Irvan masih duduk di sofa dengan mata menatap pada Intan. Kekasihnya yang cantik itu terlihat menunduk dengan jari-jari memainkan tombol ponsel. Namun, titik pandangnya jatuh pada sandal bulu-bulu berwarna pink yang ia kenakan. Sudah beberapa belas menit gadis itu melakukan aksi diam setelah pertengkarannya dengan Irvan. Obrolan malam minggu yang semula hangat berubah menjadi panas saat ia mendengar fakta bahwa calon suaminya telah berhenti bekerja. Walau itu bukanlah keputusan yang mendadak, Intan ingat ia pernah menyampaikan ketidak setujuannya atas keinginan Irvan berhenti bekerja. Menurut model pekerja keras itu, mengundurkan diri dari pekerjaan yang sudah cukup mapan adalah tindakan yang tidak beralasan dan cenderung gegabah mengingat kurang dari tiga bulan lagi mereka akan menikah.
“Aku tidak mengerti kenapa kamu marah?” Irvan memecah kesunyian
“Kenapa masih tanya, ‘kan aku sudah bilang kenapa aku marah.”
“Aku bukan diam-diam berhenti, Sayang. Kamu sudah tahu niatku ini. Aku sudah pernah bilang kalau aku akan mengajukan pengunduran diri.”
“Tapi aku bilang enggak setuju waktu itu, Sayang.”
“Aku tidak minta persetujuan kamu, Intan. Aku bilang ke kamu karena aku rasa kamu perlu tahu.”
“Jadi pendapatku enggak penting?” tanya Intan kesal, matanya yang indah melirik tak senang.
“Ini keinginanku sejak lama, Sayang. Kamu kan tahu aku tidak bahagia dengan pekerjaanku.”
“Tapi kita kan mau menikah. Tiga bulan lagi, kamu bakal jadi suamiku, Mas! Kamu butuh kerja untuk menghidupi kita.”
“Aku akan merintis usaha dari awal. Kita mulai dari nol, aku yakin aku bisa.”
“Mana ada usaha yang bisa menghasilkan untung dalam tiga bulan.” Suara Intan meninggi sementara Irvan menatapnya tajam. Pemuda yang selalu mendukung karir kekasihnya itu merasa begitu kecewa karena calon pendamping hidupnya sendiri sama sekali tidak mendukung keputusannya.
“Aku nggak nyangka orang yang aku pikir akan mengerti keputusanku malah menentang dan meragukan aku. Seharusnya kamu yang paling mengerti, Intan! Kamu melakukan pekerjaan yang kamu sukai. Kamu selalu bilang kamu bahagia karena dengan menjadi model, kamu menjadi diri sendiri. Aku selalu mendukung, aku bangga kamu begitu,” kata Irvan. Kemudian ia meraih tangan Intan ke dalam genggaman.
“Sudah waktunya bagiku untuk melakukan hal yang sama, Sayang. Aku ingin melalukan hal yang aku sukai, yang sesuai dengan jiwaku,” ucapnya lagi.
“Tapi Mas Irvan enggak pikir panjang.”
“Tolong mengerti aku, Sayang. Kamu calon istriku, aku butuh dukungan kamu.”
“Gimana aku bisa dukung? Mas Irvan aja ambil keputusan tanpa tanya aku dulu. Mas Irvan enggak mikirin kepentingan kita nanti setelah jadi suami istri.”
“Jadi menurut kamu, aku tidak bertanggung jawab?”
“Iya!” Satu jawaban singkat dari Intan yang keluar tanpa pikir panjang, membuat Irvan tersinggung. Dilepaskannya tangan sang kekasih, lalu berkata, “Kamu berubah, Intan. Kamu jadi lebih mementingkan materi.”
“Oh, jadi Mas Irvan pikir aku cewek materialistis?”
“Bukan itu maksudku. Aku hanya berharap calon istriku mengerti dan mendukung keputusanku.”
“Kalau begitu buat apa kita nikah? Batalin aja! Mas Irvan cari aja cewek yang lebih bisa ngertiin Mas Irvan! Yang enggak mikirin materi!”
Gadis itu beranjak meninggalkan beranda dan masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa lagi, sementara sang kekasih hanya berdiri terpaku tanpa berusaha membujuk lagi. Malam minggu yang hangat berakhir dengan deru mobil Irvan meninggalkan rumah calon istrinya dengan kecepatan tinggi.
Sebanyak dua kali, Irvan mengitari jalan Thamrin membawa emosinya yang masih tertahan. Kemarin, ia merasakan bebannya terangkat saat akhirnya bisa melepaskan pekerjaan yang tidak ia sukai. Namun, calon istrinya sendiri menuduhnya tidak bertanggung jawab. Irvan tak habis pikir mengapa gadis yang ia cintai menjadi orang yang paling menentang keputusannya, padahal satu-satunya dukungan terbesar yang ia harapkan adalah dukungan dari Intan.
Kemarin Irvan mendapat amarah besar dari ibunya yang juga tidak setuju dengan tindakan sang putra sulung. Namun, tumpahan kekecewaan sang ibu terasa biasa saja di telinga pemuda yang selalu patuh itu. Di hatinya malah ada kelegaan karena telah berani bersuara dan bertindak sesuai kata hati.
Di keluarga Pak Andi Yusuf, memang Ibu Tiana-lah yang selalu menentukan kebijaksanaan dan peraturan yang wajib dijalankan oleh seluruh anggota keluarga. Perempuan perfeksionis bertangan dingin itu menjalankan disiplin dalam keluarga mereka dengan cukup ketat. Pendapat umum yang mengatakan bahwa di balik kesuksesan seorang pria terdapat wanita hebat, sangat cocok untuk menggambarkan sosoknya. Karir sang suami yang cemerlang dan status sosial yang cukup mapan bisa diraih berkat wanita yang rela melepaskan karirnya untuk mendampingi suaminya, merintis bisnis, dan mengurus keluarga penuh waktu, setidaknya begitulah Pak Andi Yusuf selalu berkata dengan rasa bangga.