[Derai’s PoV]
Layar handphone itu menyala remang, dengan sang pengguna yang tidak berkedip. Siluet diriku dipantulkan cahaya, melatari suasana bisu yang menjebakku. Beberapa kali, alam bawah sadarku berteriak. Namun, reaksi tubuhku tidak dapat menujukkan sesuatu. Aku tidak bergeming, sengatan kejut itu cukup membuatku tak bisa mengungkapkan sepatah katapun.
Hari ini, malam ini, atas pertandingan yang kuinginkan sendiri—aku kalah.
“Tok ... tok ... tok!!!”
Kulayangkan ketukan keras pada pintu kayu kembar dengan penuh luapan emosi. Satu-dua detik berlalu, belum ada jawaban. Kembali kulakukan hal yang sama, mengetuk pintu sampai kepalan tanganku memerah. Tetap, tidak ada jawaban. Kemana pemilik rumah? Apa ia tega membiarkan degup jantungku penuh sesak, sebab semua emosi bercampur menjadi satu?
“Kenapa, Rai?”
Suara cempreng yang tak asing itu menyahut dari belakang, bertanya khawatir. Tiba-tiba saja ia menyembul. Berdiri tegap dengan kaki jenjangnya, mengenakan pakaian santai. Sebuah gembor penyiram tanaman dengan nuansa hijau tersampir di tangannya. Kebetulan, wanita yang baru saja menginjak kepala dua itu sangat menyukai planting disamping literasi. Dan ialah, orang yang kusebut-sebut sebagai orang yang kupercayai, menjadi penilai pertandingan literasiku bersama gadis bernama Bentala itu.
“Ini gimana bisa?!” sergahku cepat. Terdengar membentak. Mataku menyalang penuh amarah. Jika ini sebuah adegan di film, bisa jadi warna mataku sekarang sudah merah dengan efek api berkobar. Saat melihat kedatangannya, hasrat mendekat lalu menerkam tercipta. Perpindahan yang kubuat dengannya pun, berhasil mempersempit jarak kami. Buat ia beberapa kali mundur teratur karena aku semakin dekat.
Ia terdiam sejenak, kemudian tersenyum simpul. Sepertinya, ia mulai mengerti ranah pembicaraan yang kubawa. Mengingat aku buru-buru menghampirinya kemari setelah beberapa menit lalu ia mengumumkan hasil penilaiannya itu. Sudah pasti, aku akan protes karena hasil yang menurutku... tidak adil.
Viona memintaku tenang, sebab ia takkan mau menjelaskan apabila ada keributan. Aku menurut sebisaku, meski kata tenang enggan mampir dalam hatiku.
“Lo tahu, gue totalitas, Rai.”
Teko kecil yang mengeluarkan cairan kecokelatan bening segera memenuhi si cangkir sebagai wadahnya. Suara tenang yang mengalir dari sana, menjadi pengiring lolosnya suara Viona.
Aku masih terdiam. Meredam emosi, menunggu kata-kata selanjutnya.
“Perbedaan poin lo sama dia, beda tipis. Dari segi EYD atau PUEBI, kalian hampir sama unggul, tapi dari isi ... gue lebih suka punya Tala.”
Bagai terserang ngengat, telinga yang mendengar tuturnya segera menyampaikan pada kepala. Namun, hatiku yang sakit saat ia mengatakan hal itu, buat sekujur tubuhku bergetar, meremas ujung baju menahan geram.
“Apa istimewanya karya dia? Orang pelosok yang nggak terkenal, juga ....”Aku melayangkan protes.
Viona menghela napas panjang. Menyandarkan punggungnya pada sofa. Aku sangat mengenal gadis itu meski sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya. Kutahu, ia tidak memiliki sumbu kesabaran yang begitu panjang.
Alas kaki berbulu segera menapak, menampakkan sang pengguna yang bangkit dari posisi. Ia menggeliat panjang sejenak, memerintahkanku untuk menunggu sebentar. Ia masuk ke dalam kamar, lalu kembali dengan sebuah tablet gadget di tangan.
“Karyanya dikirim samaan bareng punya lo di grup chat. Emangnya ... lo nggak koreksi lawan sendiri?” tembak Viona, santai. Jemari lentiknya masih melakukan scrolling pada lautan chat yang masuk. Ia memang orang sibuk, sampai chat yang belum lewat hari inipun lama sekali untuk ia temukan.
“Gue percaya sama punya gue,” jawabku datar.
