Rembulan di Celah Satu Jam

I am Queen"tii
Chapter #2

BAGIAN I

[Derai’s PoV]

“Jangan ngaku jago kalau belum kenal Derai.”

Empat tahun. Semenjak hari ini, sudah empat tahun semboyan itu melekat padaku. Mungkin, bisa dikatakan bahwa aku adalah pemusnah rasa bangga. Memang benar, sih. Jika ada seseorang yang menunjukkan kehebatannya di depanku, saat itu juga aku akan langsung memusnahkan kebanggaan itu. Bahkan, tak ragu menghancurkannya bersama sang pemilik bila perlu.

Sudah terlihat seram, belum?

Jangan cemas. Aku tidak sejahat itu. Aku hanya merasa, aku memang punya banyak kelebihan. Baik dari segi akademik, maupun non-akademik. Entah itu dalam realita atau sosial media, katakan padaku siapa yang tidak mengenal nama Derai di kawasan kota kembang ini.

Ya, itu aku. Namaku Derai. Walau sering digambarkan sebagai sesuatu yang jatuh ke bawah, aku selalu tetap berada di atas. Jika dalam hidup setiap manusia diberikan salah satu dari keistimewaan seperti kekayaan, pengetahuan, atau paras rupawan...

Aku memiliki ketiganya.

Aku adalah orang yang cepat belajar. Memiliki sejumlah prestasi, baik akademik maupun non-akademik, secara tertulis ataupun tidak. Semua orang mengagumi dan menyeganiku. Dan lagi, dengan semua standarisasi idaman manusia metropolitan milikku, kaum hawa mana yang dapat berpaling dariku?

Tapi, kau salah. Aku tidak segampang itu menebar pesona. Aku bukan tipe pemilih teman dan suka panjat sosial. Kecuali, beberapa kelompok yang memang tidak cocok denganku. Hanya saja, jika kau ingin dekat, jangan pernah tunjukkan kebanggaan dirimu padaku. Sebab, sekali kau melakukannya, diriku yang hampir tak ada cacatnya ini akan menghancurkan hal itu tepat di depan matamu. Tentunya, dengan kemampuan hebatku yang dapat dengan segera menandingimu.

Tidak ada yang boleh lebih hebat dariku.

Itulah, slogan yang selalu kupegang dalam menjalani hidup yang selalu lurus-lurus saja ini. Aku sendiri merasa, bahkan kesialanpun tidak berani mengusiknya. Kadangkala, hal itu membuatku bosan. Menjalani hidup yang seolah tiada tantangan.

 Bagaimana tidak, coba saja kau bayangkan. Menjadi anak ketiga sekaligus anak terakhir dalam keluarga, dengan dua orang kakak yang sudah memisahkan diri dan hidup mandiri, membuat seluruh perhatian dan afeksi hanya tercurah padamu. Mama yang selalu memanjakanmu, memenuhi segala fasilitas yang kau inginkan—bahkan tepat saat sesuatu baru kau sebutkan.

Benar, itulah yang kurasakan. Aku seolah tidak kekurangan apapun dalam segi finansial, bahkan untuk uang jajan. Meski kuhabiskan seluruh nominal dalam rekeningku, tetap saja angka itu mengalir tanpa hambatan. Entah itu diisi oleh mama ataupun papa. Kalau mama, mungkin tak kuragukan lagi. Namun, dengan papa... meski aku tidak terlalu dekat dengannya sejak kecil sebab ia jarang ada di rumah, ia tetap memperhatikanku dengan tak henti memberi tunjangan.

Namun, kembali lagi ke topik awal. Semua rangkaian dalam hidupku ini—membuatku sangat bosan.

Aku sering mengutarakan semua keresahanku dalam bentuk tulisan. Walau punya banyak teman atau orang yang ingin mendengarkan, aku ini adalah tipikal orang yang sulit mempercayakan amanah pada seseorang. Untuk itulah, tulisan lebih bisa mendengarku, pikirku.

Aku juga memang suka menulis. Ya, meskipun tidak ngehype-ngehype banget sama bahasa. Hal ini adalah salah satu penggambaran atas apa yang telah kusebutkan padamu di awal—aku cepat dalam belajar. Aku bahkan memakai nama penaku sebagai username Instagram-ku. Semua orang menyukainya, melihat postingan karyaku terpajang di sosial media. Namun, apakah mereka mengerti apa yang kutulis? Apa mereka memahami perasaanku sebagai penulisnya?

