sebelumnya. “Tapi bukankah kau tidak perlu memikirkan apapun selama bersama Dad?”
Belle tersenyum ramah. “Aku tidak hanya menjadi wanita pemuas nafsu saja, jika itu maksudmu.”
Kuturunkan pandanganku ke gelas, sebelum menatapnya lagi, sedikit malu telah menyindirnya.
“Tuan Royce membutuhkan teman dewasa dan aku datang menemaninya. Kami hanya mengobrol dan aku berusaha menenangkan apapun yang membuatnya resah. Memang aku tidak banyak membantu dalam pemecahan masalah, tapi setidaknya aku bisa menjadi teman untuk mengeluarkan segala penat pikirannya.”
“Dad sedang resah?” aku memastikan kalimatnya tadi.
“Ingin bersantai sejenak?” ia menawarkan sambil memandang ruang tengah yang lebih nyaman.
Kurasa tidak ada salahnya untuk bersandar sejenak, mengingat aku juga malas untuk duduk di kursi dapur. Jadi aku mengangguk menyetujuinya dan kami menuju ke sofa tengah sambil menikmati smoothies kami.
Belle duduk lebih dulu di sofa terpanjang, lalu aku duduk di sebelahnya. Kami mengangkat kaki ke atas meja untuk lebih menyamankan posisi kami.
“Tuan Royce memikirkan kalian,” ia membuka pembicaraan lagi.
“Tentang kemampuan kami atau perilaku kami?”
“Lebih ke kemampuan kalian. Atau lebih tepatnya lawan pertarungan kalian.”
“Tentang obat itu?” tebakku, mengingat aku juga menjadi korbannya.
“Ya, baik obat penambah level palsu itu dan juga obat yang menurunkan levelmu. Dia juga sangat khawatir saat levelmu turun. Bukan karena ia takut dengan kedudukannya yang diambil alih, tapi karena dia tidak ingin melihatmu dihajar oleh lawanmu,” jelasnya sebelum meminum smoothies-nya.
“Dad tidak pernah cerita padaku tentang itu,” sedikit kecewa juga saat mendengar keadaannya dari orang lain.
“Dia tidak ingin membuatmu khawatir,” jawab Belle. “Dia terus memantaumu, bahkan sangat sedih melihatmu berlatih sangat keras hingga mengeluarkan darah hitam. Dia tahu kau bisa mengatasi pertarunganmu walau levelmu turun, tapi Tuan Royce tidak ingin kau patah semangat dan merasa dikasihani,” ia memandangku lembut, “dia bangga padamu, Casey.”
“Benarkah?” tatapan berharapku terpampang jelas.
“Tuan Royce bahkan menyelidiki tentang obat itu diam-diam. Tapi dia belum menemukan titik terang,” ia kembali tersenyum ramah, “dia sangat lega saat melihatmu memenangkan Black Battle kemarin. Sebenarnya dia tahu kau akan menang, tapi saat kau lengah, dia hampir menghentikan pertarungan agar kau tak terluka. Untung saja dia masih percaya pada kekuatanmu. Bahkan dia sendiri ragu jika levelmu berkaitan dengan kekuatanmu.”
Kini aku tersenyum senang mendengar semua penjelasannya, selain karena dia menceritakan hal itu padaku, juga lega karena Dad merasa lebih baik, walau tidak menceritakannya langsung padaku. “Terima kasih, Belle. Terima kasih sudah menjadi teman baik Dad.”