Viona menggeleng, “Dan sekarang, lo masih nanya kenapa lo bisa kalah?” Viona memutar bola matanya malas.
“Yaa ... gue masih ga percaya aja!” ucapku setengah berteriak. Aku sendiripun tidak tahu mengapa aku bisa seemosi itu. Mungkin, karena faktor ini adalah kekalahan pertamaku.
“Ya udah, ngapain lo pilih gue jadi juri kalau gitu!” Viona tak mau kalah, membalas suaraku satu oktaf lebih tinggi.
Aku tidak menjawab, memilih diam kemudian. Begitupun Viona. Aku tahu aku salah, tapi aku tidak mau mengalah. Lengang kemudian terjadi di antara kami, menyeimbangkan aliran darah agar emosi tidak lepas lagi.
“Padahal ... lo sendiri yang minta gue buat totalitas, Rai ...,” lirih Viona rendah. Mengakhiri sepi yang sempat terisi di antara kami.
Ia memberhentikan kegiatan scrolling-nya. Disodorkanlah tablet berlayar besar itu padaku, yang mana tertera karya Bentala di sana. Gadis itu kemudian menatapku, mengisyaratkan agar aku membacanya.
Enggan, memang. Namun, aku tidak akan tahu kenapa aku bisa kalah dari lawanku jika tidak melakukannya. Akupun menuruti Viona. Membaca tiap rangkaian kata yang disusun rapi oleh Bentala pada tiap paragraf cerpennya. Aku dapat menilai, keterbacaan cerpennya sudah pas, alur yang disusun baik, dengan plot sederhana yang mana ia menjabarkan quotes miliknya sebagai makna keseluruhan dari cerita.
“Sekarang, lo udah ngerti, kan?” Viona menyeletuk. Kebetulan, aku sudah sampai kalimat terakhir cerpen Bentala. Namun, aku tidak menjawab. Entah karena malu, atau memang mood bicaraku sudah hilang.
“Yang menarik dari sebuah cerita, adalah isi dan maknanya. Semakin menyentuh dan ngena, semakin berhargalah ia. Punya lo juga sudah bagus kok, Rai. Tapi ... konten di dalamnya terlalu mewah, dan lebih bersifat mustahil ada di dunia nyata. Kalau menurut gue sebagai juri, masalah hidup yang dialami MC di cerita lo, di kehidupan nyata nggak selalu bisa diterapkan kayak gitu buat nyelesein-nya. Di luar sana, masih banyak orang yang hidup nggak beruntung sampai bahkan ada yang mengakhiri hidupnya karena itu.” Viona menjeda, menarik napas tak beraturannya. Baru pertama kali, ia berani menasihati kawannya yang terkenal tidak pernah kalah itu. Yang mana hari ini, adalah kekalahan pertama bagi pemuda itu.
“Kadang, nggak cukup hanya dengan merumuskan suatu masalah lalu menyelesaikannya sesuai aturan yang berlaku seperti yang lo bilang. Hidup nggak selalu segampang itu, Rai. Sehingga ... amanat dari cerita lo, masih kalah sama punya Bentala yang lebih realistis.”
Penjelasan Viona yang panjang lebar itu semakin mengunci mulutku. Seolah melontarkan mantra sihir tingkat tinggi yang buat diriku tidak bisa mengucapkan satupun kata untuk dapat membantahnya. Rasanya ... seperti orang bodoh yang sedang menyalahkan orang lain karena tidak terima akan kebodohan yang ia lakukan.
Melihatku hanya terdiam, Viona memasang raut menyesal. Lantas, ia mendekatkan diri padaku, mengelus lembut punggungku. “Rai ... lo mungkin emang nggak pernah kalah, sampai mikir hal itu bakal berlangsung selamanya. Tapi, pandangan lo sama sesuatu, masih terlalu sempit.”
Aku melirik sinis padanya. Mengisyaratkan ingin berkata, ‘Apa sih, yang lo mau bilang?’
“Yaa ... lo nggak duga, kan. Orang pelosok yang nggak terkenal aja bisa lebih baik daripada lo. Gue bilang begini bukan berarti gue nggak suka sama lo, tapi ... memang itulah kenyataan yang ada—di atas langit, masih ada langit. Roda hidup itu misteri, nggak ada yang tahu sampai kapan lo ada di atas, dan kapan pertahanan lo bergoyah lalu jatuh ke bawah. Sama kayak apa yang dijabarin Tala di cerpennya.”
