Tanah masih basah oleh sisa hujan yang belum sepenuhnya terserap bumi. Langit yang baru saja terbebas dari gumpalan awan hitam terlihat indah berhiaskan taburan gemintang. Irvan berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah lahan terbuka. Lapangan luas berumput dengan beberapa pohon besar di kiri kanan tak terlihat gelap karena mendapat penerangan dari cahaya bulan purnama.
Pemuda tampan berambut ikal itu menghentikan langkah, menatap lurus ke rumah besar di hadapannya. Netranya menyapu setiap jendela dan berhenti di satu titik. Dari tempat ia berdiri terlihat jendela kamar yang terletak di lantai dua. Tirai di kedua sisi yang setengah terbuka memberi pandangan samar ke dalam ruang. Cukup lama Irvan menahan pandangan ke arah itu. Hatinya tidak lagi berdebar-debar. Mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran dia, pikirnya.
Menghela nafas panjang, kembali putra pemilik perkebunan itu melangkah pelan, tanpa semangat. Ia menaiki tangga beranda tanpa suara. Mang Dayat, pengurus rumah dan perkebunan terlihat lelap di bangku jati panjang. Tak ingin Irvan membangunkannya, sudah lewat dari jam sembilan malam saat itu, memang waktu yang terbaik untuk lelap dalam mimpi. Udara dingin di kaki gunung membuat jam tidur di desa lebih cepat dibandingkan di kota-kota besar.
Sepi rumah enggak ada Papa, Mama, batinnya berkata. Seketika ia merasa sangat rindu pada kedua orangtuanya dan juga pada Nara, adik semata wayang. Sudah tiga tahun mereka berpisah karena keluarganya tinggal di Malaysia mengikuti sang ayah yang ditugaskan di sana.
Irvan masih berkeliling di lantai bawah selama beberapa saat, melihat-lihat keadaan rumah, mengecek satu persatu pintu, dan memeriksa dapur. Kebiasaan itu selalu ia lakukan sejak dulu walau tahu bahwa Mang Dayat dan Bi Neni sangat teliti dalam mengurus dan menjaga keamanan rumah.
“Hmm ....” Irvan bergumam, lalu berjalan menuju tangga. Kaki kanannya baru menginjak anak tangga pertama, tetapi kemudian keraguan membuatnya urung melangkah.
Selama dua minggu belakangan, ia merasa tak tenang di rumahnya sendiri. Setiap malam selalu saja ada tamu tak diundang mengganggunya, sosok berkulit putih dengan rambut hitam panjang sebahu yang rajin menampakkan diri. Entah apa maksud kehadiran perempuan berwajah pucat itu.
Terkadang Irvan melihatnya di ruang bawah, kadang di kamar tamu, di ruang TV, atau di teras. Tetapi, kamar tidur miliknya di lantai dua menjadi tempat favorit pilihan sang pengunjung dari dunia lain itu. Sejak itu Irvan memilih untuk banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Ia baru pulang menjelang waktu tidur atau jika sudah terlalu lelah. Tak seperti kedua orangtuanya, bujangan tampan itu memang bukan orang yang rajin beribadah. Namun, ia percaya akan adanya mahluk gaib, seperti juga ia percaya akan kematian, dan kehidupan setelahnya.
Menghempaskan tubuh ke bangku jati yang diberi bantal dudukan cukup tebal, Irvan memutuskan untuk membuat matanya lelah dengan menonton acara televisi di ruang keluarga. Rupanya ada masalah dengan remote control sehingga tidak berfungsi.
“Baterenya habis nih,” ucapnya lebih seperti menggerutu. Terakhir kali ia mengecek, entah kapan, sudah tidak ada stok di laci.