Irvan membukakan pintu mobil untuk Indi, menunggu hingga gadis itu nyaman di bangkunya. Begitulah cara pemuda itu dibesarkan oleh kedua orangtuanya, menghormati dan menjaga perempuan dengan baik. Dinyalakannya mesin mobil dan mesin pendingin lebih dulu sebelum mengenakan sabuk pengaman.
“Hari ini, aku jadi ajudan kamu. Mau ke mana pun Ibu Boss, ajudan siap mengantar,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata kepada sang calon kakak ipar yang sudah duduk sempurna.
“Ibu Boss yang di sana itu tuh! Dan dia pasti lagi bingung karena kita enggak berangkat-berangkat.” Indi menunjuk ke rumahnya, di depan pintu terlihat Intan mengenakan baby doll panjang dengan tiga buah roll rambut di kepala.
Irvan tertawa, menatap ke arah yang ditunjuk dengan penuh rasa cinta. Siapa pun yang melihatnya memandang Intan bisa melihat betapa besar kekaguman dan rasa cinta pemuda berdarah Bugis Solo itu pada kekasihnya.
“Kamu mau ngajak Intan? Enggak apa-apa, ajak aja. Aku panggil dia ya.” Perkataan itu segera saja ditolak oleh Irvan yang langsung menarik tangan Indi dari tuas sabuk pengaman.
“Jangan! Ini hari kita berdua.”
“OK.”
“Kita ke mall dulu ya.”
“Ke mall? Belanja apa?”
“Aku mau cari hadiah untuk kamu, tapi karena kata Intan aku enggak pinter milih perlengkapan perempuan, jadi kamu harus pilih sendiri. Setuju, Kakak?”
“Coba ya jangan panggil aku Kakak! Aku enggak mau!” tukas Indi.
“Loh, kamu kan calon kakak iparku.”
“Jangan berusaha bikin diri jadi lebih muda deh! Kamu lebih tua dari aku, Irvaaan!”
“Cuma dua tahun.”
“Satu tahun delapan bulan, tapi tetap saja tua kamu, Kakek!” Wajah sang calon kakak ipar yang terlihat kesal malah membuat Irvan terbahak-bahak. Dengan rasa sayang diusapnya sekilas kepala gadis mungil itu.
Indi adalah sahabat terbaik sepanjang hidupnya. Gadis cerdas dan peka itu lebih dari sekedar calon kakak ipar, begitu banyak kesamaan hobi dan sifat pada mereka berdua; sama-sama suka alam, fotografi, olahraga bela diri, jogging, lagu-lagu balada, dan puisi. Irvan seperti melihat dirinya sendiri pada Indi dalam wujud seorang perempuan. Di matanya, gadis bertubuh mungil itu adalah panutan.
Indi lebih muda, namun sangat dewasa, mandiri, dan bisa berlaku adil pada diri sendiri. Dibalik sikapnya yang tenang, gadit itu berani membebaskan jiwanya dari ikatan dan belenggu sebuah kata yaitu keharusan. Wawasannya yang luas membuat mereka sering terlibat dalam diskusi hangat tentang hampir segala hal, hingga terkadang membuat Intan berpura-pura kesal.
Dalam setiap kebersamaan dengan Irvan, Indi selalu berhasil mengeluarkan sisi lain dalam diri pemuda tampan yang introvert itu. Dengan caranya, gadis peka itu mengurai satu per satu kegelisahan yang tersimpan dalam diri Irvan. Dalam waktu singkat keduanya menjadi pasangan sahabat yang tidak terpisahkan. Namun, selalu ada sisi misterius dalam diri gadis itu yang membuat Irvan ingin tahu. Namun, hingga enam bulan kedekatan mereka, Indi bahkan tidak mengizinkannya berkunjung atau sekedar duduk-duduk di teras saat ia menjemput ke rumahnya.
“Kamu itu seniman yang terperangkap dalam kerah korporasi.” Begitu kata Indi di awal kedekatan mereka. Kali lain gadis itu berkata tentang hal yang sama dengan kalimat yang berbeda, “Bebaskan jiwa kamu, Van. Kasihan dia menderita di balik jeruji aturan dan keinginan orang lain.”
Bagi Irvan, kakak kandung kekasihnya itu adalah kembarannya, soulmate hati kecilnya. Satu kata yang paling pas untuk menggambarkan sosok mungil itu adalah “cukup”. Ya, Indi itu cukup, tidak lebih, tidak kurang. Sepertinya gadis itu sama sekali tidak keberatan mendapat penilaian seperti itu dari Irvan.
Irvan ingat, saat itu mereka berdua sedang duduk di sebuah taman. Mereka baru saja keluar dari mal, menonton film dan makan sore. Dalam perjalanan pulang, Indi mengajaknya berhenti di taman kota.
Duduk di sebuah bangku besi tanpa sandaran, pandangan mereka menatap pada dua orang gadis cantik yang melintas. Postur tubuh keduanya mengingatkan Indi pada adiknya. Saat menoleh, dilihatnya Irvan masih mengikuti kedua gadis langsing itu dengan pandangannya.
“Apa fisik memang daya tarik utama bagi cowok?” tanya Indi lebih seperti menggumam pada diri sendiri.
“Tidak selalu.”
“Lalu apa yang membuat seorang gadis menarik di mata kamu?”
“Kesan secara keseluruhan,” jawab Irvan, "Dari hati, bukan cuma mata."
“Kesan kamu tentang aku apa?” Biasanya Indi tidak pernah bertanya seperti itu kepada siapa pun, tidak juga pada Andre, kekasihnya selama lima tahun.
Irvan balik bertanya, “Waktu pertama kenal atau ....”
“Dua-duanya. Pertama kali kenal dan setelah dekat.”
Baru pertama kali sepanjang hidupnya, gadis berpembawaan tenang itu ingin tahu tentang kesan yang orang lain lihat dari dirinya. Biasanya ia selalu mencoba untuk tidak peduli, bahkan menghindari pertanyaan itu. Karena selalu saja, reaksi pertama yang ia dapatkan adalah dibanding-bandingkan dengan Intan dengan embel kata-kata “kok beda banget ya”.
Beberapa saat Irvan terdiam seperti tengah berpikir. Kemudian, pemuda tampan itu menatap Indi lalu menjawab, “Oke ..., di awal kenal, aku pikir kamu terlalu cool, sangat serius, hampir seperti tidak acuh pada sekeliling."
“Sombong, begitu orang lain bilang,” tukas Indi. Mata hitam Irvan tersenyum membuatnya semakin tampan.
“Satu kata untuk menggambarkan aku, plis,” pinta Indi.
“Apa ya? Hmm ... cukup. Ya, kamu itu cukup,” kata Irvan lagi.
Di luar dugaannya, Intan malah tertawa kecil, tawa yang terdengar renyah dan menyenangkan. Perempuan lain mungkin akan tersinggung mendengar jawaban aneh itu.