Tidak ada yang berubah meski karyaku terkenal sejagat raya. Rasa kesepian dan kebosanan ini... bisa-bisa menghunuskan taringnya padaku perlahan-lahan. Kupikir, hal itu tidak akan berakhir, sampai aku menemukan sebuah platform lomba menulis berhadiah secara online yang diikuti oleh banyak orang.

Aku terdiam sejenak, merenung di depan layar. Jika aku mengadakan ini... apa rasa bosan dan sepi yang menyiksaku bisa segera hilang? Lagipula, uang di rekeningku tidak pernah terpakai. Aku buka tipe orang yang suka belanja banyak atau menghambur-hamburkan uang meski tetap diberi.

Maka dari itu, dimulailah perjalananku membuat sebuah kompetisi lomba online yang ku-upload di akun Instagram-ku. Aku memilih kategori lomba tulis yang paling mudah seperti cipta quotes agar akupun tidak sulit untuk mengoreksinya. Lomba bertema ‘arti kehidupan’ itu cukup meramaikan email-ku, dengan quotes-quotes peserta yang masuk. Tidak ada alasan kenapa aku memilih tema itu, mungkin... bisa jadi karena aku memang belum menemukan arti kehidupanku dengan pasti.

Aku membuat lomba itu gratis, agar peminatnya banyak. Hadiah yang kujanjikan pun tidak main-main jumlahnya—setara uang jajanku dua bulan. Saat itu, aku berhasil mengumpulkan peserta lebih dari enam ratus orang. Angka yang seperempat lagi menyentuh seribu pengguna Instagram itu merupakan pencapaian terbesar yang langsung berdampak pada naiknya jumlah followers-ku.

Ini akan jadi menyenangkan.

Hari-hari berlalu. Puluhan karya menghampiri email-ku berangsur-angsur. Kemudian, rasa bosan akan kembali menyapaku, sebab semua karya yang masuk sama sekali tidak ada yang menarik perhatianku. Semuanya... punya konten yang hampir sama. Membosankan.

Makna dari hidup adalah mencapai kedamaian. Makna dari hidup adalah untuk mengejar impian kesuksesan. Makna dari hidup adalah selalu bahagia dan move on dari rasa sakit sehingga hidup itu dapat terus berjalan. Makna dari hidup adalah....

Hah! Aku muak membacanya.

Semua konten dari quotes itu sepenuhnya benar. Tidak ada satupun yang salah. Masalahnya, si penyelenggara lomba tidak merasakan semua arti kehidupan yang diutarakan pesertanya. Ia pikir, tidak akan ada yang ia menangkan dalam lomba ini. Sampai di hari terakhir pengumpulan karya, ia menemukan yang satu ini...

“Hidup ibarat sebuah roda misteri, yang tak hentinya memberikan teka-teki kala ia sibuk berotasi.”

Aku termenung beberapa saat. Dari sekian banyak peserta, hanya kata-kata ini yang membuatku terpana. Quotes yang hanya 14 kata itu berhasil difilter pandanganku dan sanggup menyisihkan diri dari banyaknya pujangga yang mengikuti sayembara ini. Bukan karena diksi yang digunakannya, melainkan makna tersirat dari kata-kata itu berhasil membuat otakku bekerja. Aku suka yang ini, tapi... entah mengapa, rasa iri dalam diriku tiba-tiba saja langsung menggebu.

Karena sudah terbiasa dianggap hebat, aku merasa tidak boleh ada yang lebih hebat dariku. Meskipun aku sendiri yang menganggapnya hebat. Aku pernah berusaha ingin menghilangkan kebiasaan itu, sebab ia membuat rasa bosan dan sepi ini tercipta. Tapi, ia sudah bersamaku sejak sekian lama.

Penasaran semakin memenuhi rongga dadaku, “Siapa gerangan si pencipta quotes ini?”

Aku memutuskan untuk melakukan stalk pada akunnya. Yang mana nama penggunanya sangat jarang kudengar di ranah akun kepenulisan terkenal di Indonesia.

“Siapa ... si ‘bentalaasuci’ ini?”

Tidak ada yang istimewa dari akunnya. Followers-pun hanya berjumlah ratusan, mungkin teman-teman di sekitarnya. Ia tidak pernah memposting foto selain syarat lomba yang kuadakan. Ia begitu misteri seperti quotes yang ia sebutkan.

Aku tertarik padanya. Ya, tertarik untuk mengalahkannya.

