Kupandang mereka, termasuk Peter yang baru saja kembali setelah membersihkan tangan dari tabung-tabung suntik yang ia berikan pada kami tadi. “Kita akan istirahat sambil menyusun rencana,” kataku akhirnya. “Itu, atau aku akan bergerak sendiri ke rumah Royce,” lanjutku sedikit mengancam.
“Apa semua keluarga Arden terlahir keras kepala?” Arthur memandang Ethan yang duduk di sebelahnya. “Tapi memang kita akan menyusun rencana kita malam ini, kan?” ia mengangkat bahu singkat. “Jika cewek itu menyusahkan, kau tinggal tidurkan dia,” tambahnya dengan nada ringan.
“Menyebalkan, tapi aku setuju dengannya,” sahutku.
Ketiganya saling pandang, seakan sudah tidak punya pilihan lagi.
“Kita mulai!” Arthur mengambil alih. “Jelaskan keadaan rumah Royce!”
Kuperhatikan rekannya yang lain, menunggu sejenak untuk melihat tanggapan mereka.
Ketiganya tetap diam tak menanggapi atau memprotes, yang artinya kami sudah sepakat untuk membicarakan rencana kami saat ini.
Tak buang waktu, aku mulai memberikan gambaran lewat telepatiku. Denah bangunan, ruangan, penjagaan, beberapa pelayan, termasuk kekuatan istimewa yang ada dalam rumah itu. Tak lupa kuperlihatkan sisi-sisi rumah, kemungkinan celah yang bisa digunakan pasukan Tuan Royce untuk menangani penyusup, hingga senjata para pengawal kami. Kujelaskan semua sambil memberikan ilustrasi pada pikiran mereka. Setelah itu, kutarik kembali telepatiku. Tak perlu waktu banyak untuk membuat mereka seakan sudah pernah memasuki bangunan yang kujelaskan itu, kini mereka sendiri punya gambaran dan denah hunian Royce di kepala mereka.
“Jadi, kita tidak boleh lengah begitu serangan dimulai,” Peter mulai menarik beberapa poin.
“Casey jelas akan menampakkan diri lebih dulu untuk menarik perhatian mereka, setelah itu, kita bisa masuk satu-persatu sambil mengamankan keadaan sekitar,” Spencer mulai menyusun rencana.
“Terlalu rumit,” Arthur menanggapi. “Kita tarik perhatian mereka dalam satu titik, kemudian langsung lumpuhkan. Jangan beri mereka kesempatan untuk beraksi apalagi berpencar,” ia menerangkan rencananya. “Kita langsung serang mereka. Kupikir mereka juga tidak akan memberi sambutan hangat bagi kita nantinya.”
Peter mengangguk pelan, “kita serang mereka langsung dari depan dan melumpuhkan semua keamanannya?”
“Bukan kita semua,” Arthur mengoreksi. “Kita tetap terbagi dalam dua pasukan. Pasukan pertama yang masuk lebih dulu dan pasukan kedua akan mengamankan lebih lanjut.”
“Benar juga,” Spencer menyetujui. “Kita bisa melakukannya,” lanjutnya.
“Oke, lalu siapa yang menjadi pasukan pertama? Selain Casey tentu saja,” Peter langsung menyusun langkah selanjutnya.
“Aku dan Spencer akan jadi pasukan pertama,” Ethan memberikan keputusan.
“Ya,.. tidak masalah,” Peter menanggapi ditambah anggukan dari Spencer.
“Aku sih sama saja,” Arthur tetap santai seperti biasa.
Pandangan Ethan menangkap ekspresi Peter yang mempertimbangkan usulannya. “Ada Nicolas yang seorang PK handal, jadi Spencer akan menanganinya. Aku akan membantu Casey dan juga melindunginya jika Tuan Royce mencoba mengaktifkan hipnosisnya lagi. Terutama karena di sini hanya aku yang bisa menghentikan Casey.”
Peter menangkap penjelasan Ethan. “Benar juga.”
“Kami bertiga akan masuk lebih dulu, melumpuhkan mereka, lalu kalian akan mengamankan gerakan mereka,” Ethan menambahkan.
“Pekerjaan yang mudah,” komentar Arthur menyetujuinya.
“Itu jika Tuan Royce belum memanggil semua pasukannya karena Jasper yang melihat serangan kita ini,” aku mengingatkan.
“Kalau itu terjadi, maka kita berempat akan maju bersama,” sahut Arthur dengan mudahnya.
“Kurasa benar kata Arthur. Setelah melihat jumlah yang mungkin lebih banyak, maka kita akan menyerang bersamaan,” Spencer menambahkan.
