Suara lalu lalang kendaraan samar-samar terdengar olehku. Ini aneh, karena aku tidak pernah terbangun dengan suara seperti itu, kecuali aku sedang tidak berada di rumah. Dan benar saja, dengan cepat aku mengingat apa yang terjadi semalam serta ingatan terakhir sebelum aku tak sadarkan diri. Dengan satu sentakan, aku terbangun dan terduduk dari tidurku.
“Case—“ ucapannya terhenti saat tangannya berhasil kutangkap dan kutekan ke bawah untuk mengamankan gerakannya.
Dua detik kemudian aku tersadar siapa yang baru saja kutahan itu. “Spencer,” kataku lirih.
“Kau tak apa?” tanyanya kembali berusaha menepuk halus pundakku.
Kuusap wajahku sejenak, berusaha menenangkan diriku. Kuanggukkan kepalaku kecil untuk menjawab pertanyaannya. “Dimana ini?” kulihat sekitarku, terutama satu tempat tidur kosong di sebelahku.
“Motel. Kita menginap semalam agar kau bisa istirahat dengan tenang,” jawab Spencer. “Aku sudah bilang tidak menyetujui cara Ethan semalam, tapi dia tetap melakukannya!” pandangannya langsung berlari ke pria yang duduk di sofa kecil dekat jendela.
“Jika aku tidak melakukannya, kuyakin dia tidak akan tidur semalaman,” ujar Ethan seakan membela dirinya. “Tapi itu hanya telepati ringan. Dia baik-baik saja.”
“Tapi tetap saja—“
“Spencer,” kuhentikan ucapannya. “Tak apa,” lanjutku.
Pandangan khawatir Spencer kembali terpasang ke arahku. “Apa suaraku tadi terlalu keras? Kau ingin istirahat lagi?”
Kugelengkan kepalaku, sebenarnya bingung harus mengatakan apa. Lalu, kusandarkan dahiku ke pundaknya, hanya untuk memejamkan mata, lebih baik dibanding berbaring saat ini.
Spencer bergerak canggung, mencoba menepuk pundakku kaku, tapi tetap membiarkan kepalaku berada di bahunya.
“Sarapan datang!” kata Peter begitu memasuki kamar kami. “Pagi yang cukup sibuk dan kupastikan tidak ada yang mengetahui keberadaan kita sekarang ini.”
Perlahan, kutegakkan kembali kepalaku untuk mendengarkannya.
“Latte untuk Casey,” ia memberikan satu gelas dengan tulisan yang menunjukkan isi di dalamnya. “Kopi hitam,” ia memberikan pada Spencer, “kopi hitam,” ia berikan pada Ethan, “kopi manis,” ia mengambilnya sambil duduk dan segera meminumnya.
Kuteguk pelan minuman yang diberikannya itu, merasakan energi yang membuatku lebih terbangun dari sebelumnya. “Terima kasih, Peter,” kataku.
Peter mengangkat gelasnya tanda bersulang sebagai jawabannya. “Jadi, bagaimana selanjutnya?”
“Itu terserah padanya,” jawab Ethan menunjukku dengan pandangannya.
Tidak ada tanggapan dariku, karena aku sendiri masih bingung.
“Kau benar saat bilang bahwa telepath bisa memalsukan memori dengan mudah, jadi aku tidak akan memaksamu menyelami memoriku lagi. Sekarang kau punya pilihan, apakah masih ingin melihat pikiranku atau mencari tahu sendiri dengan data-data yang ada,” Ethan menawarkan.
Kupandang gelas pada tanganku sejenak sambil berpikir cepat. Keputusanku pasti punya resiko tersendiri, terutama di saat seperti ini. Tapi tak lama, aku punya jawaban atas rasa penasaranku dan juga cara yang harus kuambil. “Kurasa aku harus pulang.”
“Apa?!” Spencer langsung terkejut, begitupun dengan Peter yang sedikit tersentak. Sedangkan Ethan masih tetap tenang mendengarnya.