Pada hari pengumuman, aku dengan resmi memenangkannya. Dan seperti dugaanku, ia segera mengontak akunku. Seringai tipis memenuhi wajahku, saat ia membaca balasanku tentang hadiah yang ia tanyakan, kupastikan ia sedang kesal sekali denganku.

Begitulah, caraku menunjukkan ketertarikanku pada sesuatu.

 

***

 

[Bentala’s PoV]

Viona mengundang Anda ke sebuah obrolan grup.

Aku membaca malas notifikasi yang tertera pada layar pecah itu. Hari ini, adalah hari yang dijanjikan si penyelenggara lomba—bertanding ulang denganku. Aku tidak habis pikir, apa alasan sebenarnya ia ingin melakukan itu. Entah darimana ia pernah melihat karyaku yang katanya adalah hasil colongan. Jelas saja aku sakit hati, tapi... tidak ada yang bisa kukatakan sebab saat ini aku sedang menjadi budak uang.

[Viona] : Hai, selamat malam, Bentala!

Seseorang dengan display name Viona menyapaku. Ia akan menjadi juri kami malam ini. Katanya, ia adalah salah satu orang kepercayaan Derai yang kompeten di bidang literasi. Melihat dari profilnya, aku sih yakin-yakin saja. Toh, kalau aku menang, aku akan dapat hadiahnya. Yah... walau harusnya aku tidak usah terlalu berharap. Nanti, apabila tidak sesuai ekspektasi, hanya akan menyakiti hatiku sendiri.

[bentalaa.] : Selamat malam...

[Viona] : Perkenalkan, Saya Viona, orang yang akan menjadi juri battle kalian kali ini. Sesuai permintaan penyelenggara lomba, Bentala akan bertanding dengannya untuk membuktikan kelayakan sebagai pemenang. Apa Bentala sudah siap?

Aku mengembuskan napas lega. Melihat dari ketikannya, sepertinya Viona adalah orang yang baik. Dengan kemampuan mengetik cepatku, segera aku balas saat itu juga.

[bentalaa.] : Sudah siap. Btw, panggil Tala aja, kak!

[Viona] : Haha, oke deh, Tala~

Ia membalas begitu cepat juga. Kurasa, ia stay di room chat kami sama sepertiku. Viona mengajakku berbincang hangat sebagai basa-basi. Kebetulan, di grup chat Line tersebut, baru hanya ada kami berdua. Entah, kemana orang yang bernama Derai itu. Kuharap, ia tiba-tiba ada urusan mendadak sehingga membatalkan duel tidak jelas ini lalu segera mentransfer uangnya padaku. Kumohon, Ya Tuhan! Bikin dia sakit perut atau apa, kek!

Derai bergabung dengan obrolan.

Dan, ya. Baru saja sedetik lalu aku berharap. Sepertinya, aku harus lebih menegaskan peraturan hidupku yang nomor satu—seorang Bentala, tidak boleh berharap dan percaya.

[Viona] : Hai, Derai! Selamat datang!

[Derai] : Hm.

Si Derai itu menjawab sangat dingin. Aku memilih tidak ikut nimbrung setelah itu. Aura hangat grup chat itu langsung menggelap saat kedatangannya. Meski belum pernah bertemu tatap sebelumnya, image-nya dimataku sudah jelek lebih dulu. Dari sosial media saja perangainya sudah seperti ini, bagaimana jika ia bertemu secara langsung denganku?

Cih, kupastikan peliharaan kecilnya di bawah sana tidak akan selamat dari tendanganku.

[Derai] : Halo, tukang jiplak!

Derai menandaiku. Aku yang membaca balloon chat itu sungguh malas menanggapi. Maka, kubiarkan saja ia tanpa respon. Untungnya, Viona segera menenggelamkan kata-katanya dengan alur penjelasan lomba.

[Viona] : Agar pertandingan ulang ini menjadi adil, Saya selaku juri atas persetujuan Derai akan membentuk bidang lomba yang lain daripada sebelumnya. Hal ini bertujuan agar kedua pihak tidak merasakan adanya kecurangan lagi. Kali ini, kita akan mengganti bentuk lomba dari cipta quotes menjadi cipta cerpen. Masih dengan tema seperti sebelumnya, namun kalian diminta untuk menjabarkan sebuah arti kehidupan dalam cerita pendek.

Aku menyeringai kecil. Wah, apa ini? si Derai memberikan jalan baru untukku?

Lihat selengkapnya