Mobil kedua pasukan kami diisi oleh Arthur dan Peter, sedangkan empat yang lain berada satu mobil dengan Ethan yang mengemudi. Aku dan Nick berada di kursi penumpang, masih memproses beberapa memori yang muncul perlahan. Kami terdiam selama setengah perjalanan, asyik dengan aktivitas masing-masing, terutama karena aku harus mengumpulkan ingatanku sebelum menemui Guzman Arden nanti.
“Kalian tak apa? Perlu sesuatu?” Spencer memastikan keadaan kami.
Mata Nick berkedip beberapa kali sebelum menjawab, “tidak apa. Hanya teringat masa lalu yang mengenaskan.”
Kutolehkan kepalaku ke arahnya, “kau sudah melihat semuanya?”
“Belum semua, tapi aku tahu kenapa aku diadopsi oleh Tuan Royce, selain potensiku,” wajahnya sedikit marah. Ia tersenyum sinis, “keluargaku bencana.”
Kerutan samar terlihat pada dahiku, bingung dengan kalimatnya barusan.
“Keluarga Burton bukan keluarga harmonis. Ayah yang pemabuk, ibu yang kecanduan pesta dan hal-hal kemewahan,” ia mulai menjelaskan. “Aku terlantar, bahkan lebih baik jika aku tidak tinggal bersama mereka. Hari-hari begitu suram dan tidak ada warna layaknya sebuah keluarga. Suatu sore aku muak dengan pertengkaran mereka dan mencoba berjalan-jalan di sekitar rumah kami. Tak disangka, segerombol bocah mencoba menindasku. Aku melawan dan beradu telekinesis dengan salah satu di antara mereka. Dan tebak apa yang terjadi.”
“Kau menang,” kataku melihat seringainya.
Kepalanya menggeleng kecil, “aku menghajar mereka satu persatu hingga babak belur. Tetangga yang melihat langsung menelepon keamanan dan aku masuk tahanan,” senyum sinisnya kembali terpancar. “Kau tahu, selama semalaman aku tidur di tahanan. Bocah sekolah dasar sepertiku yang hanya melawan karena penindasan itu harus mendekam semalaman, bukan karena itu hukumanku, tapi karena orang tuaku sudah tidak peduli lagi. Hanya ada satu kemungkinan jika sudah tidak ada yang bisa menanganiku, maka aku akan masuk ke lembaga penanganan khusus. Tapi kupikir itu lebih baik dibanding tinggal dengan dua orang yang hanya membuat hari-harimu membosankan. Keesokan harinya, Tuan Royce datang dan mengajukan adopsiku. Sesuai dugaan, keduanya langsung menyetujui untuk menyingkirkanku hari itu juga, bahkan tanpa syarat apapun.”
Kugenggam tangannya, prihatin dengan kisahnya. “Aku turut sedih, Nick.”
“Sedih?” Nick menyangkal ucapanku. “Justru aku bersyukur dibawa Tuan Royce dengan kehidupan lebih baik. Bahkan aku menyetujui tindakannya yang menutup memori lamaku, karena tidak ada yang bisa kukenang dari keluarga lamaku,” ia menyeringai, muak dengan masa lalunya itu.
Tidak ada tanggapan dari kami, nampak kami tidak memprotes sikapnya yang disebabkan oleh kisah di baliknya itu.
“Lalu, bagaimana denganmu?” Nick memandangku. “Bagaimana masa lalumu?”
Kuhela nafasku sejenak, “berbeda denganmu, keluargaku baik-baik saja. Kedua orang tuaku punya tanda yang sama dengan kami. Tapi itulah yang membuat kami berdua di luar kewajaran. Potensi yang diturunkan dari kedua orang tua kami membuat kemampuan ini melebihi rata-rata di usia yang masih sangat dini. Itulah kenapa kami dipisah, agar kami tidak mengasah kemampuan kami lebih cepat, karena akan menimbulkan bahaya bagi orang sekitar, mengingat kami masih belum bisa mengontrol emosi dengan baik,” kupandang Ethan yang mengendalikan kemudi.
