Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #3

Manajer Sang Model

Di depan lobi hotel bintang lima, sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti. Pintu kiri depan dibuka dari dalam. Seorang gadis tinggi langsing keluar dan melempar senyuman ramah pada petugas hotel yang mendekat dan kemudian membantunya menutup pintu. Harum parfum mahal membelai indra penciuman pria berpakaian hitam-hitam itu. 

Langkah anggun dari kaki jenjang gadis berambut panjang dengan kecantikan sempurna itu menyita perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya. Dari postur tubuh, gaya berjalan, serta penampilannya yang modis, siapa pun akan menebak bahwa ia seorang model. Ringan kakinya melangkah menuju lift yang kebetulan langsung terbuka dan membawanya ke lantai mezzanine.

“Hai, Cantiiik!” Di depan pintu ballroom, sapaan ramah dari seorang pria muda tampan berwajah indomenghentikan langkahnya. Saling menempelkan pipi kiri dan kanan, bibir keduanya mengeluarkan bunyi seperti orang yang tengah memberi kecupan. 

“Mepet banget elo datengnya. Dicariin tuh sama, Vera. Panik deitse kalo enggak ada temen sebelahannya,” ucap model pria berwajah baby face yang belum genap 20 tahun itu. 

“Oke deh, gue masuk dulu ya, Toms!” pamit Intan. 

Setengah berlari ia menuju area rias di balik panggung. Langsung saja kehadirannya disambut oleh panitia acara Jakarta Charity Fashion Show. Setengah pasrah, gadis bertinggi 176 cm itu membiarkan dirinya ditarik ke bangku. Seorang perias dan seorang penata rambut langsung menjalankan tugas, sementara sang model duduk dengan tenang sambil mengirim sebuah pesan WA di ponselnya; Kak, aku udah di back stage ya. 

Satu setengah jam kemudian, model berusia 21 tahun itu telah berada di atas catwalk, terlihat anggun dan cantik. Langkahnya panjang dan ringan mengikuti irama musik, gaun dengan warna gading bertaburan butiran kristal membalut erat tubuhnya yang tinggi langsing. Di ujung catwalk Intan berhenti, berputar 45 derajat, kemudian berpose anggun dengan kaki kanan menyilang ke depan. Senyum tipisnya sangat menghipnotis. Di ujung panggung putri bungsu pasangan Pak Sonny dan Ibu Katrina itu terlihat bagaikan bidadari yang turun ke bumi. 

Tiga set pakaian karya perancang muda yang baru saja memenangkan lomba tingkat nasional diperagakannya dengan sukses. Bertubi-tubi pujian diberikan kepada Intan yang malam itu berhasil mencuri perhatian di antara belasan model yang ikut terlibat. 

“Baju! Baju! Sherly, Vera, mana antingnya? Ayo!” Teriakan PIC wardrobe yang menangani pakaian para model terdengar nyaring. Intan yang telah mengenakan pakaian miliknya sendiri terlihat tertawa melihat temannya hampir terjatuh karena berjalan sambil melepaskan gaun panjang milik sang perancang. 

“Puas ketawa, Nek?” protes Vera yang berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dengan berpegangan kepada Intan. 

“Nah gitu, diri dulu yang bener, terus lepas bajunya, baru jalan!” 

“Masa iya, gue jalan enggak pake baju?” 

“Hahaha, ya pake dulu baju gantinya dooong, Cinta.” Intan kembali tertawa, di sebelahnya seorang gadis bertubuh mungil yang baru saja bergabung ikut tersenyum sambil mengulurkan sepasang anting.

“Jam tangan tadi ditaruh di mana, De?” tanya gadis yang bernama Indi itu sambil memperhatikan sang adik yang tengah mengenakan anting berlian kecil di telinga kanan. 

“Di mana ya? Duh tadi aku taro di meja, Kak,” jawab Intan. “Semoga enggak ilang. Ngambek nanti Mas Irvan.”

Sang kakak tak menjawab. Ia langsung mencari benda tersebut di dalam tas adiknya, kemudian di tas make up, dan tas kain tempat menyimpan baju bekas pakai. Tak menemukan yang dicari, gadis 24 tahun itu berjongkok. Tangannya menjulur ke kolong meja mengambil jam tangan silver dan memberikannya kepada Intan yang tengah berbicara dengan salah satu panitia. 

Satu lirikan tak ramah dari perempuan berambut pirang yang memakai name tag panitia membuat Indi membuang muka. Orang yang sama bersikap sangat menyebalkan tadi, sebelum acara dimulai. 

“Kamu mau makan di mana, Kak?” tanya Intan saat sudah berada di dalam mobil. Indi menyebutkan nama sebuah restoran steak kesukaan adiknya tanpa menoleh, pandangannya fokus ke jalan, dua tangannya menggerakkan kemudi. 

Lihat selengkapnya