Aku kembali ke rumah dan langsung menuju kamarku. Kupandang langit-langit, mencoba menenangkan diriku dari apa yang baru saja kualami. Bukan hanya karena aku bertemu seseorang yang punya kemampuan di atasku, tapi juga ucapannya tentang keluargaku sebelumnya. Terdengar aneh, mengingat aku tidak ada masalah dengan keluargaku ini, bahkan merasa bahwa keluarga Royce adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki selama ini.
“Casey! Kau sudah kembali, Dik?!” panggil Nick dari balik pintuku.
“Ya!” jawabku tanpa mengubah posisiku.
Ia membuka pintuku dan langsung terlentang di sampingku. “Darimana saja kau?”
“Serius, Nick? Apa kau selalu menanyakan setiap lokasi yang kukunjungi?” tanyaku datar.
“Ya!” jawabnya santai.
Tentu saja dia akan selalu ingin tahu. “Aku hanya jalan-jalan, Nick.”
“Sendiri? Berjam-jam?”
“Aku menemui seorang teman.”
“Cewek atau cowok?”
“Cewek cowok.”
“Artinya kau bertemu banyak orang.”
“Atau berada di tempat ramai,” kini kuputar wajahku menatapnya. “Serius. Ada apa sih?”
Wajahnya cemberut sesaat, “kau dekat dengan Belle beberapa hari ini, lalu kau sering keluar setelah pertarungan pertama di levelmu yang turun.”
“Lalu, ada yang salah dengan itu?” kini aku yang bertanya menyelidik.
“Mungkin,” kini ia menatapku curiga. “Kau tidak sedang berkencan, kan?”
Seketika, wajah datarku langsung terpasang untuknya. Tapi tak lama, senyum jahilku tertarik dari sisi wajahku, “memangnya kenapa?”
Dengan cepat ia bangkit duduk. “Berikan nama, alamat, dan nomor identitasnya. Atau setidaknya namanya.”
Kuraih bantalku dan memukul wajahnya. “Bukan urusanmu!” lalu aku bangkit dan mengambil baju santaiku. “Waktunya latihan sore, kan?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Case!”
“Aku tidak mengalihkan pembicaraan yang sudah selesai, Nick,” jawabku santai. “Aku tidak sedang berkencan. Dan walaupun aku sedang berkencan, aku tidak akan memberitahukannya padamu!”
“Oh, ayolah!”
“Apa? Aku juga tidak mencampuri hubungan asmaramu!” protesku. “Jangan pikir aku tidak tahu kalau kau diam-diam juga punya pacar selama ini.”
Ia menghampiriku perlahan, “kau mengintip isi kepalaku?”
“Tidak perlu mengintip kepalamu saat aku melihat baju rapi dan parfum yang kau pakai saat pergi pada jam makan malam atau makan siang.”
“Hanya karena itu kau mengira aku berkencan? Mungkin saja aku punya bisnis yang harus kutemui bersama klien,” sangkalnya.
“Klien yang suka wewangian?” aku masih mendesaknya.
“Itu—“ ucapannya terhenti saat ponselnya berbunyi. Tak perlu menunggu lama, ia langsung melihat siapa yang menghubunginya saat itu.
Kulirik sekilas payar ponselnya dan mendapati sebuah foto perempuan sedang terpampang. “Masih mengelak?”
Nick tidak menjawabku, ia langsung keluar kamar sambil menjawab panggilan teleponnya. Bahkan ia membenahi suaranya sejenak sebelum mengatakan ‘hallo’ dengan nada lembutnya.
Aku cekikikan melihatnya tertangkap basah. Memang menyebalkan saat ia selalu ingin tahu urusanku, tapi dia selalu menjagaku dengan baik selama ini. Kuabaikan perbincangan kami barusan, lalu segera berganti baju untuk menuju ke ruang latihan.
Di dalam ruang latihan Bernard dan Jasper nampak asyik saling menyerang—terutama Jasper—untuk melatih fisik mereka. Bernard memang tidak terlalu mengkhawatirkan serangan Jasper, tapi bukan berarti dia akan diam saja. Kami petarung yang tangguh dengan atau tanpa kemampuan istimewa sekalipun.
“Case!” sapa Jasper.
Kubenahi sarung tinjuku, “kau terlalu lembut padanya,” komentarku yang kini mengambil alih posisinya untuk menghajar Bernard. “Siap?”
“Jangan sungkan,” jawab Bernard.
Senyum miringku terpasang, lalu segera melepaskan satu pukulan.
Bernard tidak tinggal diam, ia langsung menangkis tanganku, membalasnya dengan tendangan seraya mendesak seranganku.
Kami sudah saling serang hanya dalam beberapa detik memulai latihan. Bernard lebih sering melakukan pertahanan ketimbang penyerangan, mengingat ia juga melatih kemampuan istimewanya yang membuat badannya kebal akan hantaman. Sedangkan aku selalu merasa senang dapat menghajarnya karena bisa melepaskan seberapapun kekuatan seranganku tanpa takut melukai lawanku.
Usai berlatih dengan Bernard, kini aku melemaskan otot sejenak bersama Jasper, dengan hanya berlatih ringan dan lebih ke strategi pertarungan, dimana lawan kami sama-sama punya serangan andalan dan tidak banyak melakukan pertahanan seperti Bernard.
“Kau sempat keluar tadi siang. Memangnya kemana?” tanya Jasper di tengah latihan kami.
“Astaga, apa aku harus menuliskan kepergianku pada setiap dinding rumah agar kalian tidak terus menanyaiku?” komentarku lelah dengan pertanyaan yang sama. “Aku hanya bertemu temanku, oke? Tidak ada hal lain. Hanya menenangkan pikiran sejenak.”
“Sepertinya menyenangkan.”
“Selayaknya bertemu teman, Jasper,” aku menanggapi nadanya barusan.
“Aku hanya memastikan. Tidak masalah, kan?”
“Kalian pasti mengatakan hal itu, berulang-ulang. Kau dan Nick. Tidak bisakah kalian sedikit tenang membiarkanku keluar kemanapun aku pergi? Seperti Bernard.”
“Memangnya kau kemana tadi?” tanya Bernard dengan tenangnya menanggapi ucapanku barusan.
Satu pukulan keras melayang dariku—membuat Jasper harus mundur untuk menghindarinya—menanggapi pertanyaan Bernard barusan. “Serius, Bung?”
“Kau adik perempuan kami, jadi wajar jika kami bertanya seperti itu. Terlebih, kau baru saja terkena obat menakutkan itu,” Jasper mengingatkan pada levelku yang masih turun.
Satu helaan nafas terdengar jelas dariku. “Aku sudah kembali dengan selamat, oke?”
“Benar,” Jasper menyudahi latihan kami. “Waktunya meditasi,” ucapnya sambil melepas sarung tinjunya.
“Hei, kalian!” sapa Nick yang baru saja masuk. Lalu langkahnya terhenti saat melihat apa yang sedang kami lakukan. “Apa aku datang disaat yang tidak tepat?”
“Kau datang tepat waktu, Nick. Waktunya meditasi,” kata Jasper menunjuk sisi kirinya agar duduk saling berhadapan dengan kami.
“Aku datang disaat yang tidak tepat,” Nick menjawab pertanyaannya sendiri, sedikit menyesal, namun tetap menghampiri kami. “Kurasa aku bisa berlatih fisik dulu dengan B,” ia mengalihkan dirinya, jelas ingin terhindar dari meditasi.
“Boleh, asal B juga ikut meditasi setelah itu,” jawab Jasper tidak kehilangan akal.