Kupikirkan sejenak rencana ini, membuat simulasi dan perkiraan yang akan terjadi dengan pertimbangan kekuatan yang kami punya. “Kalau begitu, rencana kita beres,” ucapku.
“Bagus! Aku sudah lapar lagi,” Arthur langsung beranjak menuju ke dapur.
“Aku akan periksa lingkungan sekitar,” kata Peter yang menuju ke komputer mereka.
“Kau harus istirahat sekarang,” Ethan langsung menatapku. “Pakai saja kamarku.”
“Aku bisa tidur di sofa, tenang saja,” jawabku tidak ingin merepotkan.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Ethan melihat sikap diamku.
Sebenarnya aku khawatir jika pengaruh hipnosis Tuan Royce akan merusak rencana kami ini. “Aku ingin menyelamatkan Ayah kita dan aku serius ingin melakukannya,” kataku.
Tidak ada tanggapan dari lawan bicaraku, tahu bahwa masih ada kalimat yang kutahan.
“Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku,” kutatap matanya lekat, pertanda aku serius dan tidak akan menarik ucapanku. “Jika aku kembali terpengaruh hipnosis Tuan Royce, maka lumpuhkan aku,” lanjutku. “Hajar aku, pukul jatuh, apapun untuk menghentikanku. Jangan ragu.”
“Kau mengetahui sesuatu?”
Kugelengkan kepalaku pelan, “hanya khawatir,” lalu kupandang lagi dirinya lekat. “Berjanjilah.”
Senyum tenangnya terlihat, “tidak masalah,” ia mengelus kepalaku lembut. “Sekarang istirahatlah. Aku akan membantu Peter memeriksa CCTV lingkungan sekitar,” ucapnya sebelum melangkah.
Aku hanya mengangguk, cukup lega dengan jawabannya barusan. Kualihkan pandanganku ke orang yang masih duduk di sofanya.
“Kau ingin ke kamar Ethan? Biar aku tunjukkan,” Spencer menghampiriku.
“Aku akan tidur di sofa sambil menenangkan diriku,” kataku sambil berpindah ke sofa panjang yang diduduki ketiga rekan sebelumnya. “Ada yang ingin kutanyakan.”
Wajah Spencer langsung mengarah padaku, penasaran dan siap menjawab.
“Bukannya aku peduli atau membandingkan, tapi aku cukup penasaran,” kulihat sekitar sejenak. “Berapa level kalian?”
Spencer tertawa kecil menanggapi pertanyaanku. “Aku pikir kau curiga tentang penelitian kami, karena wajahmu terlalu serius,” ucapnya lega. “Aku dan Peter 8,1. Arthur 8,2. Dan Ethan 8,5.”
Satu decakan terdengar dariku, “lalu kalian bilang bukan petarung?”
“Memang bukan,” sahutnya. “Untuk saat ini,” tambahnya dengan cepat. “Kurasa kau sudah membacanya lewat Ethan.”
“Aku terfokus menuju ke kenangan terdalamnya, hanya melihat sekilas latihan kalian, tapi tidak terlalu jelas. Kurasa dia juga tidak ingin memikirkannya,” kulirik cepat orang yang kumaksud sebelum kembali ke lawan bicaraku. “Aku tahu jika level setinggi itu tidak mungkin didapat tanpa latihan bertarung. Jadi aku menyimpulkannya.”
“Pengamatan yang bagus,” Spencer mengakui. “Kami memang bukan petarung, bukan berarti kami tidak pernah bertarung,” lanjutnya. “Kami petarung sebelum ini, dan menjadi yang terbaik selama beberapa tahun di kota kampus kami. Namun kami sadar dengan para lawan yang berjuang keras demi mendapatkan posisi mereka. Akhirnya kami putuskan untuk melepas kemenangan kami dan pergi dari list hirarki level, terlebih kami mulai mendengar beberapa orang yang memanfaatkan level tinggi seperti kami. Setelah itu, kami fokus pada penelitian, hingga bekerjasama dengan Otis.”
Bisa kubayangkan alur penjelasannya dan alasan mereka. Mereka keluar di saat yang tepat dan dengan alasan yang akan membantu sesama, kini aku semakin yakin mengikuti mereka.
“Apa ada yang ditanyakan lagi?” tanya Spencer.
“Kurasa tidak ada. Terima kasih,” jawabku.
“Kalau begitu, istirahatlah sebelum kakakmu menyuruhku menyingkir darimu lagi.”
Aku tertawa kecil mendengarnya. “Aku akan bersandar santai sambil memikirkan gerakan kita besok. Jika kalian butuh aku, panggil saja.”