“Pulang ke Tuan Royce? Kau yakin?” Spencer nampak tak setuju.
“Dialah yang mengadopsiku dan mengetahui cerita sebenarnya selain Ethan. Jadi aku akan memastikan darinya dan melihat apa yang akan beliau jelaskan nantinya,” kataku tanpa ragu.
“Kau yakin? Setelah semua ini?” kini Peter mengikuti nada Spencer.
“Ya,” jawabku tanpa pikir panjang.
Mereka terdiam, terlihat memikirkan apa yang baru saja kukatakan.
“Aku setuju dengannya,” Ethan mendukung ucapanku. “Jika dia benar-benar ingin mengetahui yang sebenarnya, dia harus datang ke sumber utamanya.”
Spencer dan Peter saling pandang sejenak, memahami maksud kami, walau masih kurang sependapat.
“Sebenarnya aku sedikit ragu apakah Tuan Royce akan mengatakan semua, tapi aku tahu bagaimana cara berbicara dengannya,” kataku.
Kepala Spencer tertunduk sesaat sebelum kembali menatapku. “Jika itu maumu.”
“Aku akan baik-baik saja. Lagipula, aku sudah merasa sangat sehat saat ini. Bahkan lebamku sudah mulai menghilang,” lalu kulihat sebuah jarum suntik di dekat meja. Kularikan pandanganku selanjutnya kembali ke arah Spencer.
“Hanya obat,” kata Spencer begitu mengetahui pandanganku. “Obat untuk mempercepat proses penyembuhan tubuh seseorang,” jelasnya. “Masih dalam uji coba, tapi sepertinya cukup berhasil hingga kini,” ia memeriksa mataku dengan senter ponselnya.
“Kurasa obat kalian beraksi dengan baik,” ucapku membiarkan Spencer memeriksaku. Kupandang Ethan yang juga sudah tidak terlihat lebam pada wajahnya seperti semalam, sepertinya ia juga mengonsumsinya, walau masih uji coba.
“Bersiaplah. Kau bisa pergi sebentar lagi,” ujar Ethan mengabaikan pandanganku.
“Bisa kita santai sejenak? Toh jaraknya hanya 10 menit dari sini,” Spencer menanggapi.
Kupastikan pendengaranku. “10 menit?”
“Ini motel di kotamu. Bahkan cukup dekat dengan tempat tinggal keluarga Royce,” jelas Spencer. “Ide dari Ethan, mempertimbangkan jika dirimu ingin kembali ke Tuan Royce.”
“Dia benar-benar pandai menganalisis,” komentarku. “Aku akan cuci muka sebentar sebelum kembali ke Tuan Royce,” ucapku sambil beranjak.
“Tenang saja, Peter akan mengantarmu, tapi hanya sampai beberapa rumah sebelum rumahmu, agar mereka tidak melihat kami,” kata Ethan seraya terlentang santai di kasur lainnya.
“Biar aku saja,” Spencer menawarkan. Tapi dia tidak memberikan alasan pengajuan dirinya.
“Oke, berhati-hatilah,” Ethan menyetujui usulannya.
“Pasti,” Spencer memandang yakin.
Aku keluar dengan wajah lebih segar, tepat setelah mereka tidak berbincang lagi. “Kita berangkat sekarang,” ajakku.
“Oke,” jawab Spencer sambil beranjak.
Kuambil Latteku untuk menemaniku. “Sampai jumpa semua,” pamitku sebelum keluar kamar.
Kami segera menuju ke mobil dan melaju ke arah perumahan keluargaku. Kupandangi jalanan pagi itu sambil meminum Latte-ku santai. Spencer mengenakan topi untuk menyamarkan wajahnya, sedangkan aku hanya memastikan bahwa tidak ada yang melihat kami sepanjang jalan ini.
Benar saja, 10 menit kemudian, kami sudah masuk ke kawasan rumah-rumah tepi kota yang cenderung sepi. Spencer menghentikan mobilnya di salah satu jalan kawasan perumahan berjarak 200 meter dari rumahku yang ada di tikungan depan.