Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #14

Baju Pengantin

Indi masih tekun di depan laptop, melihat satu persatu foto adiknya dalam berbagai pose dan model event.  Ia memberi sentuhan warna pada beberapa foto pilihannya agar nuansa vintage-nya lebih terlihat. Hasil seleksinya itu akan dicetak menjadi portofolio terbaru untuk keperluan agen model atau pun casting iklan. Kakak merangkap manajer bertangan dingin itu ingin cepat-cepat menyelesaikan segala urusan yang menyangkut sang adik agar setelah itu bisa fokus dengan rencana pribadi. Gadis yang punya banyak minat di bidang seni itu sudah mulai menyusun list kegiatan dan target kerja untuk dirinya sendiri. Semuanya akan ia realisasikan satu persatu setelah urusan pernikahan adiknya. 

Denting pada ponselnya membuat Indi terpaksa bangkit dari kursi dan berjalan ke tempat tidur. Diambilnya benda pipih abu-abu metalik itu dari atas kasur. Sebuah pesan dari Andre dibacanya cepat.

Sudah di jalan? Call me when you are free. Miss you

Pesan itu segera dijawab dengan singkat tanpa kata-kata mesra, hanya berisi janji akan menelepon begitu sempat. Terkadang Indi bingung apa yang dilihat oleh Andre pada dirinya; seorang gadis dengan penampilan biasa-biasa saja, jarang bersikap romantis, tidak terbiasa bermanja-manja. Tak seperti Andre yang sangat kekinian, sangat peduli penampilan, dan punya banyak teman, Indi lebih suka berteman dengan alam atau hal-hal berbau seni. 

Dulu, saat masih remaja SMA, Indi selalu menangis setiap saat Andre berbagi sayang dengan gadis lain. Pun saat ia sudah menjadi mahasiswi, rasa sakit di hati begitu kuat setiap kali mengetahui perselingkuhan kekasihnya itu. Hal itu terus berulang hingga akhirnya Indi menyerah. Anehnya setahun terakhir, Indi merasa bisa memahami kelakuan satu-satunya pemuda yang pernah menjadi pacarnya itu. Ia yakin Andre begitu karena tidak menemukan apa yang dicari dalam dirinya. 

Saat Andre kembali menyatakan cinta dan begitu gencar mendekatinya lagi, Indi merasa tak bisa memahami jalan pikiran mantan kekasihnya itu, walau ia melihat bahwa pemuda tampan penebar pesona itu sekarang benar-benar berubah. Ia selalu ada dan menjadi penuh perhatian saat mereka sedang berdua. Andre benar-benar hanya fokus pada Indi, masalahnya gadis tidak yakin ia memiliki apa yang dicari mantannya itu. Bahkan ia tidak yakin ada hal yang menarik dalam dirinya untuk pria mana pun. 

“Kak, yuk berangkat!” Suara Intan dari luar kamar terdengar. Cepat-cepat Indi menutup laptop, mengambil tas, dan memasukkan ponsel ke dalamnya. 

Ia masih menyempatkan diri untuk bercermin, merapikan kemeja yang membungkus tubuh mungilnya, baru kemudian bergegas menuju beranda depan. Bersama Intan, sudah ada Irvan dan adiknya berdiri menunggu. 

“Yuk, berangkat! Biar cepat beres urusan kita. Aku enggak mau telat makan siang,” ajak Intan sambil menyentuh lengan kekasihnya, lalu berdua berjalan menuruni tangga. Indi sempat melirik jam tangan hitam di tangannya; pukul 09.15. 

“Yuk, Nara,” ajaknya kepada adik kandung Irvan.  

“Mbak Miske sudah sampai di Bridal,” kata Intan saat Range Rover yang membawa mereka sudah melaju. 

“Nanti kalau merasa enggak nyaman sama jasnya, bilang, ya Sayang,” ucapnya lagi sambil mengelus pipi sang calon suami yang menjawab dengan nada mesra. 

“Kamu juga pilih gaun yang paling kamu suka.”

“Aku mau pilih yang bikin aku cantik dan bikin suamiku nanti pangling.”

“Kamu pasti cantik pakai baju apa pun, Sayang,” puji Irvan sambil membelai kepala gadis pujaannya. Walau hanya melirik sekilas, sorot matanya penuh cinta. 

“Oh ya, Kak Indi, Kak Nara! Tim Hendra juga gabung nanti, jadi kita bisa tanya-tanya atau kasih detail yang kita mau untuk foto session.” Intan menoleh ke belakang saat mengucapkan itu. 

“Intan, kamu sudah harus biasain diri manggil aku Nara,” ucap adik Irvan yang duduk di bangku belakang bersama Indi.

“Iya ya, masih belum terbiasa lidahku, Kak, eh, Nara.” 

Hampir serempak kedua gadis itu tertawa. Irvan yang juga ikut tertawa meraih telapak tangan kekasihnya lalu menempelkan punggung tangan putih itu ke bibirnya. Beberapa detik suasana berganti hening, Nara tersenyum bahagia melihat kebahagiaan kakak kesayangannya. Ia menoleh pada Indi. Sorot mata kakak kandung Intan itu terlihat sendu. Menyadari tatapan Nara, gadis itu membuang wajah menatap ke luar jendela. Beberapa menit kemudian ia sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Irvan pernah mengatakan bahwa Indi punya sorot mata sendu yang membuat orang jatuh sayang melihatnya. Gadis bertubuh mungil itu hanya tertawa kecil mendengar kalimat yang ia tidak percaya kebenarannya. Pertemanannya dengan pegawai bank swasta itu sudah berjalan empat bulan. Intensitas komunikasi antara mereka cukup tinggi, bahkan keduanya semakin sering bertemu. Walau dalam setiap pertemuan Irvan selalu menyelipkan cerita tentang status LDR-nya yang sedang di ujung tanduk dengan seorang gadis di Malaysia, ia juga semakin terbuka bercerita tentang banyak hal. Pemuda tampan yang cenderung menarik diri dalam pergaulan itu pernah berkata bahwa sorot mata Indi seperti magnet untuk hati yang gelisah. Itu sebabnya begitu mudah untuk membuka diri saat mereka sedang bersama. Terkadang Irvan bercanda dengan mengatakan bahwa seharusnya Indi menjadi psikiater atau psikolog, alih-alih menjadi manajer modelling. 

“Kamu itu membuat orang nyaman, Ndi,” ucapnya. Seperti biasa, gadis bertubuh mungil itu hanya tertawa kecil. Biasanya, Irvan akan berusaha meyakinkan Indi tentang segala kelebihan yang dimiliki gadis yang kurang percaya diri itu. Namun, selalu saja jawaban yang didapat adalah bentuk penyangkalan secara tidak langsung; “itu ‘kan karena kamu belum kenal aku lebih jauh” atau “kamu bilang begitu karena hobi dan sifat kita sama, Van”. 

Pernah satu kali Indi menjawab dengan nada datar, “Rasa nyaman biasanya akan kalah kalau ada cewek cantik datang.”

“Jangan samakan semua laki-laki dengan mantan kamu dong,” protes Irvan yang sudah mendengar cerita Indi tentang Andre. 

Lihat selengkapnya