“Karena tidak ada anak seusia kami yang bisa setara dengan kemampuan kami, sehingga kami belajar sendiri. Tak disangka, level kami berkembang pesat dan orang tua kami malah khawatir,” Ethan menambahkan. “Saat kami ketahuan berlatih sendiri, mereka tidak punya pilihan lain untuk mencegah tindakan kami lebih jauh, jadi aku dititipkan ke kerabat kota sebelah.”
“Sejak saat itu, aku tidak berlatih lagi dan semua nampak aman,” sambungku. “Tapi ternyata, beberapa temanku tidak suka dengan potensi yang kupunya. Mereka mulai mengganggu dan mengintimidasiku sebelum aku bisa mengintimidasi mereka. Puncaknya saat suatu hari kami akan menampilkan hasil prakarya kami, mereka merusaknya. Hasil dari jerih payahku dibantu ibu, hancur di depan mataku. Aku marah dan menekan pikiran mereka hingga hidung mereka mimisan. Bahkan orang-orang yang berjarak beberapa meter dariku juga mendapatkan efek kemampuanku, sampai mereka kesakitan,” kulihat jelas memori itu dalam benakku.
Nick mengelus pundakku, mencoba menenangkanku.
“Sama sepertimu, akhirnya aku dianggap sebagai ancaman. Hanya saja, aku tidak masuk ke sel tahanan, namun ikut bersama Ayah ke lab Otis dan menjalani serangkaian tes selama berhari-hari,” kuingat darahku yang beberapa kali diambil. “Sebenarnya Ayah tidak bermaksud melibatkanku pada penelitian, namun itu menjadi pilihannya, atau aku harus berada di lembaga penanganan khusus. Sama seperti Nick, Tuan Royce muncul mengajukan adopsi. Orang tuaku awalnya menolak, namun mereka lebih sedih saat melihatku menjadi salah satu objek lab Otis terus menerus. Mereka ingin aku bisa hidup normal layaknya anak kecil, tanpa bayang-bayang ancaman dari lembaga penanganan khusus begitu keluar lab. Akhirnya, mereka melepaskanku dan pindah ke luar kota untuk memulai hidup baru. Aku terbebas dari lab dan lembaga itu,” jelasku.
“Kalian diadopsi bersamaan?” Spencer memandang kami.
“Casey datang sekitar tiga bulan setelah diriku,” jawab Nick. “Kami cepat akrab dan Tuan Royce memfasilitasi kami dengan baik serta jauh dari para penindas. Kami bersekolah dengan normal, menyembunyikan kemampuan kami yang semakin berkembang, dan hanya menggunakan kemampuan bela diri kami dalam keseharian di lingkungan sosial.”
“Beliau mulai melindungi dirinya begitu melihat level kami di atas rata-rata untuk seusia kami saat itu. Tapi selain itu, tidak ada yang dilakukannya dan bertindak layaknya seorang ayah,” tambahku.
“Tuan Royce menciptakan keluarga seperti pada umumnya, saling menjaga dan melengkapi,” Nick memandangku lekat. “Apa yang akan kau lakukan setelah menyelamatkan ayahmu?”
“Mereka keluarga kandungku dan aku sudah bisa mengontrol kemampuan istimewaku. Kurasa aku bisa bersama Arden kembali,” jawabku. “Namun menjadi keluarga Royce juga momen penting dari seluruh hidupku hingga saat ini. Aku masih belum bisa memutuskan bagaimana kedepannya, yang jelas kedua keluarga ini sama pentingnya bagiku.”
“Aku mengerti,” Nick tersenyum.
“Ibu sangat bangga padamu, Case,” kata Ethan. “Aku sempat menghubunginya dan beliau tidak sabar menunggumu kembali. Tapi tentu saja, kita harus memastikan keadaan aman dulu.”
“Memastikan keadaan aman?” Nick memandang bingung.
“Semenjak ayah kami menjadi ‘tawanan’ Tuan Craig, kami berdua sepakat menyembunyikan keberadaannya untuk keamanan. Setidaknya kami tidak perlu khawatir jika Tuan Craig mencarinya untuk dijadikan tawanan berikutnya,” jelas Ethan.
