PERCAYA.
Kata orang, jika ingin mendapatkan kehidupan yang baik, satu langkah selanjutnya setelah niat dan proses adalah percaya. Entah itu pada usaha yang sudah dilakukan, proses runtut sesuai prosedur, maupun kehendak Sang Penulis Skenario di atas sana. Namun, bagaimana jika seluruh rangkaian takdir yang katanya tertulis secara adil itu... justru menjadikanmu sulit untuk memaknai rasa ‘percaya’ tersebut?
Aku, adalah salah satu yang mengalaminya. Dalam kamus hidupku, hampir tidak pernah ada kata kunci untuk kata percaya. Jika kau penasaran kenapa, karena aku hampir tidak pernah mendapatkan akibat dari kata yang bermakna yakin bahwa sesuatu akan terjadi tersebut.
Namaku Bentala. Gadis kampung di pulau kecil, dengan menyandang nama tak bermarga. Makna namaku juga tidak mewah-mewah amat. Silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia jika tidak percaya.
Bumi, tanah. Ya, sesederhana itu. Tempat segala sesuatu yang ada di dunia ini berpijak, adalah makna dari namaku. Tidak berlebihan, tidak pula digantungkan harapan setinggi langit ketujuh seperti nama anak-anak kebanyakan di angkatanku. Mungkin, karena itulah aku ditakdirkan untuk tidak mempercayai kata percaya. Melihat dari namaku, hidupku memang sudah sepatutnya diinjak-injak manusia tanpa boleh mengharapkan apa-apa.
Eits, tapi jangan mengerutkan alis dulu saat membacanya. Aku mengatakan hal demikian karena mempunyai dasar kokoh sendiri, kok. Selama enam tahun sejak suatu peristiwa menimpa hidupku, roda nasib itu entah mengapa tidak bisa naik ke atas. Apa mungkin, karena namaku adalah perwujudan dari sesuatu yang selalu ada di bawah?
Aku tahu, ini salah. Sangat salah untuk berputus asa.
Namun, coba bayangkan. Segala sesuatu tidak ada yang berjalan lancar dalam kehidupanmu. Kau hidup dalam keluarga beranggota banyak, sementara keadaan ekonomi tidak pernah stabil. Selalu lebih banyak pengeluaran daripada pendapatan. Sekalinya punya uang, hanya cukup untuk biaya makan atau membayar hutang.
Menyedihkan, memang. Aku bahkan enggan untuk mengatakan bahwa yang mengalami hal itu adalah diriku sendiri. Di usiaku yang harusnya menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar, malah harus memikirkan utang-piutang yang selalu gali lubang tutup lubang. Tidak ada habisnya.
Aku tadi juga bilang, bahwa keluargaku punya anggota yang banyak. Ya, memang banyak—oleh anak kecil. Aku punya seorang ibu pekerja keras yang sangat rempong, tiga orang adik yang masih bocah, seorang kakak yang tidak punya visi-misi hidup, serta ayah yang pekerjaannya kadang ada dan tidak. Terlebih lagi, ia punya istri kedua.
Hanya dengan hasil berjualan camilan kering oleh Ibu, ditambah setengah gaji tak seberapa dari pekerjaan Ayah yang sudah dibagi, apa itu semua bisa mencukupi seluruh kebutuhan hidup satu keluarga tersebut?
Dulu, mungkin iya. Ayah memiliki banyak proyek bangunan besar yang bisa digarap. Rezeki mengalir lancar dari sana-sini. Kami cukup terpandang dan menjadi salah satu penyumbang dana sedekah di kampung. Rumah kamipun menjadi satu-satunya yang bertingkat di sana. Meskipun tidak se-wah orang-orang yang lebih kaya di luar sana, tentunya. Namun setidaknya, saat usiaku masih belia, tak luput seluruh tubuhku dibaluri berbagai macam kalung dan cincin emas.
Kemudian, semua itu perlahan berubah. Tepat semenjak ayahku menikah lagi tanpa sepengetahuan ibu. Entah, apa alasan ia melakukannya. Orang-orang tidak ada yang percaya, ia yang terkenal memiliki kepribadian baik dan penurut, bisa-bisanya melakukan itu. Pikiran semacam ‘menikah lagi’ harusnya tidak ada dalam kepalanya. Namun, apa mau dikata. Sudah beginilah kenyataan takdir yang harus ditelan oleh kami—anggota keluarganya yang kecewa.
Pekerjaan ayah mulai merosot, proyek-proyek besar lama-kelamaan sepi kabar. Kami tidak tahu bagaimana lagi harus menggantung hidup selain berjualan. Ya, menjualbelikan barang-barang sekunder yang kami punya.
Dan di era modern ini, kau tahu dengan baik. Kebutuhan sekunder sudah layaknya kebutuhan primer itu sendiri.
Aku sudah mengalami hal-hal seperti itu. Kulit kuning langsatku yang dulunya dihiasi perhiasan emas sejak kecil, kini hanya tersisa bayang-bayangnya saja. Kendaraan yang menumpuk di halaman, tinggal tersisa satu buah sepeda motor saja. Sejuta angan untuk mewujudkan mimpi, kini hanya sebatas angan-angan itu sendiri.
Aku berulangkali mencoba. Tegar dan menerima segala ujian ini. Permainan takdir tidak boleh mengalahkanku, pikirku. Namun, memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak yang baru menetas tunas remajanya sepertiku? Terlebih, aku tidak punya banyak skill menarik seperti anak-anak emas di kota besar.