Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #12

Buku Diary Biru Tua

Luna menerima sebuah buku yang ditemukan oleh tukang yang ia sewa untuk mengangkut barang-barang tak terpakai di atas gudang. Pak Tukang menemukannya di antara puluhan tas dan beberapa koper kosong di loteng. Rupanya arsitek rumah itu meniru gaya rumah-rumah Eropa yang memanfaatkan loteng sebagai gudang tambahan. Sesuai pesan sang nona rumah, semua barang disingkirkan kecuali buku. Tono membersihkannya terlebih dahulu baru memberikannya pada Luna.  

Hampir saja gadis yang suka membaca itu membuangnya. Namun, niatnya berubah saat buku tebal itu jatuh ke lantai. Pada halaman tengah yang terbuka, dua baris tulisan yang terbaca, menarik perhatian Luna;

            Apa yang lebih menyedihkan dari sepi?

            Asing pada jati diri ... 

            

Merasa yakin bahwa buku dengan cover berlapis kain kanvas tebal berwarna biru tua itu adalah milik penghuni lama yang sudah dianggap tak berharga, Luna memutuskan untuk menyimpannya. Ia tertarik untuk mengintip beberapa halaman lagi sebelum membuangnya. Ternyata, tiap kalimat dalam lembaran diary biru itu seakan memiliki magnet yang menariknya untuk terus membaca. 

            Dia bilang pujangga itu berkeluh-kesah lewat tulisan,

            bukan menggerutu dalam hati. 

            Menulis biar enggak miris, begitu katanya. 

            Dia pun berbaik hati memberikan ini. 


            Agenda biru, 

            mulai hari ini kau temanku.


Tulisan di halaman pertama menunjukkan bahwa benda itu adalah pemberian dari seseorang yang sepertinya punya hubungan khusus dengan sang penerima buku. Tidak disebutkan dalam rangka apa hadiah itu diberikan. Tidak ada nama pemilik, tidak juga nama pemberi. Sambil duduk bersandar di kepala tempat tidur, Luna membalik lembaran pertama. Sepertinya ada jarak waktu yang cukup panjang dari tulisan pertama ke tulisan di halaman kedua hingga keempat. 

Baru di halaman kelima, Luna yakin bahwa tebakannya benar, sang pemilik buku adalah seorang pria setelah membaca puisi di halaman tersebut. Namun kemudian, ia merasa geli sendiri. Bukan cuma cowok yang pakai dasi, Una!Begitu ia berkata dalam hati.


            Dasi?

            Simbol reputasi, 

            lambang aktualisasi, 

            atau hanya atribut demi sebuah gengsi?

            Leher ini tercekik!

Lihat selengkapnya