Indi melenggang ke ruang TV dengan tas selempang kecil di tangan kanan dan ponsel di kiri. Sepasang kepala yang saling bersandar terlihat dari belakang. Rupanya Intan dan Irvan memutuskan untuk menghabiskan malam minggu di rumah saja. Mendengar suara langkah kaki, keduanya menoleh.
“Cieee yang mau kencan, pake baju baru!” Godaan dari sang adik hanya ditanggapi dengan senyuman tipis oleh Indi. “Hati-hati, CLBK!”
“Apa itu CLBK?” tanya Irvan.
“Cinta Lama Bersemi Kembali, Pak! Ke mana aja sih sampai enggak tahu istilah gaul?” tanya Intan sambil bersandar manja di bahu Irvan. Rambut panjangnya menutupi sebagian kemeja sang calon suami.
“Ajak Andre makan di rumah aja, Kak. Aku pesan pizzanya banyak kok, ada salad juga sama chicken wings. Aku pesan nachos juga. Pokoknya cukup deh buat semua orang di rumah.”
“Andre pengen nyobain restoran baru punya istri bosnya,” jawab Indi menolak halus bujukan adiknya.
“Wah di mana? Apa kita ikut mereka aja, Sayang?” Belum sempat Irvan menjawab pertanyaan kekasihnya, Indi telah lebih dulu menukas, “Jangan!”
“Yaaah, enggak boleh ikut kita, Sayang.” Intan berpura-pura cemberut, lalu kembali bersandar manja di bahu sang kekasih.
“Bukan enggak boleh. Andre bilang ada yang mau diomongin.”
“Hati-hati.” Giliran Irvan yang berpesan begitu.
“Kenapa hati-hati sih? Kaya aku anak kecil ajah,” protes Indi.
“Oh iya, Kak Ind,” kata Intan, meninggikan suaranya. “Aku hampir lupa. Jumat kita ke Majalengka, Kak. Pulang Minggu. Please tolong kosongin jadwal kita berdua ya.”
“Mau ngapain ke sana?” tanya Indi.
“Mas Irvan harus ketemu mandor yang mau rapiin rumah.” Hasil diskusi dengan Irvan dan keluarganya, mereka sepakat untuk mengadakan akad nikah di sana. Resepsi dengan undangan sangat terbatas diadakan di Jakarta seminggu kemudian.
“Kita bertiga?” tanya Indi.
“Nara ikut, dia pulang buat bantu.” Naraya adalah tunggal Irvan yang tinggal di Malaysia.
Indi tahu ia tidak mungkin menolak. Jadwal kosong Intan berarti juga jadwal kosong dirinya sebagai manajer sang adik. Apalagi ia sudah menerima amanat dari kedua orangtuanya yang sibuk berniaga untuk membantu persiapan pernikahan. Secara khusus, Irvan juga meminta bantuan Indi untuk menjadi wakil mama dan adiknya yang baru bisa pulang ke Indonesia seminggu menjelang hari pernikahan.
“Kasihanilah aku, Ndi. Mana bisa aku mengurus pernikahan. Bisa panas kepalaku menghadapi tante-tanteku kalau enggak ada kamu. Intan juga lebih senang dibantu kamu, Ndi.” Begitu permintaan Irvan padanya.
“Kak Ind, kita enggak ada jadwal ‘kan?” tanya Intan lagi.
“Itu bisa diatur, De Boss,” jawab Indi hampir berbarengan dengan suara bel pintu berbunyi.