Sudah tiga bulan tujuh belas hari berlalu dari pertemuan menyakitkan bagi Luna. Hari-hari setelah malam itu, ia lalui dengan membawa luka hati yang dalam. Bahkan pedihnya masih terasa setiap gadis 22 tahun itu mengingat, melihat, atau mendengar tentang apa pun yang membawanya kembali terkenang pada sosok yang ia cinta sekaligus benci. Yang membuat semakin berat, hampir semua hal mengingatkannya pada masa indah saat mereka masih bersama. Tujuh tahun memang bukan masa yang singkat dalam hubungan cinta.
Malam itu, Rafi, sang mantan, tiba-tiba saja datang, tanpa pemberitahuan. Luna yang tengah memindah-mindahkan channel TV kabel, tak bisa menghindar. Rupanya pintu depan tidak terkunci sehingga tidak terdengar ketukan atau bel pintu. Pertemuan dibuka dengan basa-basi singkat dan kaku diikuti beberapa menit keheningan yang canggung.
“Kamu enggak keluar?” Pertanyaan yang diucapkan Rafi dengan niat untuk mencairkan suasana malah mendapat jawaban ketus.
“Kamu mau aku ke luar?” tanya Luna dingin.
“Bukan. Maksudku kamu enggak pergi, malam mingguan," tanya Rafi lagi, kemudian melempar senyum, sedikit salah tingkah.
“Mau apa ke sini?” Nona rumah yang mengenakan sweater dibalik piama tidurnya bertanya. Matanya melirik ke kantung kain berwarna gading yang diletakkan di sofa. Ia menduga bahwa bungkusan itu untuknya.
“Aku mau ngasih ini.” Rafi meletakkan kantung yang ia bawa di atas meja, tepat didepan Luna. Gadis itu bergeming.
“Itu, undangan untuk Mama Papa," kata Rafi lagi.
Dengan gerakan malas, sang nona rumah mengintip isinya, mengeluarkan selembar undangan pernikahan berwarna gading dengan tulisan timbul berwarna emas, lalu menyerahkan kembali kantung yang masih ada isinya.
“Bawa balik aja. Mama-Papa enggak suka coklat,” ucapnya dingin.
“Itu buat kamu.”
“Aku enggak mau.” Sambil mengatakan itu, Luna berdiri, menatap pada tamunya, dan berkata lagi, “Udah ya, aku mau makan. Nanti aku sampein undangannya.”
Luna pun berlalu meninggalkan Rafi yang masih terpaku di sofa. Tangan kanannya memegang kantung gading berisi coklat yang ia beli di sebuah mal. Sedikit menyesal pemuda itu menuruti saran tunangannya untuk membawa makanan saat menyerahkan undangan untuk keluarga Pak Ilham.
Selang beberapa menit, dari kamarnya, Luna mendengar deru mobil sang mantan. Kembali pedih di hati terasa, seperti luka yang ditetesi air jeruk limau. Gadis itu memejamkan mata beberapa saat, mencoba untuk menguatkan diri. Ditatapnya amplop undangan di tangan. Setahun yang lalu ia dan Rafi pernah menyinggung tentang pernikahan. Mereka sepakat menunggu hingga kuliah dan wisuda S-2 Rafi selesai, sesuai permintaan orangtuanya. Hubungan pasangan kekasih itu sudah begitu kuat, hampir tujuh tahun dijalani tanpa seorang pun dari mereka pernah berpaling. Menunggu satu tahun lagi sama sekali bukan masalah bagi keduanya.