Indi masih terlihat serius menelepon sambil bersandar ke dinding. Dari dalam ruangan terdengar teriakan lantang cameraman, “It’s a wrap! Good job, all!”
Suara tepukan tangan dan sorakan gembira terdengar kemudian. Itu pertanda shooting telah selesai. Sudah sejak pukul 05.00 pagi, gadis berkulit putih itu menemani adiknya yang mendapatkan pekerjaan sebagai bintang iklan sebuah produk vitamin E bersama dua orang model lainnya.
“Udah selesai nih,” ucap Indi pada seseorang di seberang telepon. Entah apa ucapan lawan bicaranya yang membuat bibir gadis itu tersenyum tipis.
“Enggak, tenang aja. Aku ‘kan anak seni,” ucapnya tenang. “Iya, iya. Sudah jangan pusing, serahin ke aku. Kamu terima beres aja.”
Pintu yang hanya berjarak satu meter dari tempat Indi berdiri terbuka, dua orang berjalan sambil berbicara. Kemudian sepasang model cantik dan tampan melangkah keluar dari ruangan tempat shooting. Keduanya saling menempelkan pipi dan mengucapkan kata bye.
“Udahan dulu ya. Aku harus pergi,” ucap Indi, dimatikannya sambungan telepon dan mendongak. Intan sudah berdiri di sampingnya.
“Siapa sih yang nelepon sampai harus ninggalin aku shooting?” Pertanyaan sang adik bernada protes. Itu shooting iklan pertama yang ia dapatkan dan merupakan hasil perjuangan sang kakak, namun Indi malah berlama-lama menerima telepon di luar ruangan.
“Iya, maaf. Ini juga penting soalnya.”
“Yang lebih penting dari pekerjaan memang apa? Ini iklan pertama kita loh, Kak!” protes Intan lagi.
“Iklan pertama kamu, bukan kita. Dan bukan jadi yang terakhir,” ucap Indi tegas.
“Sebel ih!”
“Maaf ya, Boss. Enggak lagi-lagi deh aku terima telepon kalau Boss lagi shooting.”
“Bukan itu maksudku. Aku kan pengen shooting iklan pertamaku dilihat sama Kakak. Aku pengen Kak Indi bangga sama aku. Eh ternyata ada yang lebih penting dari aku. Siapa sih?”
Indi tertawa melihat adiknya bersungut-sungut. Ditariknya tangan Intan, mengajaknya melangkah keluar dari gedung perkantoran itu.
“Cowok ya? Awas kalau itu Andre! Aku enggak rela!” Intan masih kesal walau rasa itu mulai berganti dengan menjadi penasaran. Sang kakak hanya senyum-senyum.
“Siapa, Kak? Semoga cowok baru, ganteng, baik, setia, kaya,” ucapnya sambil mengiringi langkah Indi.
“Hahaha, panjang amat itu daftar persyaratan.”
“Ya harus dong. Cuma cowok yang punya lima kriteria itu yang cocok untuk seorang Indi.”
“Terima kasih, De.” Indi menguncupkan lima jarinya dan menempelkannya pada pipi mulus sang adik sebagai ganti kecupan.
Begitulah Intan, sang model yang ia manajeri, selalu bersikap manja, sangat bergantung, namun juga sangat perhatian kepadanya. Bahkan orangtua mereka berdua berkata putri kedua mereka itu hanya mau patuh dan mendengar saran-saran dari Indi. Terkadang sang putri sulung membela diri dengan mengatakan bahwa itu karena statusnya sebagai manajer.
“Intan! Wait!” Panggilan nyaring menghentikan langkah kakak beradik itu. Seorang wanita berambut pirang dengan tampilan sangat modis berjalan bak seorang model di catwalk, menghampiri mereka.
“Haiii, Mbak Inge! Cantik bangeeet sih, Mbak,” sambut Intan, kedua tangannya terbuka lebar menyambut sosok yang mengenakan barang-barang merek ternama di tubuhnya. Harum parfum sudah membelai penciuman orang-orang di sekitarnya bahkan dari jarak dua meter.
“You yang cantik, Sayang,” ucap Inge sambil balas memeluk Intan. “Bobby laporan ke gue. You keren tadi, paling stands out!”
“Wah, terima kasih, Mbak. Aku nervous dari minggu lalu. Ini kan shooting pertamaku, Mbak.”