“Benar juga,” Nick langsung memahami.
Ethan memutar setirnya masuk ke salah wilayah pinggir kota yang sepi. “Kita hampir sampai.”
Nick meregangkan bahunya, “kita cukup mengeluarkan tenaga tadi, jadi kurasa kita perlu senjata,” lalu ia memandangku, “kau siap bermain denganku?”
Kutangkap maksud dari kalimat Nick dengan jelas. “Ini pasti menyenangkan,” kubalas senyumnya.
Alis Nick terangkat menanggapi sebelum ia bicara pada dua orang di depannya. “Kami akan lumpuhkan penjaga depan, kalian ambil pasukan yang samping,” instruksinya.
Senyum tipis Ethan menunjukkan ia memahami rencana kami. “Tidak masalah. Spencer akan menangani kamera CCTV. Kita amankan Arthur dan Peter agar mereka bisa segera menangani Guzman dan Craig, sebelum kita hancurkan labnya.”
“Itu perkara mudah,” jawab Nick saling melempar tampang siap beraksi.
Spencer melepas sabuk pengamannya, “bersiap.”
Kami berhenti di salah satu bangunan yang nampak sepi, namun terlihat beberapa pengawal yang berjaga.
Ethan mengamati sekilas. “Aku tidak melihat mobil Craig. Kurasa kita bisa melakukannya dengan cepat tanpa ketahuan.”
“Bergerak!” kata Nick memulai aksi kami.
Kami segera keluar mobil dan menuju ke gerbang rumah. Kami membuka gerbang dengan mudah berkat bantuan telekinesis Nick, bersama Spencer yang mengarahkan CCTV ke atas. Aku dan Ethan langsung menidurkan mereka, mengamankan jalur yang akan dilalui Arthur dan Peter untuk menyelinap melewati mereka.
Teras depan sudah aman dari pengawal yang tertidur lelap dengan senjata mereka yang terkumpul menggantung di pilar yang terpasang CCTV. Langkah kami berlanjut memasuki ruang tamu yang cukup luas namun minim perabotan.
“Tembak!” teriak salah satu pasukan.
Berondongan peluru langsung menyerbu kami, ditambah dengan beberapa pasukan yang mulai berkumpul dari sepenjuru sisi rumah. Ini bagus, karena kami bisa mengatasi mereka di sini, sehingga dua rekan kami bisa terhindar dari mereka. Tapi, kami juga ekstra hati-hati dengan serangan agresif dan serentak mereka. Nick dan Spencer berhasil menghalau peluru-peluru, bahkan beberapa senjata penyerang kami terlempar menjauh. Aku dan Ethan segera menekan pikiran mereka, menghentikan tembakan mereka ke arah kami. Saat senjata mereka diamankan, kami akan membuat mereka terlelap untuk waktu yang lama.
“Kita harus terus bergerak menuju lab,” Spencer mengingatkan sambil tetap menahan beberapa tembakan.
“Oke! Kalian ambil sisi sana!” balas Nick. Kemudian ia menyambar salah satu laras panjang, “Case!”
Aku segera menangkap senjata yang dilemparkannya, lalu membalas beberapa tembakan mereka dengan tameng Nick yang ada tepat di sampingku.
Serangan mereka masih belum menurun, sehingga kami harus membalas sama agresifnya dengan senjata yang sama, terutama karena tenaga kami cukup terpakai sebelumnya jadi kami harus menggunakan fisik untuk mengamankan batas tanda kami. Kulumpuhkan beberapa pasukan, sebelum Nick merampas senjata mereka dengan mudah sambil terus mendekati mereka. Kolaborasi kami saling menguntungkan, dimana aku melumpuhkan mereka dengan senjata, sedangkan Nick bisa menangani beberapa sisi lebih fokus, dibanding harus menghalau peluru dari segala penjuru.
“Peluruku habis!” teriakku dan langsung mendapatkan senjata baru dari Nick.