Tatapan malas lantas menjadi responku. Rupanya, ia masih tidak berkeinginan untuk membelaku sedikit saja. Kukepalkan tangan masih mencoba menahan amarah. Seandainya dia tidak perempuan, mungkin sudah habis ia sekarang. Tapi, aku terus menahan-nahan. Dia juga lebih tua dariku.
“Mengalahlah. Ini yang mau lo cari kan? Bagaimana rasa kekalahan. Saatnya lo buat timbal balik sekarang. Kasih ke Tala apa yang udah lo janjiin ke dia. Lo sendiri udah dapat pelajarannya, kan?”
***
Hari-hari berlalu. Terhitung sekarang, sudah terpaut satu minggu. Aku melewatinya dengan perasaan kelabu. Semenjak hari itu, aku memutuskan untuk menjauhi Viona. Bukan karena aku membencinya. Lebih kepada ... aku yang masih tidak terima.
Peron-peron kota seperti biasa ramai. Menunggu datangnya jadwal kendaraan umum untuk dapat bepergian memulai aktivitas. Apalagi, hari ini adalah hari Senin. Di mana hari kerja sedang sibuk-sibuknya setelah akhir pekan dilalui. Suasana metropolitan sudah lebih dahulu hidup, lebih cepat dari munculnya sang mentari. Suhu dan posisinya yang naik perlahan sebagai akibat dari rotasi, membuat suasana semakin hidup sampai nantinya ia tenggelam ditelan malam.
Orang-orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bekerja untuk dunia, demi memenuhi kelangsungan hidup agar lebih lama. Semua itu berlaku di segala bidang. Baik di pabrik-pabrik, bangunan-bangunan besar perusahaan, lembaga-lembaga negara, dan insitut pendidikan sekalipun.
Saat ini pula, pada salah satu sekolah ternama di daerah Bandung.
Seusai upacara bendera dilaksanakan, para siswa dan siswi berhamburan masuk kelas saat suara denging bel sekolah memenuhi tempat itu. Tidak kurang dari tigapuluh menit, lapangan sekolah yang tadinya penuh sekarang seperti tak berpenghuni. Hanya daun-daunan pepohonan yang melambai ditiup angin, dan sahut-menyahut para guru bersama siswanya yang sedang memulai kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.
Termasuk kelasku, XII IPA II. Kelas yang terletak paling strategis di sekolahku itu adalah gudangnya para bibit unggul. Sebagian besar, murid-murid yang termasuk dalam kategori primadona sekolah ada di sini. Tak hanya itu, sebagian dari merekapun adalah pencetak prestasi. Walau lebih banyak yang menguasai bidang non-akademik daripada akademik. Aku, salah satu yang termasuk ke dalamnya. Atau mungkin, akulah yang paling diunggulkan di sini. Yah, meskipun keberadaan anak-anak yang ‘kurang’ tetap saja masih ada. Bagus untuk keseimbangan kelas, kata mereka.
“Baik anak-anak, kita akan memulai pembelajaran bab baru mulai hari ini dengan judul ‘Elektromagnetik.’ Sebelum masuk, kira-kira ada yang bisa menjelaskan pada Ibu dan teman-teman kalian, apa itu elektromagnetik? Barangkali, ada dari kalian yang sudah belajar lebih dahulu ...,” pancing wanita setengah baya yang tengah berdiri di depan kelasku. Ia adalah Bu Ikha, guru pelajaran Fisika sekaligus wali kelas kami.
Suasana masih hening. Aku yang saat itu sibuk menatap keluar jendela diiringi kegiatan spin pen yang biasa kulakukan jika aku sedang banyak pikiran, tidak terlalu mendengarkan. Sampai akhirnya, seorang anak mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan.
Bu Ikha mempersilakannya maju ke depan. Ia memasang senyum bangganya sampai membuat kacamata kotak besar itu merosot ke hidungnya. Aku memperhatikannya dengan malas. Jelas, aku mengetahui dirinya meski tidak dekat dengannya. Ia bernama Eza, kujuluki ia sebagai Si Nomor Dua. Jika kau penasaran kenapa, yaa... dia memang selalu ingin menyaingiku di kelas khusunya pada segi akademik. Namun, kau sudah tahu sendiri, aku selalu bisa lebih unggul darinya. Dan posisinya, akan tetap sebagai nomor dua.
“Elektromagnetik itu gelombang yang ...”
