Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #16

Bias

Indi masih menunggu dalam diam di samping Andre yang tengah berbicara dengan teman lamanya. Walau kakinya mulai terasa pegal, gadis itu tak mau memotong pembicaraan, dan terlihat seperti seorang kekasih yang cemburu. Terpikir olehnya untuk kembali duduk tapi niat itu pun ia urungkan karena takut memberi kesan lelah menunggu. 

Mata Indi menatap keluar area restoran. Sesungguhnya, setengah hati ia memenuhi permintaan Andre untuk ikut ke acara ulang tahun teman kantornya. Gadis yang tidak suka pesta itu merasa lega, acara makan malam yang terasa sangat panjang akhirnya selesai walau ternyata ia masih belum bisa terbebas. Rupanya teman Andre yang cantik dan penuh semangat itu, sama sekali tidak pandai membaca situasi, atau mungkin tidak peduli akan sinyal kegelisahan lawan bicaranya. 

Dahulu, kondisi seperti saat itu bisa menjadi sumber pertengkarannya dengan Andre. Kini ia bukan lagi Indi yang dulu. Begitu juga pemuda di sampingnya. Sosok yang dulu selalu tebar pesona itu telah menjadi orang yang berbeda. Andre menjadi penuh perhatian dan terlihat sangat menjaga perilaku. Bahkan selama beberapa belas menit dalam perbincangannya dengan sang teman lama yang flirty, Andre berusaha melibatkan Indi dalam percakapan. Sesekali ia juga menyentuh punggung atau merangkul bahu Indi sebagai tanda perhatian. 

Saat Indi memutuskan untuk kembali duduk, ponselnya berbunyi. Ia menjauh beberapa langkah sebelum menekan tombol jawab. 

“Ya, De.” Intan di seberang telepon langsung memintanya untuk mengosongkan jadwal selama tiga hari untuk pemotretan prewed tanggal 17 Januari. Semula sesi foto prewed dijadwalkan di akhir bulan Desember. Namun dengan pertimbangan kemacetan dan pengunjung yang terlalu penuh malam-malam libur dan tahun baru, Irvan memutuskan untuk memundurkannya hingga musim libur usai. 

“OK, De.”

“Oke untuk apa nih?” tanya Intan. Hingga kemarin malam, ia masih harus membujuk kakaknya agar bersedia menjadi fotografer khusus foto-foto prewed. Diyakinkannya sang kakak bahwa hasil fotonya tidak akan mengecewakan seperti yang dicemaskan. 

“Ngosongin jadwal,” jawab Indi. 

“Kakaknya juga OK ‘kan?”

“Kita omongin lagi nanti, De.”

“Enggak mau. Sudah ketuk palu. Kakak harus mau. Aku dan Mas Irvan minta ini buat hadiah pernikahan!” Intan langsung membuat ultimatum membuat sang kakak protes.

“Yang dilangkahin dong yang harusnya dapat hadiah!” ucapnya diikuti tawa dari seberang telepon. 

“Gampang! Itu bisa diatur,” jawab Intan. 

Saat Indi menutup telepon, Andre sudah berdiri di sampingnya dan mengajaknya meninggalkan restoran. 

“Kamu marah?” tanya Andre melihat gadis di sebelahnya yang sejak tadi menatap ke arah trotoar sejak mereka keluar dari area parkir restoran. 

“Marah kenapa?”

“Nunggu lama tadi.”

“Enggak, sudah biasa,” jawab Indi dengan nada tenang. 

“Maaf ya, Sayang.”

“Kenapa minta maaf? Teman kamu itu ‘kan yang semangat banget ngomong.” Indi tertawa kecil setelah mengucapkan itu, terbayang olehnya pemandangan yang sesungguhnya cukup lucu sekaligus membuatnya bersimpati. Ia akan menjadi gelisah jika menjadi Andre. 

“Kayanya dia masih naksir kamu deh.” 

“I think so.” Jawaban itu membuat Indi tertawa. Begitulah Andre yang ia kenal sejak kelas satu SMA, sangat percaya diri walau tidak pernah menyombongkan diri. 

“Kamu jealous tadi?” 

“Kenapa jadi tanya begitu?” Indi balik bertanya.

I kindda miss your jealousy.”

“Hahaha, masih aja gombal.”

Lihat selengkapnya