Tanpa mengetuk, Indi membuka pintu kamar tidur adiknya yang hampir tak pernah terkunci. Mengenakan setelan baju tidur kaos dan celana selutut berbahan nyaman, gadis berambut pendek itu naik ke tempat tidur dan berbaring telungkup di sebelah Intan.
“Dengerin musik apa mikirin Irvan?” tanya Indi.
“Ngapain juga mikirin dia. Dia aja mikir jelek tentang aku!” Jawaban ketus itu pertanda emosi yang belum terlampiaskan.
“Irvan enggak bermaksud begitu, De. Dia cuma merasa enggak didukung.”
“Sudah kuduga, pasti dia telepon Kakak.”
“Aku baru tahu loh, De, kamu bercita-cita punya suami pegawai bank.” Intan yang langsung tahu bahwa kakaknya tengah menggoda, melirik dengan kesal.
“Bukan itu maksudku, Kak. Mauku Mas Irvan jangan egois, jangan cuma mikirin diri sendiri kalau bikin keputusan,” ucapnya sewot.
“Jadi menurut Ade, melepaskan diri dari pekerjaan yang tidak membuat kita bahagia itu tindakan egois?” Indi tahu pertanyaan itu menyentil hati, saat sang adik yang terbiasa mendapat perhatian penuh itu menarik napas panjang.
“Memang apa pengaruhnya ke pernikahan kalian kalau Irvan mencoba menjalankan bisnis lain? Kita berdua masuk ke dunia modelling dari nol dan kamu menikmati setiap prosesnya, De. Itu yang Irvan ingin. Itu impian dia, De.”
“Ya ampuun, aku merasa egois sekarang,” keluh Intan. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Jadi gimana? Tetap mau dibatalin pernikahannya?” goda Indi.
“Aku mau telepon Mas Irvan sekarang.” Dengan gerakan cepat gadis yang bahkan lebih manja dari adik bungsunya itu mengambil ponsel, tangan kanannya masih sempat menarik baju sang kakak yang terlihat ingin beranjak.
“Eh, mau kemana? Kakak di sini aja. Aku masih kangen,” pintanya, kemudian jari putihnya yang lentik menekan nomor. Satu nada dering, langsung mendapat jawaban.
“Sayang, maafin aku ya,” ucap Intan mesra. Selanjutnya suara manja gadis cantik itu memenuhi kamar tidur yang bernuansa pink. Sementara di sebelahnya, Indi terlentang dengan ingatan menari-nari ke masa lalu.
Lima belas bulan yang lalu, di gedung pusat sebuah bank swasta ternama, ia tengah duduk menunggu Intan yang sedang berada di ruang rias bersama model lainnya.
“Mbak Indi?” sapa seorang pria berdasi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
“Iya, Pak ..., maaf,” ucap Indi sambil berdiri dan kemudian mengulurkan tangan. Ia merasa malu tak bisa mengingat nama perwakilan bank yang menyewa jasa modelling untuk acara hari itu. Padahal baru seminggu lalu mereka bertemu di ruang rapat.
“Saya Irvan. Mbak Indi tidak di dalam?”
“Sudah, Pak. Terima kasih. Saya di sini dulu, nanti saja masuknya,” jawab Indi. “Pak Irvan, silakan masuk duluan, Pak.”
Namun kemudian Indi tertawa, “Loh kok saya yang mempersilakan tuan rumah, maaf.”
“Hahaha, tidak apa-apa, Mbak. Anggap saja kantor sendiri.” Ternyata perwakilan dari divisi marketing itu malah mengajak Indi duduk.
Jika pada pertemuan pertama, keduanya hanya saling memperkenalkan diri, bertukar kartu nama, dan berbasa-basi singkat. Di pertemuan kedua kala itu, obrolan langsung terasa mengalir. Indi merasa berbicara dengan Irvan seperti berbicara dengan teman lama yang baru kembali bertemu setelah bertahun-tahun terpisah. Mereka saling bertanya, bertukar informasi, dan langsung merasakan cocok terhadap satu sama lain. Dalam hatinya gadis itu mengakui kejelian Bobby yang secara khusus memperkenalkannya dengan klien mereka.
“Cucoook bangettt, Mas Irvan buat elo, Indi!” Begitu kata agen model yang memang sangat senang menjadi mak comblang itu.