Alisku bertaut. Menggarisbawahi kata ‘gelombang’ yang ia sebutkan, tiba-tiba melintasi indra pendengaranku. Sebelum ia menjelaskan lebih lanjut, entah apa yang aku pikirkan... langsung saja aku mengacungkan tangan.
“Gelombang? Jelas-jelas elektromagnetik itu memiliki sifat dualisme di mana ia bisa menjadi gelombang, dan bisa pula menjadi partikel. Ia bisa melewati ruang hampa dengan cara radiasi seperti sifat gelombang, dan bisa pula membawa energi layaknya partikel. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh Einstein dalam percobaan fotolistriknya.”
Tiap pasang mata di kelas menatapku. Penjelasan yang lolos bak kereta api itu berhasil mencuri perhatian. Tidak ada suara bahkan setelah aku selesai menjelaskan. Kemudian, suara tepuk tangan Bu Ikha mengambil alih suasana.
“Penjelasan yang bagus, Derai. Kenapa kamu tidak angkat tangan tadi?” tanyanya, mungkin hanya sekadar basa-basi. Kening yang penuh lipatan itu masih terlihat meski ia tersenyum. Membuatku mengalihkan pandangan darinya.
“Ah, untuk Eza ... kamu boleh kembali ke tempat duduk,” perintah wanita itu. Aku menyeringai samar, bisa kubayangkan kebencian dan iri hatinya padaku semakin menumpuk berpuluh kali lipat. Terbukti dari tatapan sinisnya padaku saat ia berjalan kembali menuju bangku. Padahal, ia sudah sering kukalahkan sebelumnya. Namun, entah mengapa kali ini aku benar-benar merasa beda. Aku sangat puas melakukannya.
Penjelasan materi kemudian berlanjut setelah itu. Semua materi kelas dua belas sudah kukuasai semua, dan materi itu juga sudah terlewat jauh sehingga aku tidak perlu lagi mendengarkan. Aku memilih sibuk tidur dengan melipat kedua tanganku di atas meja. Kebetulan, aku duduk di bangku paling belakang paling pojok yang mana merupakan titik buta guru—jarang diperhatikan keberadaannya. Meski aku tetap bersinar, sebenarnya.
“Nah, sekarang kita masuk ke contoh soal. Bagi yang tidak memperhatikan, siap-siaplah untuk menjawab.” Wanita berkacamata itu mulai menorehkan tinta hitam spidol ke putih papan tulis. Semua murid terlihat memperhatikan, namun, tentu saja ada yang tidak. Aku juga termasuk minoritas itu. Kupikir, akulah yang akan ditunjuk untuk menjawab, tapi...
“Halim, coba maju ke depan dan jawab soal ini!” Senyuman misteri Bu Ikha menghiasi wajahnya yang sudah mulai keriput. Aku perlahan terbangun dari lelap, mengerjapkan mata mulai memperhatikan. Ternyata, aku memang tidak terlihat. Padahal sebelumnya, aku yakin, guru yang termasuk dalam kategori mata elang itu tidak mungkin tidak melihatku. Tapi, siapa di sini yang tidak akan memaklumi Si Hebat Derai?
“Errr ...,” erang pemuda yang disebut Halim itu. Ia adalah anak terbelakang di kelasku. Ia tidak punya teman, dan susah mengejar ketertinggalan. Orang bilang, ia pasti salah jurusan sampai harus nyasar di sini. Yah, kasihan juga melihatnya, aku kadang mau berbaik hati membantu mengajarinya.
“Ayo, cepat. Daritadi Ibu lihat kamu melamun terus!” Bu Ikha menatapnya tajam.
“T-tapi Bu ... tadi saya lihat Derai juga tid—”
“Halim!” Wanita itu menyerukan namanya, “maju.”
Aku menatap pemuda itu sinis. Ia cepat-cepat membuka buku pelajaran dengan panik. Bisa-bisanya ia menyebutkan namaku. Aku juga memang tidak memperhatikan, tapi maaf saja, aku tidak akan panik seperti dia walau disuruh maju.
Gelombang elektromagnetik memiliki kelajuan 3 x 10 ^ 8 m/s. Jika gelombang tersebut memiliki panjang gelombang 10 nm, tentukan frekuensi gelombang itu!
Tubuh kurus Halim gemetaran melihat soal yang terbilang mudah itu. Ia menoleh kesana-kemari, mencoba mencari bantuan. Namun, tatapan elang Bu Ikha masih mengawasi gerak-geriknya. Buat peluhnya menetes tanpa bisa berpaling dari soal yang menyeramkan baginya itu.
