Suasana makan malam hari itu terasa sunyi. Pak Ilham dan Bu Anggi sudah berangkat ke Surabaya sejak pagi. Luna memilih bersantap malam sambil menonton acara musik di TV lokal, ditemani Mbok Yu. Sup ayam panas pedas dengan banyak wortel dan kentang menjadi pengisi perut yang paling pas untuk melawan udara dingin. Hujan sudah berhenti lebih dari satu jam yang lalu, namun udara dingin pegunungan turun ke kaki gunung, membelai seluruh penghuni desa.
“Tono ngobrol sama siapa, Mbok?” tanya Luna. Sebelum makan ia sempat ingin melihat keluar rumah sambil menunggu makanan siap, namun niat keluar rumah urung karena mendengar suara Tono sedang mengobrol bersama seorang laki-laki. Dari suaranya, bisa ditebak bahwa tamu itu masih muda.
“Sama Asep, penjaga rumah Pak Haji Jaka. Sama temennya Asep juga, Mbak Una.”
“Pak Haji Jaka yang rumahnya di sebelah?”
“Iya, Mbak Una. Rumahnya gede. Kata Tono, Pak Haji punya sekolah Islam SD sama SMP.”
“Ooh, pesantren yang di deket rumahnya itu ‘kan?”
“Bukan, Mbak Una. Kalo itu pondok. Yang sekolah di deket kantor kelurahan, ora mondok.”
“Wow, keren.”
“Mbak Una, coba kapan-kapan ke rumah Pak Haji. Bu Hajinya baek, saya sudah pernah ketemu waktu mau ke pasar.”
“Boleh deh, Mbok. Temenin ya!”
“Iya, Mbak.”
Sesungguhnya desa itu cukup padat penduduk. Namun, rumah keluarga Pak Ilham adalah rumah perkebunan sehingga suasana cukup sepi. Suara yang terdengar hanya dari jalan di depan rumah, namun itu pun tidak terlalu jelas dari dalam rumah. Area kebun ada di sisi kiri rumah, lalu memanjang hingga beberapa blok, namun di sisi kanan ada tanah kosong yang luasnya hampir setengah dari luas rumah. Lahan berumput itu ditumbuhi dengan beberapa pohon buah-buahan. Pagar tembok yang cukup tinggi membatasi lahan dengan rumah tetangga yang juga memiliki tanah kosong yang cukup luas. Bangunan utama rumah tetangga dikelilingi kebun dan taman. Kedua rumah yang bersebelahan itu merupakan rumah terbesar di lingkungan RW 04.
Tiga bulan tinggal di sana, Luna merasa kerasan walau kadang ada rasa rindu pada para sahabat dan sepupu terdekatnya di Jakarta. Namun, ia sangat menikmati kesunyian yang syahdu di desa. Waktu favoritnya adalah setelah subuh dan menjelang senja. Biasanya di dua waktu tersebut ia akan berlama-lama duduk di beranda, menikmati warna langit, udara sejuk, dan kemegahan gunung Ceremai.
“Mbok, kenapa sih enggak mau tinggal di sini seterusnya? Boyongan saja semuanya tinggal di sini,” tanya Luna.
“Boyongan bertujuh, Mbak? Kebanyakan. Repot pindahnya.”
“Kenapa repot, ‘kan naik mobil, bisa sewa truk. Tinggal bangun rumah di kebun buat bertujuh.”
“Ibu juga ngomong gitu, Mbak Una. Mbok mau dibangunin rumah buat bertujuh kalau mau pindah ke sini. Ibu itu baiknya Masya Alloh, Bapak juga.”
“Ya ‘kan, Mbok Yu sama Pak Atung sudah kaya keluarga sendiri. Cucu-cucu pasti senang tinggal di dekat kebun, bisa main ke sawah. Sekolah juga dekat, bisa naik motor,” kata Luna berusaha meyakinkan Mbok Yu.
“Pak Atung enggak kuat dingin, Mbak Una. Suka rematik,” jawab Mbok Yu. Suaminya memang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan punya masalah dengan penyakit itu sejak lama. Beda usia antara mereka sangat jauh, 18 tahun. Perempuan bertubuh kekar itu adalah istri kedua. Pak Atung, menduda karena ditinggal wafat. Dari pernikahan pertama, ia tidak memiliki anak. Sebetulnya menurut Luna Mbok Yu masih terlalu muda untuk dipanggil Mbok, namun asisten setia itu keberatan disapa dengan sebutan lain.