Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #4

Tamu Tak Diundang

Mungkin sudah beberapa menit berlalu dari pukul 23.00, Irvan tak tahu pasti. Ia tiba satu jam yang lalu, masuk ke dalam rumah hanya untuk melakukan rutinitas mengecek semua ruangan di lantai bawah. Seperti biasa, kembali ia merasa ragu untuk naik ke lantai dua. Lalu, seperti hari-hari sebelumnya, bujangan 29 tahun itu memilih untuk duduk di beranda depan rumah.  Di situ ia banyak menghabiskan waktu di malam hari mengingat-ingat perjalanan hidupnya dengan segala kenangan pahit dan manis, membayangkan orang-orang yang membuatnya rindu.

Beranda rumah dengan halaman luas dan asri selalu menjadi pojok favoritnya untuk merenung di pagi, sore atau malam hari, terutama sejak Irvan memutuskan berhenti dari bank swasta tempatnya bekerja selama enam tahun. Sebuah keputusan nekad yang banyak dipertanyakan oleh kerabat, sahabat, bahkan ibunya sendiri. Hanya Pak Andy Yusuf yang mendukung tanpa mempertanyakan alasan di balik keputusan itu. Bagi pria yang sangat pendiam itu, apa pun keputusan kedua buah hatinya akan selalu mendapat restunya, sepanjang itu membuat putra-putrinya bahagia.  

Tak seperti yang banyak orang sangka, keputusan itu Irvan ambil bukan tanpa pertimbangan matang. Pertentangan antara batin dan akal sehat berlangsung cukup lama, diskusi panjang dengan sahabat terdekat juga dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya ia mantap mengajukan surat pengunduran diri. Pemuda yang berjiwa halus itu cukup terkejut merasakan hatinya merasa lega. Beban yang ia biarkan terlalu lama di hati, lenyap begitu saja. 

Ia masih ingat saat keluar dari kantor, langkahnya terasa ringan menuju area parkir. Tak sedikit pun ada rasa cemas akan masa depannya. Terlalu lama ia menjalani hidup yang tak sesuai keinginan hati.  Baginya menanggalkan status pegawai eight to five adalah kemenangan yang perlu dirayakan. Ia menanggalkan seragam perusahaan berwarna biru tua yang dibencinya dengan senang hati. Tak sabar dirinya untuk membagi kebahagiaan itu. Tentu saja nama pertama yang terlintas adalah nama seorang gadis yang telah berhasil membuka mata hatinya, Seorang gadis yang berhasil menanamkan keyakinan dalam diri Irvan untuk berani mengikuti kata hati. 

“Hai, gimana?” Pertanyaan bernada tenang meluncur dari seberang telepon. 

“Sudah. Ini baru keluar dari ruang Boss.”

“Dan?” 

“Seperti yang kamu bilang, lega.” 

See? Told you. Itu keputusan yang tepat.” Kalimat itu membuat Irvan tersenyum, kemudian ia berkata tulus, “Thanks, Ndi.”

“Rasanya aku siap untuk apa pun besok, lusa, dan ke depannya lagi,” kata Irvan lagi. 

“Aku senang kamu merasa begitu. Aku yakin kamu akan sukses dengan menjalani pilihan hati,” ucap gadis di seberang telepon dengan lembut. 

Lihat selengkapnya