E = h.c / λ
Aku memicingkan mata melihat rumus yang tercetak di depan. Huruf-huruf yang ditulis gemetaran itu masih dapat dibaca jelas, namun memang berantakan. Aku menatap datar, apa dia sebegitu tidak memperhatikan materi yang baru saja dijelaskan? Yang ditanyai frekuensi, yang dijabarkan malah rumus umum.
Ia masih meneruskan kegiatannya. Ada yang serius memperhatikan, ada yang cekikikan sendirian, dan ada pula yang mengerutkan alis. Aku termasuk golongan yang ketiga. Mataku sakit melihatnya. Wanita di depan hanya memperhatikan saja. Apa ia sengaja mau mempermalukan anak itu lebih jauh?
“Bukan begitu cara mengerjakannya!!!”
Sial. Aku tidak tahan lagi. Membuatku berhasil mencuri perhatian. Segala kegiatan dalam ruangan itu terhenti saat aku bangkit dari kursi. Semua orang menatapku, barangkali bertanya-tanya dalam hati, ada apa denganku hari ini. Tapi, berhubung sudah sampai di titik ini...
“Lo nggak bisa baca soal? Yang begini aja nggak bisa jawab?!” bentakku. Aku maju ke depan tanpa diperintah. Mencuri perhatian semua orang.
“H-hanya ini yang ada di buku ...” jawab pemuda kurus di sana dengan tubuh bergetar. Menatapku takut-takut.
“Terus? Dengan itu lo mau bikin alasan nggak perhatiin guru makanya nggak tahu?!” hardikku sembari menatapnya tajam.
“Kamu sendiri ... tadi juga tidur, tapi ... juga sok tahu begini ...”
“Seenggaknya, gue beda jauh dari lo!! Soal ini sekali lihat juga langsung kelihatan sendiri jawabannya!!”
Perseteruan itu berlanjut. Aku tanpa takut melayangkan protes tak beralasan, sampai membuat pemuda itu terpojok. Akupun tidak mengerti, saat ini emosiku susah sekali terkendali. Padahal, aku hanya tidak terima jawaban salah yang dituliskannya. Entah mengapa, aku menjadi berlebihan begini. Tidak ada yang mencegah atau menentangku melakukan ini. Mereka yang di belakang, seolah menjadi penikmat bisu. Menganggap kejadian saat ini sebagai tontonan penghibur.
Menanggapi hal yang sedang terjadi, Bu Ikha tidak bisa terus tinggal diam. Wanita berseragam pengajar itu geleng-geleng kepala, “Derai, Ibu tidak memintamu maju. Tapi, tolong berikan kesempatan pada temanmu yang belum bisa ...”
“Anda tidak memberikannya kesempatan. Anda mau mempermalukannya karena ia tidak bisa. Anda sadar, mereka semua mentertawakan dia di belakang. Tapi, Anda membiarkannya!”
Suasana berubah semakin tegang. Bisik-bisik mulai terdengar. Aku tahu, aku terkesan tidak sopan. Menyela kata-kata guru seperti tadi sudah pasti tidak akan baik untuk nilai sikapku. Tapi, mau bagaimana lagi, aku sudah tidak tahan dengan semua ini.
“Rai, dia kan masih belajar. Lo biasa aja, dong!”
Di tengah-tengah ketegangan itu, sebuah suara tiba-tiba menyahut dari belakangku. Ia duduk di barisan depan, sehingga dapat kuraih dengan mudah. Aku yang sedang naik pitam, tanpa ragu menghampirinya. Rahangku mengeras menatapnya tajam, membuatnya terlihat kecil di mataku.
“Gimana? Gue nggak tahu caranya jadi biasa.” Kulontarkan tatapan membunuhku yang sudah bersiap menerkamnya.
“Semua orang punya waktunya sendiri dalam hal pemahaman. Lo sendiri, emang bisa kerjain soal di depan?” tantangnya padaku. Tidak berkedip sekalipun ketika menatapku.
Aku menyeringai lebar. Kutatap mata itu intens. Ada setitik dendam membara di dalam sana. Yang satu ini, aku suka matanya. Aku segera balik badan, melangkah cepat menghampiri Halim yang masih berdiri gemetaran di sana. Tanpa menunggu lama, kusabet kasar spidol hitam di tangannya.
v = 3 x 10 ^ 8 m/s
λ =10 nm = 10 x 10 ^ -9