Dalam perjalanan pulang, berkali-kali Intan memeluk dan mencium pipi Indi dengan penuh kasih sayang. Rasanya hujan ucapan terima kasih tidak cukup untuk membalas kebaikan sang kakak tercinta.
“Ya, ampun, De. Lagi nyetir nih! Udah selusin kali terima kasihnya, udah cukup,” protes Indi kepada adiknya terlihat ceria.
“Biariiin! Sampai Kakak bosan,” jawab Intan sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak yang tengah mengemudi. “Jadi di tempat shooting tadi, Kak Indi teleponan sama Mas Irvan ya?”
“Want to know aja kamu.” Jawaban itu membuat sang adik gemas. Saat Intan mengulurkan tangan untuk mencubit pipinya, Indi yang bertubuh mungil itu tidak mengelak.
“Pantesan, Kakak tadi kelihatan gelisah banget. Ternyata karena kita ditunggu keluarga Mas Irvan toooh.”
“Mulur banget sih shootingnya," protes Indi, "Aku telepon Mama tadi supaya makan duluan. Kasian kalau mereka harus nunggu kita.”
"Aku tadi terlalu bahagia untuk makan, Kak. Sekarang aku malah lapar. Café yuk, Kak, pliiiiss ...” pinta Intan memohon.
“Kamu enggak cape?” tanya Indi. Gadis itu cepat-cepat berpindah jalur setelah adiknya menjawab tidak.
Ternyata bukan hanya Intan yang merasa lapar, Indi pun menyantap tandas smoke beef sandwich dan kentang goreng di piringnya. Di acara keluarga tadi, ia hanya memakan tiga potong Hakau. Belakangan gadis berusia 27 tahun itu memang kehilangan nafsu makan, mungkin sudah sekitar sepuluh hari, tepatnya seminggu sebelum ulang tahun Intan.
“Kak, mikirin apa sih?”
“Mikirin apa? Enggak mikirin apa-apa.”
“Kok banyak diem?”
“Kan lagi makan. Lagi pula yang biasanya cerewet ‘kan kamu,” jawab Indi.
“Kak, Mas Hari kirim salam lagi loh. Aku boleh enggak ngasih nomor Kakak?”
“Kasih salam balik aja, nomorku jangan.”
“Kenapa sih? Jangan bilang karena Bang Andre!” Menyebut nama itu saja sudah membuat Intan merasa dongkol. Mantan Indi itu telah berkali-kali selingkuh, namun selalu saja mendapat kesempatan untuk kembali. Kebaikan dan ketulusan cinta Indi rasanya terlalu berharga untuk disandingkan jejak tebar pesona mantannya.
Kesalahan yang sama terulang lagi dan lagi sehingga Intan kehilangan kesabaran dan melabrak Andre. Keputusan emosional itu membuat Indi memarahi sang adik. Untuk pertama kalinya kakak beradik yang selalu kompak itu bertengkar hebat. Mereka baru saling berbaikan setelah orangtua mereka turun tangan. Sejak itu Intan berusaha menahan diri dan memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan percintaan kakaknya walau tak bisa dihindari ia masih sangat membenci Andre. Terlebih setelah beberapa bulan belakangan, mantan kakaknya itu mulai gencar melakukan pendekatan lagi dan mulai pergi bersama.
“Kak, telepon bunyi, kok enggak diangkat?” tanya Intan.
“Males.”
“Bang Andre?” Indi tak menjawab, namun Intan yakin kecurigaannya benar. Apalagi kembali ponsel kakaknya berdering sebanyak tiga kali dan tetap dibiarkan tak terjawab. Indi malah menekan tombol off.
“Kak, aku boleh tanya sesuatu?” Indi hanya mengangguk.
“Apa menurut Kakak ini waktu yang tepat buat aku sama Kak Irvan? Tadi Kakak dengar ‘kan, mereka ingin pertengahan Februari tahun depan resepsinya. Tiga bulan lagi itu, Kak.”
“Bukannya kamu yang bilang siap nikah muda? Kenapa jadi ragu?”
“Aku minta pendapat Kakak. Kalau menurut Kakak sebaiknya ditunda, mungkin aku tunda aja.”
“Calon kamu ‘kan juga maunya Februari,” ucap Indi.
“Aku butuh saran, Kakak. Plisss, Kak.” Intan menatap penuh harap. “Kalau Kak Indi bilang baiknya diundur, ya aku undur. Aku yakin Mas Irvan ngerti.”
Intan berusaha untuk tidak menyebut kata-kata melangkahi dalam percakapan tentang rencana pernikahannya. Gadis itu tidak pernah berniat mendahului sang kakak. Namun, ternyata takdir berkata lain, ia yang lebih dahulu dilamar. Walau hal itu sangat wajar mengingat hubungannya dengan Irvan sudah sangat erat walau baru berjalan enam bulan. Sejak awal Irvan bilang tidak ingin main-main, ia tidak ingin buang-buang waktu dengan berpacaran lama-lama. Pemuda berpembawaan tenang itu dengan cepat bisa merebut simpati kedua orangtua Intan, begitu pun sebaliknya. Intan yang ramah sudah sangat diterima oleh calon mertuanya.
“Pernikahan itu hak istimewa yang akan ngejalanin, De. Keputusan harus sepenuhnya keluar dari kalian berdua. Kalau kamu yakin ini waktu yang terbaik, enggak ada alasan menunda,” jawab Indi diplomatis.
“Aku butuh restu, Kakak,” ucap Intan menatap sang kakak penuh harap.
“Ngaco kamu, De. Restu itu dari Mama Papa.”
“Duuuh, Kak Indiiii. Suka gitu deh. Kakak tahu pasti yang aku maksud!”
Melihat adiknya cemberut, Indi tersenyum tipis. Kemudian ia berkata, “Kalau kamu mikirin status jombloku, enggak perlu! Jangan dipikirin.”
Indi melirik Intan. Ia tahu dari sorot mata itu, adiknya masih menunggu penjelasan lain.